Share

Bab 4: Kebangkitan

Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur.

Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati.

Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya.

Sore itu, ketika langit mulai memerah di ufuk barat, Riana duduk di teras belakang rumah, memandangi matahari yang mulai tenggelam. Sejak kepulangannya dari kafe, Arman telah berulang kali mencoba menghubunginya. Pesan-pesan yang dikirimnya tidak pernah Riana balas, dan panggilan telepon dari suaminya selalu diabaikan. Ia belum siap untuk menghadapi Arman lagi. Tidak sekarang. Terlalu banyak rasa sakit yang masih mengalir di nadinya.

Tiba-tiba, dering ponsel yang tergeletak di meja sebelah mengganggu kesunyian. Riana meraihnya dengan hati-hati, mengira itu mungkin Arman lagi, tapi kali ini bukan. Nama yang tertera di layar membuatnya sedikit tersenyum.

"Dina."

Tanpa ragu, Riana mengangkat panggilan itu. "Hei, Dina."

"Riana, kamu di rumah? Aku mau datang sebentar," suara Dina terdengar ceria, meskipun ada nada kekhawatiran yang samar.

"Ya, aku di rumah. Kamu bisa datang kapan saja."

Tak butuh waktu lama sebelum Dina tiba, membawa serta dua gelas kopi dari kafe favorit mereka. Dina selalu tahu apa yang dibutuhkan Riana. Mereka duduk di teras belakang bersama, menikmati angin sejuk sore hari. Dina memandang sahabatnya yang masih terlihat lelah, tapi ada sinar baru di mata Riana yang membuatnya yakin bahwa temannya ini akan segera bangkit.

"Aku tahu ini berat, Riana," ucap Dina perlahan, memulai percakapan. "Tapi aku bisa lihat kamu jauh lebih kuat daripada yang kamu pikirkan."

Riana tersenyum tipis, mengaduk kopi di tangannya. "Aku berusaha, Dina. Tapi kadang aku merasa semua ini terlalu cepat. Kadang aku bahkan masih berharap ini semua hanya mimpi buruk."

"Aku mengerti." Dina menatap sahabatnya dengan penuh empati. "Tapi kamu sudah melewati bagian terburuknya. Kamu sudah menghadapi mereka berdua. Sekarang, yang tersisa hanya kamu, hidupmu, dan apa yang kamu pilih untuk dilakukan selanjutnya."

Riana menatap matahari yang hampir sepenuhnya tenggelam di balik horizon. Kata-kata Dina benar, tapi pertanyaan yang selalu menghantuinya adalah: apa langkah selanjutnya? Setelah bertahun-tahun hidup di bawah bayangan pernikahannya, apa yang tersisa untuknya?

"Kamu tahu," Riana memulai, suaranya pelan, "sebelum menikah dengan Arman, aku punya begitu banyak mimpi. Aku ingin melanjutkan karierku di bidang seni, aku ingin membuka galeri kecil. Tapi semuanya tertunda begitu kami menikah. Arman selalu bilang itu terlalu berisiko, dan aku... aku percaya padanya."

Dina menatapnya dengan penuh perhatian, mengangguk. "Dan sekarang?"

Riana menghela napas panjang, merasakan kesedihan campur aduk dengan semangat yang perlahan-lahan kembali tumbuh. "Sekarang, aku ingin menemukan diriku lagi. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang orang lain."

Dina tersenyum, menepuk tangan Riana dengan lembut. "Itulah semangat yang aku kenal. Kamu tahu, Riana, kamu selalu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Kamu hanya butuh waktu untuk menemukannya lagi."

Riana tersenyum, meskipun masih ada rasa sakit yang tersisa, ia merasakan sedikit beban terangkat dari dadanya. Setidaknya, ia tahu bahwa jalan ke depan meski sulit, tetap ada. Langkah pertama sudah ia ambil.

Beberapa hari kemudian, Riana menerima surat dari pengacara. Surat itu berisi permintaan Arman untuk bertemu dan membicarakan perceraian secara damai. Membaca kata-kata itu membuat hati Riana terasa seperti dihantam palu. Selama ini, meskipun ia telah siap melepaskan Arman, bagian dari dirinya masih berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka. Tetapi, sekarang ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dipertahankan.

