Share

Di Balik Topeng Pengkhianatan
Di Balik Topeng Pengkhianatan
Penulis: Nur Avillah

Bab 1: Kehidupan yang Terlihat Sempurna

Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban.

Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut.

"Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja."

Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbunyi, "Aku rindu kamu," tetapi dampaknya seperti bom yang meledak di dalam hati Riana. Nama pengirimnya, "R", membuatnya bertanya-tanya siapa wanita itu. Riana berusaha menepis pikiran buruk itu, tapi keraguan terus menghantui.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka. Riana segera berdiri, menatap ke arah pintu dengan harapan. Arman masuk, basah kuyup dari hujan, wajahnya terlihat lelah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang berbeda. Sesuatu yang dingin, seperti jarak yang tak terlihat tapi terasa.

"Kamu pulang terlambat lagi," ucap Riana dengan suara pelan, mencoba menahan kekecewaan yang merambat di suaranya.

Arman melepaskan jaketnya dengan malas, menggantungnya di balik pintu. "Ada rapat mendadak. Maaf."

"Rapat sampai jam segini?" Riana mencoba tersenyum, tetapi hatinya terasa sakit. "Aku sudah siapkan makan malam. Kamu mau makan sekarang?"

Arman menggeleng, berjalan melewati meja makan tanpa menatap makanan yang tertata di sana. "Aku sudah makan di luar. Terlalu lelah untuk makan lagi."

Riana berdiri mematung di tempatnya. Perasaannya campur aduk antara marah dan sedih. "Dengan siapa kamu makan di luar?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja, tanpa rencana. Arman berhenti sejenak, menoleh padanya dengan alis terangkat. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Karena aku ingin tahu." Riana berusaha mempertahankan suaranya tetap tenang. "Kamu selalu pulang larut dan... ada hal yang mengganggu pikiranku."

"Apa maksudmu?" Suara Arman terdengar tajam, dan Riana bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba hadir di antara mereka.

Riana menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu. Haruskah ia mengatakannya sekarang? Tentang pesan itu? Tentang kecurigaannya?

"Aku... aku menemukan pesan di ponselmu," ucap Riana akhirnya. "Dari seseorang yang mengirimkan pesan bahwa dia merindukanmu. Siapa dia, Arman?"

Wajah Arman seketika berubah, matanya mengeras. Ia menatap Riana dengan dingin, seperti menilai apa yang baru saja diucapkannya. "Kamu menggeledah ponselku?"

"Aku tidak menggeledah. Aku hanya tidak sengaja melihat saat kamu sedang mandi," jawab Riana cepat. "Tapi itu bukan intinya. Aku hanya ingin tahu, siapa wanita itu?"

Arman menghela napas panjang, seperti seseorang yang baru saja diberikan beban tambahan yang tidak diinginkan. Ia mengalihkan pandangannya dari Riana, berjalan menuju sofa dan duduk di sana. "Itu tidak penting, Riana. Jangan terlalu memikirkan hal-hal kecil seperti itu."

"Hal kecil?" Riana merasakan amarah mulai membakar dadanya. "Pesan dari wanita lain yang mengatakan bahwa dia merindukanmu, kamu sebut itu hal kecil?"

"Ya," jawab Arman tegas. "Itu hanya salah satu klien yang sedikit terlalu dekat. Aku sudah menjelaskannya, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."

"Tapi kenapa kamu tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya?" Riana melangkah mendekat, berdiri di hadapan Arman yang masih duduk di sofa. "Kenapa kamu tidak pernah jujur padaku?"

"Riana, aku lelah," Arman menggosok wajahnya dengan tangan. "Aku tidak ingin bertengkar tentang hal ini sekarang. Bisa kita bicarakan nanti?"

"Setiap kali aku ingin bicara, kamu selalu bilang nanti. Tapi nanti itu kapan, Arman? Ketika semuanya sudah terlambat?"

