Hari yang ditunggu itu pun tiba aku melakukan USG betapa bahagianya aku saat mendengar dokter mengatakan bahwa jenis kelamin janinku laki-laki. Berkali-kali Mas Bagas menciumku. Kami sangat bersyukur setelah penantian yang panjang akhirnya Tuhan mengizinkan kami merawat bayi laki-laki.
“Maaf Bu, sepertinya ada sedikit masalah pada janin yang ibu kandung,” ucap Dokter.“Maksudnya, Dok?” tanyakuJantungku mendadak berpacu sangat cepat. Ada apa dengan janinku?“Ada abnormalitas pada janin ibu, terdapat kelebihan cairan di bagian belakang leher, ibu bisa lihat di layar USG,” ucap Dokter sambil tangannya menunjuk ke layar USG.“Saya enggak ngerti Dok, maksudnya bagaimana anak saya kenapa?” tanyaku tak sabar.“Sabar sayang, biar dokter jelasin dulu,” Mas Bagas mencoba menenangkanku.“Gini Bu ada kemungkinan janin ibu mengalami down syndrome, untuk lebih jelasnya lagi ibu bisa lakukan beberapa test, untuk hasil yang lebih akurat,” ucap dokter.“Apa down syndrome Dok?” tanyaku.“Dek ini kan baru praduga ya Dok, belum pasti kan?” tanya Mas Bagas.“Benar, untuk lebih pastinya kita bisa lakukan screening test Pak,” jawabnya.“Mas dokter bilang down syndrome, Mas tau itu apa? Anak kita Mas...”“Hei Sayang istigfar, belum pasti kok? Memangnya kenapa kalau anak kita down sydrome anak itu anugerah dek, apalagi anak kita laki-laki,” jawab Mas Bagas.“Astaghfirrullahaladzim ya Allah, Mas ga bakal ninggalin aku kan kalau anak kita...”“Berkali-kali Mas bilang anak itu anugerah, Mas ga akan ninggalin Adek cuma karena anak kita down syndrome, udah ah malu tuh sama dokter diliatin,” ucap Mas Bagas.Kutatap Dokter yang berada di depanku dia hanya tersenyum, ah aku jadi sedikit malu karena terlalu terbawa perasaan.“Maaf ya Dok kenapa ya kok bisa anak saya kena down syndrome?” tanyaku.“Sampai sekarang belum diketahui penyebab pastinya, tapi kemungkinan besar karena kehamilan di usia lanjut, faktor genetik atau bisa juga pola hidup yang tidak sehat,” ucap Dokter.“Tapi dok saya engggak punya riwayat keturunan down syndrome,” ucapku.“Mas punya, Dek,” lirih Mas Bagas.“Apa?” Aku tak percaya bagaimana mungkin siapa orangnya? kenapa aku tak pernah tahu?“Kaka Mas pengidap down syndrome,” lirih Mas Bagas lagi.“Kenapa aku tak pernah tahu bukannya Mas ga pernah punya Kaka?” Mas Bagas terdiam.“Kita bicarakan ini nanti di rumah,” ucapnya.Lidahku mendadak kelu, entah berapa banyak rahasia lagi yang keluarga Mas Bagas sembunyikan. Setahuku keluarga Mas Bagas hanya punya satu orang anak, entah di kemanakan anak itu.“Kapan tes itu bisa dilakukan, Dok,” tanyaku.“Besok bisa,” jawab Dokter.“Baiklah saya akan datang lagi ke sini besok,” ucapku. Sesuai janjinya Mas Bagas mulai menceritakan kalau kakaknya di buang ke panti asuhan saja kecil. Mas Bagas mengatakan kalau dia pun tahu hal ini saat usianya menginjak 17 tahun. Selama itu orang tuanya menyembunyikannya, karena mereka malu.Bagaimana mungkin orang tua tega berbuat demikian pada darah dagingnya sendiri?“Adek tahu Mas Dika di panti Asuhan bumi ceria, itu kakak Mas,” ucap Mas Bagas.