Riana menutup surat itu, lalu meletakkannya di atas meja. Ia memutuskan untuk tidak membalasnya, setidaknya tidak sekarang. Ada hal-hal yang perlu ia pikirkan sebelum ia siap untuk melangkah ke arah itu.

Malam itu, Riana duduk sendirian di ruang tamu. Televisi menyala, tapi pikirannya melayang jauh dari apa yang ditayangkan. Kepalanya penuh dengan kenangan—baik dan buruk—tentang hubungannya dengan Arman. Seberapa banyak yang telah mereka lalui bersama, dan seberapa cepat semua itu hancur begitu saja.

Di saat-saat seperti ini, ketika kesepian menghampiri, Riana sering bertanya pada dirinya sendiri: di mana letak kesalahannya? Apakah ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan pernikahan mereka? Tapi ia tahu, tidak ada jawaban yang pasti. Terkadang, hal-hal yang terjadi bukan karena kesalahan satu pihak, melainkan karena orang berubah. Dan Arman telah berubah.

Ponselnya berdering. Nama Arman muncul di layar. Riana menatap ponsel itu dengan hati yang berkecamuk. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa penasaran dan kebutuhan untuk mendengar suara Arman sekali lagi membuat tangannya bergerak secara otomatis.

"Halo?" Suara Riana terdengar lembut, hampir berbisik.

"Riana..." Suara Arman di seberang telepon terdengar tegang. "Aku ingin bicara. Bisa kita bertemu?"

Riana merasakan getaran di dadanya. "Untuk apa?"

"Aku hanya... aku hanya ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal atas apa yang terjadi. Aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan, tapi aku tidak ingin mengakhiri semuanya seperti ini."

Riana terdiam. Ia mendengar suara tulus di balik kata-kata Arman, tapi itu tidak cukup untuk menghapus semua rasa sakit yang telah ia alami. "Apa yang ingin kamu jelaskan, Arman? Apa yang bisa kamu katakan yang belum aku lihat sendiri?"

"Aku tahu aku telah mengecewakanmu, Riana. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa... aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Aku hanya... aku tersesat. Dan Melati, dia bukan siapa-siapa. Aku sadar sekarang bahwa aku mengacaukan semuanya."

Riana menelan ludah, merasakan kegetiran mengalir di tenggorokannya. "Jika dia bukan siapa-siapa, kenapa kamu mengkhianatiku dengan dia, Arman? Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi bagaimana bisa cinta seperti itu menghancurkan hidup kita?"

"Aku... aku tidak tahu, Riana. Aku membuat keputusan yang bodoh, dan aku tidak bisa memperbaikinya. Tapi aku tidak ingin berpisah seperti ini."

Riana menutup matanya, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. "Arman, mungkin ini satu-satunya cara kita bisa menyelamatkan diri kita masing-masing. Pernikahan ini sudah berakhir, dan kamu tahu itu."

Keheningan di seberang telepon membuat hati Riana semakin berat. Arman tidak membantah. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan pahit itu. Akhirnya, Arman berbicara lagi, suaranya hampir tak terdengar.

"Kalau begitu... mungkin kamu benar. Aku hanya ingin bilang... aku minta maaf, Riana. Dari lubuk hatiku yang terdalam."

Riana menutup telepon tanpa menjawab. Kata-kata Arman bergema di kepalanya, tetapi ia tahu, permintaan maaf itu datang terlambat. Rasa sakit ini terlalu dalam, dan cinta yang dulu pernah ada kini telah memudar.

Seminggu kemudian, Riana berdiri di depan sebuah gedung galeri kecil. Dina menemaninya, seperti biasa, menjadi sahabat yang setia di setiap langkahnya. "Kamu benar-benar ingin mencoba lagi?" tanya Dina dengan senyum penuh semangat.

Riana mengangguk pelan, tatapannya mantap. "Ya. Ini adalah bagian dari diriku yang dulu aku tinggalkan, dan sekarang saatnya aku menemukannya lagi."

Meskipun ada rasa takut dan keraguan yang menyelinap, Riana tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Ia telah memutuskan untuk memulai hidupnya kembali, untuk menemukan dirinya yang selama ini hilang. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalanginya.

Dengan langkah pasti, Riana masuk ke dalam galeri itu, menandai awal dari bab baru dalam hidupnya. Bab yang penuh dengan kebangkitan, kekuatan, dan mungkin, cinta baru yang lebih baik—bukan dari orang lain, tetapi dari dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status