Arman menatapnya, matanya tampak gelap dan sulit dibaca. "Kamu berlebihan, Riana. Aku bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, jadi tidak perlu dibahas lebih jauh."

"Tapi aku yang merasa khawatir!" Riana merasa air mata mulai menggenang di matanya. "Aku yang merasa ditinggalkan dalam pernikahan ini, Arman. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya membuatmu peduli."

Arman berdiri tiba-tiba, membuat Riana mundur selangkah. "Cukup, Riana. Aku sudah bilang tidak ada apa-apa. Kalau kamu tidak bisa mempercayai aku, maka masalahnya ada pada kamu, bukan aku."

Kalimat itu menusuk Riana seperti belati. Ia berdiri di sana, terdiam, sementara Arman berjalan pergi, menuju kamar tanpa menoleh lagi. Pintu kamar terdengar tertutup dengan suara keras, meninggalkan Riana sendirian di ruang tamu yang dingin.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Riana jatuh terduduk di sofa, menangis dalam kesunyian. Ia tidak tahu bagaimana semuanya bisa berubah menjadi seperti ini. Pernikahannya yang dulu penuh cinta kini terasa seperti sangkar kosong, dan ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari kegelapan ini.

***

Pagi harinya, Riana bangun dengan mata sembab dan hati yang terasa berat. Kelelahan emosional dari malam sebelumnya belum juga hilang. Arman, seperti biasa, sudah berangkat lebih awal tanpa sepatah kata pun. Tak ada pesan, tak ada pelukan, hanya kesunyian yang semakin mengoyak hatinya.

Riana duduk di meja makan, menatap sisa makanan yang tidak disentuh dari malam sebelumnya. Pikirannya melayang, mengingat masa-masa di mana Arman akan mencium dahinya sebelum pergi ke kantor, mengatakan bahwa ia mencintainya. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan yang terasa semakin jauh. Pernikahan mereka berubah menjadi sesuatu yang asing, seperti jalan berliku tanpa arah yang jelas.

Sambil mengaduk kopi yang mulai dingin, Riana merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Tangannya gemetar ketika melihat layar.

“Kita harus bicara nanti malam.”

Pesan dari Arman.

Hanya itu. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Riana memandangi pesan itu dengan perasaan campur aduk. Haruskah ia berharap ini adalah awal dari penyelesaian masalah mereka? Atau justru awal dari akhir?

Hari itu terasa panjang. Riana berusaha menyibukkan dirinya dengan pekerjaan rumah, tetapi setiap langkah dan gerakannya terasa kosong. Pikirannya terus mengembara, membayangkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi nanti malam. Apakah Arman akan mengaku? Apakah ia akan berbohong lagi?

Ketika matahari mulai tenggelam, hatinya mulai dipenuhi kecemasan. Ia menyiapkan makan malam yang sederhana kali ini, tidak lagi menaruh harapan besar. Kali ini, ia hanya ingin kejelasan. Namun, ketakutan terus menghantui pikirannya—takut jika malam ini adalah saat di mana semua runtuh.

Pukul delapan malam, suara mesin mobil terdengar di luar. Arman akhirnya pulang. Ia masuk ke rumah dengan ekspresi dingin, melepaskan sepatunya dengan cara yang biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Sesuatu yang membuat suasana semakin tegang.

"Kamu bilang kita perlu bicara," ucap Riana langsung, tanpa basa-basi.

Arman mengangguk pelan, berjalan menuju meja makan tanpa menyentuh makan malam yang sudah disiapkan. "Kita memang perlu bicara."

Riana menelan ludah, mencoba mengatasi gumpalan emosi yang menghalangi tenggorokannya. "Baik. Aku dengar. Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Arman menatapnya, mata mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Namun, bukannya kelembutan, yang Riana lihat hanyalah kelelahan—bukan hanya fisik, tapi juga emosional. "Aku rasa kita berdua tahu bahwa ini tidak lagi berjalan dengan baik," katanya dengan nada datar, tanpa perasaan.