“Astaghfirrullah Mas, kenapa Mas membiarkan Mas Dika di sana kalau Mas sudah tahu ini semua?”“Ayah melarang kita buat jemput Mas Dika,” jawabnya“Terus kamu nurut?” tanyaku.“Ayah ngancem kalau sampai jemput Mas Dika, Mas ga akan dianggap anak lagi.”“Terus Mas nurut gitu aja?” tanyaku. Mas Bagas hanya mengangguk pelan.“Ayah ngancem bakal ninggalin Ibu, makanya Mas ga lakuin itu,” ucapnya.“Apa Mas tahu kalau ibumu di poligami?” tanyaku.“Apa maksudmu, Dek?” tanya Mas Bagas.Aku pun menjelaskan apa yang Ibu katakan padaku saat kita bertemu di Cafe, bisa kulihat raut wajah Mas Bagas berubah penuh amarah.“Aku pamit, Dek.”“Mau ke mana Mas?” tanyanya.“Kamu jaga anak-anak aja, aku ga bisa biarin ini,” ucapnya“Jangan mengambil sikap saat emosi Mas!” Masih berusaha menenangkannya sebisaku.“Selama ini Mas lakukan apa pun yang Ayah suruh karena dia selalu mengancam akan meninggalkan ibu. Ibu enggak sekuat kamu, selalu saja tidak percaya diri mungkin karena latar belakang ibu yang bukan dari kalangan atas. Ibu tak pernah mau melawan, karena itulah aku selalu ingin melindunginya.”“Aku enggak terima ini Dek, tolong jangan halangi Mas kali ini akan kuberi laki-laki brengsek itu pelajaran.”Tengah malam Mas Bagas baru sampai rumah, penampilannya begitu acak-acakkan, kusambut dia dengan senyuman tak lupa dengan segelas susu hangat kesukaannya. Tanpa jeda dia menghabiskan susu yang kusuguhkan, dengan hanya beberapa kali tegukan, dapat kulihat amarah masih tampak dari wajahnya. Aku suruh dia beristigfar berkali-kali hingga dia merasakan sedikit lebih tenang. Entah apa yang terjadi di rumah mertuaku, hingga membuat suamiku seemosi ini. “Dia itu dari dulu bisanya cuma ngancem Dek, kesel Mas, ibu juga bisanya diem aja udah disakitin berkali-kali masih aja bertahan,” ucapnya. “Mas, begitulah perempuan yang punya cinta yang murni dan tulus, jangankan rasa sakit logika pun ga akan di pake,” ucapku. “Dek, apa rasanya sesakit ini, pengkhianatan ini, apa yang Meisya rasakan sesakit ini?” tanya Mas Bagas. Kubalas dia dengan senyuman, memberinya jeda untuk berpikir kesalahannya. “Syukurkah kalau Mas bisa ngambil hikmah dari kejadian
Pov BagasDia Kirana, wanita yang kunikahi 12 tahun yang lalu ibu dari ketiga putriku dan sebentar lagi kami akan diberi amanah yang keempat. Aku tak peduli jika calon anakku akan lahir dalam keadaan istimewa. Dia tetaplah anakku.Cukup Abangku yang merasakannya sampai mati pun aku tak akan pernah berlaku sama dengan Ayah. Membuang darah dagingnya sendiri. Kesalahan yang kulakukan padanya terbilang fatal. Godaan wanita masa laluku hadir kembali. Kirana bilang hanya ada dua hal yang mungkin terjadi ketika kita bertemu orang yang pernah mengisi hati kita di masa lalu jatuh cinta lagi atau hanya sekedar rindu. Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali, tapi lagi-lagi gagal. Hingga Kiran meninggalkanku sendirian di rumah, bisa kurasakan kesepian yang mendalam terjadi di sini, dihatiku.Aku berjanji tidak akan lagi membuatmu ragu meskipun kutahu semuanya tak akan semudah dulu kamu bahkan mengajukan surat perjanjian, yang bisa kulakukan hanya menuruti apa maunya. Dia terlalu berarti dalam hid
