Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng
Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak
"Kau kalah, Lio." Nada suara Davin terdengar datar, tapi dinginnya menampar seluruh ruangan. Suara itu menggema di tengah forum saham tertutup yang hanya dihadiri segelintir elite. Semua mata tertuju pada dua sosok penguasa pasar modal: Davin Valizan Alviano, CEO muda dari Valizan Corp, dan Lio Daryan, pewaris sekaligus wajah depan korporasi raksasa Daryan Group. Lio menyeringai miring, mencoba menyembunyikan kekalahan memalukannya. Tapi grafik saham di layar LED di belakang mereka tak bisa dibantah. Garis biru milik Valizan mengungguli merah milik Daryan Group, tajam dan menusuk. "Ini belum berakhir, Davin." "Sayangnya, menurut data, ini sudah selesai," potong Davin tajam. "Tahun ini, aku menang." Seketika suasana mencekam. Seorang petinggi forum mulai berdiri, bersiap mengakhiri pertemuan—namun Davin angkat tangan, menghentikannya. "Aku punya satu tambahan sebelum kita tutup hari ini." Semua kepala menoleh. "Aku ingin... setengah saham dari perusahaan Lio." Lio m
"Jangan buat suara."Kalimat itu bukan perintah biasa. Itu semacam peringatan, lirih tapi menusuk seperti bisikan hantu di koridor rumah tua. Suasana rumah keluarga Daryan yang megah itu terasa jauh dari mewah—lebih mirip museum tak bernyawa. Setiap langkah Davin menggema pelan, disambut dinding putih gading yang dingin dan lukisan-lukisan lawas yang menatapnya dengan mata mati.Perempuan tua yang membukakan pintu tidak menatap matanya, seolah takut sesuatu. Atau seseorang."Di lantai dua, kamar paling ujung," katanya tanpa suara berarti, seperti mengirim Davin ke tempat yang seharusnya tidak dikunjungi.Davin naik, tidak bicara, tidak ragu. Map di tangannya berisi dokumen yang secara hukum mengikat seorang perempuan bernama Aleya sebagai istrinya. Hanya karena taruhan. Hanya karena dendam. Hanya karena kekuasaan.Pintu kamar itu tidak terkunci. Saat dibuka, bau lembap menyambutnya. Jendela tertutup rapat. Tirai tebal menahan cahaya masuk. Dan di dalamnya—ada dia.Gadis itu duduk di
Langit mendung menggantung saat mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang mansion milik Davin Alvaro. Rumah dengan arsitektur modern itu berdiri megah, namun hari ini terasa dingin. Begitu juga dengan hati pria yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan seorang gadis bertubuh mungil dituntun masuk oleh dua pengawal pribadinya."Aleya Daryan," gumam Davin pelan.Gadis itu tidak bicara. Langkahnya terhuyung, tubuhnya menegang ketika salah satu pengawal menyentuh bahunya. Matanya liar, seperti hewan buruan yang terpojok. Ia sempat meronta kecil, lalu kembali pasrah saat melihat Dean berdiri di dekat tangga.“Dia seperti... pecahan kaca,” gumam Dean sambil melipat tangan di depan dada. “Dan lo nggak tahu cara megang pecahan kaca, Vin.”Davin tidak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada sosok Aleya yang kini berdiri di tengah ruang tamunya. Gadis itu memeluk tubuh sendiri, seperti takut disentuh udara. Kepalanya tertunduk. Rambut panjang yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.Hen
“Aleya, apakah kau menggapku suamimu?” gumam Davin pelan.Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin Velizan Alviano melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.Namun, malam itu, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka, langkah Davin terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu gantung modern berdesain hitam matte, lalu duduk di kursi kulit yang dibuat khusus dari Italia.Ia memandangi jendela, tapi pikirannya tak bisa diam. Wajah Aleya Calisha Daryan terus muncul. Wajah pucat, mata sembab, suara yang hilang entah ke mana, dan luka-luka tak terlihat yang kini menumpuk di bawah atap miliknya.Di luar, angin mengoyak tirai dan mengusik ketenangan malam. Tapi di dalam pikirannya, badai jauh lebih liar.Davin Velizan Alviano.Nama yang menggetarkan banyak pengusaha kelas atas dan pejabat tinggi. Di usia 30 tahun, lelaki itu sudah memegang lima anak perusahaan yang tersebar di bidang properti, perhot
Langit mulai gelap ketika Davin Velizan Alviano akhirnya pulang dari kantor pusat. Jas hitamnya masih tersemat rapi, tapi wajahnya penuh lelah. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena... dia belum bisa berhenti memikirkan gadis itu."Aleyya Calisha Daryan."Nama itu menghantui pikirannya, bahkan saat rapat pemegang saham, bahkan ketika dia duduk di belakang kemudi mobil mewahnya. Luka gadis itu terlalu dalam. Terlalu sepi. Terlalu... memanggil sisi manusia dalam dirinya yang selama ini dia kunci rapat-rapat.Begitu melangkahkan kaki di dalam mansion, langkah Davin langsung mengarah ke kamar Aleya. Wajahnya tegang, berharap menemukan gadis itu tertidur atau setidaknya duduk diam seperti biasanya.Tapi kamar itu kosong.Ranjang rapi. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Aleya.“Bi Suri!” suara Davin meninggi, dingin dan tajam seperti biasa.Bi Suri datang tergopoh, tubuh tuanya gemetar. “I-itu... nona... nona di taman, T-tuan...”“Kenapa tidak kau bilang lebih awal?!”“S-saya
Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,
Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak
Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng
Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.
Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,
Langit mulai gelap ketika Davin Velizan Alviano akhirnya pulang dari kantor pusat. Jas hitamnya masih tersemat rapi, tapi wajahnya penuh lelah. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena... dia belum bisa berhenti memikirkan gadis itu."Aleyya Calisha Daryan."Nama itu menghantui pikirannya, bahkan saat rapat pemegang saham, bahkan ketika dia duduk di belakang kemudi mobil mewahnya. Luka gadis itu terlalu dalam. Terlalu sepi. Terlalu... memanggil sisi manusia dalam dirinya yang selama ini dia kunci rapat-rapat.Begitu melangkahkan kaki di dalam mansion, langkah Davin langsung mengarah ke kamar Aleya. Wajahnya tegang, berharap menemukan gadis itu tertidur atau setidaknya duduk diam seperti biasanya.Tapi kamar itu kosong.Ranjang rapi. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Aleya.“Bi Suri!” suara Davin meninggi, dingin dan tajam seperti biasa.Bi Suri datang tergopoh, tubuh tuanya gemetar. “I-itu... nona... nona di taman, T-tuan...”“Kenapa tidak kau bilang lebih awal?!”“S-saya
“Aleya, apakah kau menggapku suamimu?” gumam Davin pelan.Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin Velizan Alviano melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.Namun, malam itu, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka, langkah Davin terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu gantung modern berdesain hitam matte, lalu duduk di kursi kulit yang dibuat khusus dari Italia.Ia memandangi jendela, tapi pikirannya tak bisa diam. Wajah Aleya Calisha Daryan terus muncul. Wajah pucat, mata sembab, suara yang hilang entah ke mana, dan luka-luka tak terlihat yang kini menumpuk di bawah atap miliknya.Di luar, angin mengoyak tirai dan mengusik ketenangan malam. Tapi di dalam pikirannya, badai jauh lebih liar.Davin Velizan Alviano.Nama yang menggetarkan banyak pengusaha kelas atas dan pejabat tinggi. Di usia 30 tahun, lelaki itu sudah memegang lima anak perusahaan yang tersebar di bidang properti, perhot
Langit mendung menggantung saat mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang mansion milik Davin Alvaro. Rumah dengan arsitektur modern itu berdiri megah, namun hari ini terasa dingin. Begitu juga dengan hati pria yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan seorang gadis bertubuh mungil dituntun masuk oleh dua pengawal pribadinya."Aleya Daryan," gumam Davin pelan.Gadis itu tidak bicara. Langkahnya terhuyung, tubuhnya menegang ketika salah satu pengawal menyentuh bahunya. Matanya liar, seperti hewan buruan yang terpojok. Ia sempat meronta kecil, lalu kembali pasrah saat melihat Dean berdiri di dekat tangga.“Dia seperti... pecahan kaca,” gumam Dean sambil melipat tangan di depan dada. “Dan lo nggak tahu cara megang pecahan kaca, Vin.”Davin tidak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada sosok Aleya yang kini berdiri di tengah ruang tamunya. Gadis itu memeluk tubuh sendiri, seperti takut disentuh udara. Kepalanya tertunduk. Rambut panjang yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.Hen
"Jangan buat suara."Kalimat itu bukan perintah biasa. Itu semacam peringatan, lirih tapi menusuk seperti bisikan hantu di koridor rumah tua. Suasana rumah keluarga Daryan yang megah itu terasa jauh dari mewah—lebih mirip museum tak bernyawa. Setiap langkah Davin menggema pelan, disambut dinding putih gading yang dingin dan lukisan-lukisan lawas yang menatapnya dengan mata mati.Perempuan tua yang membukakan pintu tidak menatap matanya, seolah takut sesuatu. Atau seseorang."Di lantai dua, kamar paling ujung," katanya tanpa suara berarti, seperti mengirim Davin ke tempat yang seharusnya tidak dikunjungi.Davin naik, tidak bicara, tidak ragu. Map di tangannya berisi dokumen yang secara hukum mengikat seorang perempuan bernama Aleya sebagai istrinya. Hanya karena taruhan. Hanya karena dendam. Hanya karena kekuasaan.Pintu kamar itu tidak terkunci. Saat dibuka, bau lembap menyambutnya. Jendela tertutup rapat. Tirai tebal menahan cahaya masuk. Dan di dalamnya—ada dia.Gadis itu duduk di
"Kau kalah, Lio." Nada suara Davin terdengar datar, tapi dinginnya menampar seluruh ruangan. Suara itu menggema di tengah forum saham tertutup yang hanya dihadiri segelintir elite. Semua mata tertuju pada dua sosok penguasa pasar modal: Davin Valizan Alviano, CEO muda dari Valizan Corp, dan Lio Daryan, pewaris sekaligus wajah depan korporasi raksasa Daryan Group. Lio menyeringai miring, mencoba menyembunyikan kekalahan memalukannya. Tapi grafik saham di layar LED di belakang mereka tak bisa dibantah. Garis biru milik Valizan mengungguli merah milik Daryan Group, tajam dan menusuk. "Ini belum berakhir, Davin." "Sayangnya, menurut data, ini sudah selesai," potong Davin tajam. "Tahun ini, aku menang." Seketika suasana mencekam. Seorang petinggi forum mulai berdiri, bersiap mengakhiri pertemuan—namun Davin angkat tangan, menghentikannya. "Aku punya satu tambahan sebelum kita tutup hari ini." Semua kepala menoleh. "Aku ingin... setengah saham dari perusahaan Lio." Lio m