Share

Bab 2: Runtuhnya Kepercayaan

Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam.

Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana.

Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati?

Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa lagi hanya menunggu di rumah, berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, meskipun ia belum tahu apa. Langkah pertamanya adalah menghadapi kenyataan, meski kenyataan itu terlalu pahit untuk ditelan.

Riana meraih ponselnya dan mulai mencari nomor seorang sahabat lama, Dina. Dina adalah orang yang selalu ada di sisi Riana, tetapi sejak menikah, hubungan mereka menjadi renggang karena kesibukan masing-masing. Riana menyesal karena telah menjauh, namun sekarang, ia tahu bahwa ia membutuhkan seseorang untuk mendengar. Seseorang yang bisa mengingatkannya siapa dirinya sebelum semua ini terjadi.

Ponselnya berdering sekali, dua kali, sebelum akhirnya suara ceria Dina terdengar di ujung sana.

“Riana? Ya ampun, sudah lama sekali! Kamu baik-baik saja?” tanya Dina dengan antusias, tanpa menyadari badai yang tengah berkecamuk dalam hati sahabatnya.

Riana terdiam sejenak, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya lagi. "Dina... aku butuh bicara," suaranya terdengar serak, dan Dina langsung tahu ada yang tidak beres.

"Riana, kamu kenapa? Apa yang terjadi?" nada suara Dina berubah menjadi khawatir.

"Ini tentang Arman," ucap Riana, suaranya semakin lirih. "Aku rasa... aku rasa dia tidak setia."

Keheningan mengikuti pengakuan itu, dan untuk beberapa detik, hanya suara napas pelan Dina yang terdengar di ujung telepon. "Tunggu sebentar, Riana. Aku ke sana sekarang."

Dalam waktu singkat, Dina tiba di rumah Riana. Mereka duduk di ruang tamu, dengan secangkir teh yang tak tersentuh di depan mereka. Riana mencoba menjelaskan semuanya, mulai dari pesan yang ia temukan di ponsel Arman hingga percakapan dingin mereka semalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti luka yang terus menganga, semakin dalam setiap kali ia mengingat detailnya.

Dina mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya sesekali meremas tangan Riana sebagai tanda dukungan. Ketika Riana selesai bercerita, Dina menghela napas panjang, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.

"Riana, aku sangat menyesal kamu harus melalui ini," kata Dina lembut. "Tapi kamu harus kuat. Kalau memang ada wanita lain dalam hidup Arman, kamu punya hak untuk tahu kebenarannya. Jangan biarkan dirimu terus tenggelam dalam ketidakpastian ini."

"Tapi bagaimana kalau dia memang tidak selingkuh?" Riana mendesah, memandang Dina dengan mata penuh kebingungan. "Bagaimana kalau aku hanya berlebihan dan... malah menghancurkan pernikahan kami sendiri?"

Dina menggeleng, matanya tajam. "Kamu tidak menghancurkan apa pun, Riana. Kalau dia memang setia, dia seharusnya tidak pernah membuatmu merasa seperti ini. Rasa curiga dan sakit ini bukan sesuatu yang kamu buat sendiri. Kamu layak mendapatkan kepastian, apapun itu."

Riana terdiam, menyerap kata-kata sahabatnya. Kepastian. Itulah yang ia butuhkan. Sesuatu yang konkret, sesuatu yang tidak bisa disangkal lagi.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Riana akhirnya, suaranya penuh keputusasaan.

"Kamu harus menghadapi ini langsung, Riana," jawab Dina tegas. "Cari tahu siapa wanita itu. Temui dia. Dan kalau benar ada sesuatu di antara mereka, kamu berhak untuk menuntut jawaban. Tidak bisa hanya menunggu Arman yang mengaku, karena sepertinya dia tidak akan melakukannya dengan mudah."

Pikiran itu membuat jantung Riana berdetak lebih cepat. Bertemu dengan wanita itu? Menghadapinya secara langsung? Itu terasa seperti langkah besar yang menakutkan, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa Dina benar. Arman tidak akan pernah memberikan jawaban yang jujur kecuali ia dipaksa untuk melakukannya.

Riana akhirnya mengangguk, meski ada ketakutan yang melingkupi hatinya. "Baik," katanya pelan. "Aku akan cari tahu siapa dia."

Dina meremas tangan Riana sekali lagi, memberi kekuatan pada sahabatnya. "Kamu tidak sendirian, Riana. Aku ada di sini untukmu, apapun yang terjadi."

Hari-hari berikutnya, Riana mulai mengamati gerak-gerik Arman lebih hati-hati. Setiap malam, ia mencatat waktu pulang Arman, siapa yang meneleponnya, dan bahkan bagaimana raut wajahnya saat menerima pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Perlahan, Riana merasakan dinding kecurigaan semakin kokoh di hatinya.

Sampai pada suatu malam, kesempatan itu datang. Arman yang biasanya begitu hati-hati, akhirnya melakukan kesalahan. Ponselnya tertinggal di atas meja makan saat ia terburu-buru mandi. Jantung Riana berdegup kencang. Ada rasa takut, tetapi juga desakan yang begitu kuat untuk mengetahui kebenaran.

Tangannya gemetar saat meraih ponsel Arman. Ia menggulirkan layar, mencari pesan dari "R". Dan di sanalah, percakapan itu. Percakapan yang penuh kehangatan, sesuatu yang dulu selalu ada antara dirinya dan Arman, tetapi kini sudah hilang.

R: "Aku tidak sabar bertemu denganmu besok. Sudah rindu sekali."

Arman: "Aku juga. Maaf tadi tidak bisa bicara lama, Riana curiga."

R: "Hati-hati ya, jangan sampai ketahuan. Aku ingin kita tetap seperti ini."

Riana merasa dunia di sekelilingnya berputar. Pandangannya kabur seketika, dan tangannya terasa lemas hingga hampir menjatuhkan ponsel itu. Ada di sana, hitam di atas putih, bukti yang tak bisa lagi ia bantah. Perselingkuhan itu nyata.

Tangannya gemetar saat meletakkan kembali ponsel itu di tempatnya. Ia berdiri di dapur, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sesak di dadanya semakin tak tertahankan. Bagaimana bisa Arman melakukan ini padanya? Di mana salahnya hingga pria yang pernah bersumpah setia itu tega mengkhianati kepercayaan mereka?

Saat Arman keluar dari kamar mandi, ia menemukan Riana berdiri dengan punggung menghadapnya, tangan terentang ke meja dapur, seperti sedang menahan beban berat.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Arman, suaranya datar seperti biasanya, seolah tidak ada yang salah.

Riana memejamkan mata, berusaha meredam emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia ingin menjerit, ingin berteriak, tetapi tidak sekarang. Bukan saat ini. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski suaranya terdengar serak.

"Kalau begitu, aku tidur dulu, ya?" Arman melangkah pergi tanpa curiga, meninggalkan Riana yang masih terpaku di tempatnya.

Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh. Riana merasakan kehangatan mengalir di pipinya, tetapi air mata itu bukan hanya air mata kesedihan. Di balik setiap tetesan, ada kemarahan yang perlahan-lahan berkobar di dalam dirinya.

Wanita itu. Siapa dia? Apa yang ia punya sehingga Arman lebih memilihnya daripada Riana, istri yang telah setia mendampinginya selama ini?

Riana tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan lagi menunggu. Sudah cukup Arman bermain di belakangnya. Saatnya Riana mengungkapkan segalanya. Tidak ada lagi yang bisa ditutupi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status