Share

Bab 5: Balas Dendam atau Pengampunan

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah.

Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya?

Suatu sore, ketika Riana sedang menata lukisan baru di galeri, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Arman. Lagi.

"Riana, aku benar-benar ingin kita bicara. Bisa kita bertemu? Aku tahu aku salah, tapi aku tidak ingin kita berpisah seperti ini."

Riana menatap pesan itu cukup lama, berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan. Ia sudah berulang kali menolak bertemu dengannya, tapi Arman terus bersikeras. Meskipun Riana telah mencoba menutup hati untuknya, bagian kecil di dalam dirinya masih ingin mendengar penjelasan yang lebih lengkap, atau mungkin hanya mencari kelegaan dari pertanyaan yang masih belum terjawab.

"Apa kamu baik-baik saja?" suara lembut Dina terdengar dari balik pintu galeri, membuat Riana tersentak dari lamunannya. Dina sudah sering mampir untuk memeriksa kondisi sahabatnya, memastikan bahwa Riana tidak tersesat di dalam kesendiriannya.

Riana tersenyum tipis, lalu menyerahkan ponselnya kepada Dina. "Arman lagi."

Dina membaca pesan itu dengan alis terangkat, lalu menatap Riana. "Kamu akan menemuinya?"

"Aku tidak tahu," Riana menjawab jujur. "Bagian dari diriku ingin pergi dan membalas setiap kata-katanya, menyakitinya seperti dia menyakitiku. Tapi bagian lain... bagian yang lebih lelah... hanya ingin mengakhiri semuanya dengan damai."

Dina duduk di samping Riana, menyandarkan tangannya di bahu sahabatnya. "Kamu tidak harus membuat keputusan sekarang. Tapi jika kamu bertemu dengannya, pastikan itu untukmu, bukan untuk dia. Jangan biarkan dia menarikmu kembali ke dalam masa lalu."

Riana menatap ke lantai, berpikir keras. Apakah ini keputusan yang benar? Ataukah pertemuan ini hanya akan membawanya lebih dalam ke dalam rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh?

Keesokan harinya, Riana duduk di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat di mana Arman memintanya untuk bertemu. Kafe itu jauh dari pusat kota, dan suasananya sepi—tempat yang sempurna untuk percakapan berat yang akan segera terjadi. Riana mengenakan pakaian sederhana, namun elegan, dan wajahnya tanpa banyak riasan, mencerminkan keinginannya untuk tetap tegar dan fokus pada percakapan.

Pintu kafe berdering ketika Arman masuk. Riana tidak langsung menatapnya, meskipun ia bisa merasakan kehadirannya dari setiap langkah yang terdengar semakin mendekat. Saat Arman duduk di depannya, keheningan sejenak meliputi mereka. Arman tampak berbeda—wajahnya terlihat lebih letih, dengan kantong mata yang gelap dan tatapan kosong yang menggantikan kepercayaan diri yang dulu selalu ada.

"Terima kasih sudah mau bertemu denganku," kata Arman, membuka percakapan dengan suara yang terdengar canggung.

Riana hanya mengangguk, menunggu dia melanjutkan. Ia tidak ingin memulai, tidak ingin membiarkan Arman memiliki kendali atas percakapan ini.

"Aku tahu aku sudah banyak menyakiti kamu," Arman melanjutkan, menghindari tatapan Riana. "Dan aku tidak akan menyangkal itu. Aku sudah membuat keputusan yang salah, dan aku tidak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah terjadi."

Riana masih diam, membiarkan Arman berbicara. Dia tidak ingin memotong, tidak ingin memberikan celah bagi dirinya sendiri untuk menunjukkan kelemahannya.

"Aku tahu kita berdua sudah melalui banyak hal. Dan aku benar-benar menyesal. Melati... dia bukan siapa-siapa. Dia hanya distraksi. Aku... aku tersesat, dan aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari itu."