Pov BagasMeisyaa, no Sayang! Itu namanya kekerasan.” Kiran memeluk Meisya dengan erat.Kulihat Meisya menghentikan jalannya. Dia membukas toples itu lalu memakan kukis di dalamnya dengan cepat dapat kudengar gertakan giginya yang sepertinya sengaja dia hentakkan, sambil menatap tajam ke arah Riana dia terus saja memakan kukis itu lalu membawanya sampai ke kamar.Jujur saja di tengah kepanikan ini aku ingin tertawa dasar anak kecil bisa-bisanya makan kukis padahal habis jambak orang. Setelah dipeluk Kiran, Meisya pun pergi ke kamarnya. Sedang Kiran menemaniku menemui Riana.“Mau apa kamu kesini?” tanyaku pada Riana.“Aku mau minta kejelasanlah, berapa hari kamu enggak ngontak aku.” tanya Riana.“Untuk apa dia ngontek kamu? Itu artinya kamu sudah di buang,” ucap Kirana. Menyaksikan dua wanita memperebutkanku rasanya seketika aku merasa jadi manusia terganteng sedunia.“Sudah, sudah kamu pergi aja Riana jangan ganggu keluargaku lagi! Mulai hari ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi,
Pov Bagas “Kamu sudah bersumpah di atas alquran Mas, masih mau melanggar, tanggung sendiri akibatnya,” Riana menatapku dengan tajam. Rupanya sedari tadi dia memperhatikan raut mukaku. Setelah Riana pergi dari rumahku, hatiku tasanya tak karuan seperti anak muda yang baru bertemu dengan gebetan. Oh kenapa wanita hamil jadi begitu sensitif ke mana senyumnya yang dulu? Dia bahkan tak bisa menahan cemburu walau hanya sebentar. “Engga Sayang, Mas tetap cinta sama kamu,” ucapku pada Kirana. Setahuku perempuan suka sekali dinyatakan cinta. Tak peduli itu tulus atau tidak. Namun, percayalah aku ini tulus mencintainya, walaupun godaan selalu datang melanda yang kadang membuatku maju mundur dan ragu berkali-kali. Benar saja setelah kuucapkan jurus kata cintaku, dapat kulihat senyum terukir di bibir merahnya. "Nah gitu dong, ‘kan jadi Adek Kirana tambah cantik." Membahagiakan wanita memang semudah ini tak perlu keluar banyak uang. Kini pipi istriku bersemu merah jambu. Kuakui semenjak hamil di
Pov Bagas “Kiran maksudnya apa foto ini?” Kupelankan suaraku agar tak sampai terdengar Ibu yang keberadaannya hanya terhalang tembok kamarku. Dia tengah beristirahat di kamar sebelah. Foto yang dikirim Riana kutunjukkan itu pada Istriku. Tak ada jawaban darinya kudengar dia sedikit berdecak. Sedetik kemudian senyum terukir indah di bibir merahnya. “Kiran, ini apa?” Kenapa perempuan selalu senang menguji kesabaranku? Jangan tersenyum! Senyum malaikatmu itu kau simpan saja untuk nanti yang kubutuhkan hanyalah jawaban . “Kamu itu kenapa Mas, cemburukah?” Kiran menatapku, segera kupalingkan wajahku. “Dari siapa foto itu? Riana ‘kan?” Pertanyaan Kiran membuatku balik menatapnya, entah kenapa kurasa raut wajahnya kali ini terkesan meremehkanku. “Tak penting itu dari siapa. Pokoknya aku ga suka kamu deket-deket sama Andre. Dia itu memang sepupuku, tapi hubungan kami tidak terlalu baik.” Kupalingkan wajahku ke arah lain. Kesal sekali rasanya bukannya meminta maaf dia malah tersenyum tan