Riana merasakan hatinya mencelos. "Apa maksudmu, Arman?"

"Aku merasa lelah. Kita sudah terlalu sering bertengkar, terlalu sering merasa kecewa," Arman melanjutkan. "Dan... aku tidak tahu apakah kita bisa memperbaiki semua ini."

"Jadi, kamu ingin menyerah?" Riana merasakan air matanya kembali menggenang, tapi ia menahannya. "Kamu ingin mengakhiri pernikahan kita karena masalah-masalah ini?"

"Aku tidak bilang aku ingin mengakhirinya," kata Arman sambil menghela napas. "Tapi aku juga tidak bisa terus hidup seperti ini, Riana. Aku merasa terjebak."

"Terjebak?" Suara Riana naik satu oktaf, cermin dari kemarahan yang telah lama ia pendam. "Terjebak dalam apa, Arman? Dalam pernikahan yang seharusnya kita jalani bersama? Apa ini semua karena wanita itu? Karena pesan yang aku temukan?"

Arman terdiam, tatapannya tertuju ke arah jendela, menghindari pertanyaan Riana. Keheningan yang mengikutinya menjawab segalanya.

"Jadi, benar?" Riana merasakan dadanya sesak. "Kamu memang berselingkuh?"

"Selingkuh?" Arman akhirnya menatapnya, wajahnya tampak terkejut. "Aku tidak berselingkuh, Riana. Ya, aku dekat dengan seseorang di kantor, tapi itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku hanya merasa... bisa berbicara dengan dia. Dia tidak menghakimiku, tidak membuatku merasa bersalah atas segala sesuatu."

Riana merasa amarahnya meluap. "Tidak menghakimimu? Jadi sekarang aku yang salah karena peduli pada pernikahan kita? Karena aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu? Kamu malah mencari kenyamanan dari wanita lain?"

"Aku tidak mencari kenyamanan dari siapa pun!" Arman membantah keras. "Aku hanya... aku hanya lelah dengan kita, dengan semua ini. Setiap hari kita hanya bertengkar atau diam. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

"Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencoba bicara padaku?" Riana membalas dengan suara gemetar. "Kenapa kamu lebih memilih bicara dengan orang lain daripada istrimu sendiri? Apa yang salah dengan kita, Arman? Apa aku tidak cukup untukmu?"

Arman menggeleng, wajahnya tampak kusut. "Ini bukan tentang kamu yang tidak cukup, Riana. Ini tentang kita yang tidak lagi bisa saling mengerti."

Riana terdiam, merasakan setiap kata yang diucapkan Arman menusuk hatinya. Kata-kata itu seperti palu yang menghancurkan sisa-sisa harapan yang masih ia pegang.

"Kamu tahu," ucap Riana akhirnya, suaranya rendah namun tegas, "aku selalu berpikir kita bisa melewati semua ini. Bahwa cinta kita cukup kuat untuk mengatasi semua masalah. Tapi sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku percaya."

Arman tidak menjawab, hanya menatap meja di depannya dengan pandangan kosong.

Riana mengusap air mata yang mulai jatuh. "Kalau kamu memang merasa lelah, Arman, kalau kamu memang merasa terjebak, maka pergilah. Aku tidak akan memaksamu untuk tinggal di sini kalau hatimu sudah tidak ada lagi di pernikahan ini."

Arman terdiam lama, lalu akhirnya berdiri dari kursinya. Ia berjalan menuju pintu tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Riana sendirian di meja makan. Hati Riana terasa hancur, tapi ada ketenangan aneh yang muncul di dalam dirinya. Ketenangan karena akhirnya, setelah berbulan-bulan terjebak dalam ketidakpastian, ia tahu bahwa pernikahan ini mungkin sudah berada di ujung jalan.

Saat pintu tertutup di belakang Arman, Riana merasakan perasaan campur aduk antara kehancuran dan pembebasan. Air mata jatuh perlahan di pipinya, tetapi di balik rasa sakit yang begitu dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status