"Melati bukan siapa-siapa?" Riana akhirnya berbicara, suaranya tajam. "Arman, bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa seseorang yang kamu habiskan begitu banyak waktu dengannya adalah 'bukan siapa-siapa'? Kamu membohongiku, kamu mengkhianatiku, dan sekarang kamu mengatakan semua itu hanya karena kamu tersesat?"

Arman terdiam, terlihat bingung dan menyesal. "Aku tidak bisa memberimu alasan yang cukup, Riana. Aku tahu itu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin memperbaiki kesalahan ini."

Riana menatapnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya Arman inginkan. Apakah ini hanya penyesalan sesaat? Ataukah dia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka? "Bagaimana kamu pikir kita bisa memperbaiki semua ini, Arman?" tanya Riana pelan, penuh dengan kebingungan. "Kamu menghancurkan kepercayaan yang aku berikan padamu. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

"Aku tidak tahu," Arman mengaku, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita memberikan kesempatan sekali lagi untuk semuanya."

Riana menatapnya dalam-dalam, mencari tanda-tanda ketulusan di balik kata-kata itu. Ia ingin percaya bahwa Arman benar-benar menyesal, bahwa ada kemungkinan untuk memperbaiki pernikahan mereka. Tapi luka di hatinya terlalu dalam, dan pengkhianatan itu masih terasa segar, bahkan setelah waktu berlalu.

"Kamu tahu," Riana akhirnya berkata, suaranya pelan namun tegas, "aku sudah berpikir panjang tentang ini. Tentang kita. Tentang apa yang terjadi. Dan aku sadar... aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku tidak bisa melupakan semua yang kamu lakukan. Setiap kali aku menatapmu, yang aku ingat adalah rasa sakit itu. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dengan itu."

Arman menundukkan kepalanya, seolah telah menduga bahwa inilah jawaban yang akan ia terima. "Riana, aku... aku mengerti. Tapi tolong, berikan aku kesempatan. Aku bisa berubah. Aku bisa menjadi suami yang lebih baik."

"Tapi kenapa sekarang, Arman?" tanya Riana, frustrasi mulai merayap ke dalam suaranya. "Kenapa kamu baru menyadari kesalahanmu setelah semuanya hancur? Kenapa kamu tidak berusaha memperbaikinya sebelum semuanya terlambat?"

"Aku tidak tahu," Arman menjawab lirih. "Aku tidak tahu kenapa aku begitu bodoh. Tapi aku tahu aku ingin memperbaikinya sekarang."

Riana menghela napas panjang, merasa dadanya sesak oleh berbagai emosi yang berkecamuk. "Arman, aku sudah memberimu kesempatan yang tak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun. Aku sudah mengorbankan banyak hal demi kita. Tapi kali ini, aku harus membuat keputusan untuk diriku sendiri."

Air mata mulai mengalir di pipi Arman, sesuatu yang jarang Riana lihat dari pria itu. "Aku mohon, Riana... aku mohon, jangan tinggalkan aku."

Riana menatapnya, matanya penuh dengan air mata yang ditahan. "Arman, aku tidak meninggalkanmu. Kamu yang meninggalkanku sejak lama. Kamu hanya tidak menyadarinya."

Keheningan panjang mengikuti kata-kata Riana, dan Arman tidak bisa membantah. Riana merasa bahwa inilah akhir dari semua ini—akhir dari cinta mereka, akhir dari pengkhianatan, dan awal dari kebebasan yang telah lama ia cari.

Setelah beberapa menit yang tampak seperti seabad, Riana berdiri. Ia menatap Arman sekali lagi, sebelum berkata dengan suara pelan namun penuh keyakinan, "Aku akan melanjutkan hidupku, Arman. Dan aku harap kamu juga bisa melakukan hal yang sama."

Dengan langkah pasti, Riana berjalan keluar dari kafe itu, meninggalkan Arman yang masih terdiam di kursinya. Di luar, angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, namun Riana merasa lebih ringan daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, meskipun rasa sakit masih akan bertahan untuk beberapa waktu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status