Belum kering luka jahitanku. Entah kenapa setiap melihat Andre, Mas Bagas selalu emosi teringat tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya saat periksa ke dokter kandungan kebetulan memang Mas Bagas tak bisa mengantarku karena mendadak harus bertemu klien.“Heh kamu istrinya si Bagas kan?” tiba-tiba seorang Pria mencolekku saat duduk menunggu taksi online yang kupesan. Sangat tidak sopan memang, padahal penampilannya rapi lengkap dengan setelan jas seperti Mas Bagas, tetapi kelakuannya berbanding terbalik.“Eh lu masih mau aja sama si Bagas, bodoh banget sih jadi perempuan. Kayak di dunia ini enggak ada laki-laki lain aja,” ucapnya.Tak kuhiraukan sama sekali, meskipun hatiku panas, sudah menjelekkan suamiku ditambah lagi mengataiku bodoh, meskipun Mas Bagas pernah mengkhianatiku, 12 tahun pernikahanku dengannya bisa kubedakan saat dia benar-benar berkata jujur atau berbohong. Hatiku mengatakan saat dia mengusir Riana di rumah, dia sudah benar-benar ingin meninggalkannya. Mungkin dia
“Dek, ada masalah apa? Perasaan kok Adek diemin Mas terus?” tanya Mas Bagas padaku. Sudah seminggu kudiamkan Mas Bagas. Aku hanya bingung. Entah sikap apa yang harus kuambil. Memilih berpisah dan jadi single parent akankah aku kuat menghidupi keempat anakku terlebih Arya yang harus check up setiap bulan.“Apa aku tak menarik lagi, Mas?” tanyaku.“Maksudmu, Dek?”“Kamu setiap hari memamerkan foto selfiemu di media sosial, lalu membalas setiap DM wanita-wanita nakal yang menggodamu, apa yang kamu rasakan Mas?” Sengaja kuberikan jeda sejenak untuknya berpikir, tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.“Bangga?” tanyaku.“Kamu udah tahu, Dek?” tanyanya. Kuusap wajah, lalu menghela nafas panjang berharap hal itu dapat menguatkan diri. Bayangan tentang suamiku berbalas pesan dengan wanita selalu manari di otakku, membuat luka lama kembali terbuka.“Kalau kamu bosan dengan pernikahan kita, kamu bisa mengatakannya Mas, katakan apa kurangnya aku! Biar kucoba perbaiki. Kamu enggak perlu m
“Siapa Sayang, kok enggak disuruh masuk?” “Mau apa Anda ke sini?” tanya Mas Bagas. “Mana anakmu?” tanya Ayah mertua. Belum juga kupersilahkan duduk dia sudah lebih dulu menghempaskan bobot tubuhnya di kursi tamu. Pandanganku seketika beralih pada Ibu yang tengah berada di dapur. Dia lebih memilih memasuki kamarnya. Enggan untuk sekedar menyapa suaminya. Padahal, mereka belum resmi cerai masih di urus di pengadilan. “Ayah dengar anakmu punya kelainan bukan?” “Anda kesini hanya untuk menghina anak saya, pergi! pergi dari sini!” Belum apa-apa Mas Bagas sudah naik pitam. “Wah, sudah berani mengusir kamu. Punya apa sekarang sampai berani mengusir Ayahmu sendiri?” Masih dengan wajah sombongnya yang tak pernah luntur. “Saya tidak pernah punya Ayah seperti Anda yang membuang dan menyembunyikan kematian anaknya sendiri.” Mas Bagas mengatakannya dengan tegas. “Sebaiknya Anda pergi dari sini, jangan mengganggu keluarga kami lagi!” sambar Ibu mertua yang tiba-tiba sudah berada di ruang tam
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha