Pov Bagas “Kiran maksudnya apa foto ini?” Kupelankan suaraku agar tak sampai terdengar Ibu yang keberadaannya hanya terhalang tembok kamarku. Dia tengah beristirahat di kamar sebelah. Foto yang dikirim Riana kutunjukkan itu pada Istriku. Tak ada jawaban darinya kudengar dia sedikit berdecak. Sedetik kemudian senyum terukir indah di bibir merahnya. “Kiran, ini apa?” Kenapa perempuan selalu senang menguji kesabaranku? Jangan tersenyum! Senyum malaikatmu itu kau simpan saja untuk nanti yang kubutuhkan hanyalah jawaban . “Kamu itu kenapa Mas, cemburukah?” Kiran menatapku, segera kupalingkan wajahku. “Dari siapa foto itu? Riana ‘kan?” Pertanyaan Kiran membuatku balik menatapnya, entah kenapa kurasa raut wajahnya kali ini terkesan meremehkanku. “Tak penting itu dari siapa. Pokoknya aku ga suka kamu deket-deket sama Andre. Dia itu memang sepupuku, tapi hubungan kami tidak terlalu baik.” Kupalingkan wajahku ke arah lain. Kesal sekali rasanya bukannya meminta maaf dia malah tersenyum tan
Belum kering luka jahitanku. Entah kenapa setiap melihat Andre, Mas Bagas selalu emosi teringat tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya saat periksa ke dokter kandungan kebetulan memang Mas Bagas tak bisa mengantarku karena mendadak harus bertemu klien.“Heh kamu istrinya si Bagas kan?” tiba-tiba seorang Pria mencolekku saat duduk menunggu taksi online yang kupesan. Sangat tidak sopan memang, padahal penampilannya rapi lengkap dengan setelan jas seperti Mas Bagas, tetapi kelakuannya berbanding terbalik.“Eh lu masih mau aja sama si Bagas, bodoh banget sih jadi perempuan. Kayak di dunia ini enggak ada laki-laki lain aja,” ucapnya.Tak kuhiraukan sama sekali, meskipun hatiku panas, sudah menjelekkan suamiku ditambah lagi mengataiku bodoh, meskipun Mas Bagas pernah mengkhianatiku, 12 tahun pernikahanku dengannya bisa kubedakan saat dia benar-benar berkata jujur atau berbohong. Hatiku mengatakan saat dia mengusir Riana di rumah, dia sudah benar-benar ingin meninggalkannya. Mungkin dia
“Dek, ada masalah apa? Perasaan kok Adek diemin Mas terus?” tanya Mas Bagas padaku. Sudah seminggu kudiamkan Mas Bagas. Aku hanya bingung. Entah sikap apa yang harus kuambil. Memilih berpisah dan jadi single parent akankah aku kuat menghidupi keempat anakku terlebih Arya yang harus check up setiap bulan.“Apa aku tak menarik lagi, Mas?” tanyaku.“Maksudmu, Dek?”“Kamu setiap hari memamerkan foto selfiemu di media sosial, lalu membalas setiap DM wanita-wanita nakal yang menggodamu, apa yang kamu rasakan Mas?” Sengaja kuberikan jeda sejenak untuknya berpikir, tapi tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.“Bangga?” tanyaku.“Kamu udah tahu, Dek?” tanyanya. Kuusap wajah, lalu menghela nafas panjang berharap hal itu dapat menguatkan diri. Bayangan tentang suamiku berbalas pesan dengan wanita selalu manari di otakku, membuat luka lama kembali terbuka.“Kalau kamu bosan dengan pernikahan kita, kamu bisa mengatakannya Mas, katakan apa kurangnya aku! Biar kucoba perbaiki. Kamu enggak perlu m
“Siapa Sayang, kok enggak disuruh masuk?” “Mau apa Anda ke sini?” tanya Mas Bagas. “Mana anakmu?” tanya Ayah mertua. Belum juga kupersilahkan duduk dia sudah lebih dulu menghempaskan bobot tubuhnya di kursi tamu. Pandanganku seketika beralih pada Ibu yang tengah berada di dapur. Dia lebih memilih memasuki kamarnya. Enggan untuk sekedar menyapa suaminya. Padahal, mereka belum resmi cerai masih di urus di pengadilan. “Ayah dengar anakmu punya kelainan bukan?” “Anda kesini hanya untuk menghina anak saya, pergi! pergi dari sini!” Belum apa-apa Mas Bagas sudah naik pitam. “Wah, sudah berani mengusir kamu. Punya apa sekarang sampai berani mengusir Ayahmu sendiri?” Masih dengan wajah sombongnya yang tak pernah luntur. “Saya tidak pernah punya Ayah seperti Anda yang membuang dan menyembunyikan kematian anaknya sendiri.” Mas Bagas mengatakannya dengan tegas. “Sebaiknya Anda pergi dari sini, jangan mengganggu keluarga kami lagi!” sambar Ibu mertua yang tiba-tiba sudah berada di ruang tam
Mendekati waktu subuh, kantuk mulai datang kupaksakan untuk tetap terjaga mengingat sebentar lagi azan berkumandang. Sedang lelakiku masih terlelap di ranjang. Kusiapkan sarapan seperti biasa, meski hatiku sakit karena perbuatannya, tetap kutunaikan kewajibanku melayaninya.“Dek, Mas mau keluar kota kayaknya seminggu.”“Iya.” Bolehkah sekali saja bersikap acuh padanya? Entah apa yang dia sembunyikan di belakangiku.“Sayang, kenapa sih dari tadi cuekin Mas terus?” Disentuhnya tanganku dengan lembut.“Makan dulu Mas, biar kusiapkan pakaian yang harus dibawa.”“Ga usah di sana juga udah ada pakaian kok.” Sambil memasukkan roti ke mulutnya dia mengatakannya tanpa beban. Kutatap matanya dengan penuh selidik, akhir-akhir ini sejak lahirnya Arya. Dia kerap pergi keluar kota kadang 2 atau 3 hari, tapi kali ini satu minggu rasanya terlampau lama.“Di mana?” tanyaku.Mas Bagas sampai terbatuk dibuatnya. Gelagatnya sungguh mengundang curiga.“Ya di sana, ‘kan banyak yang jual baju, tapi kalau Ad
“Mana Mas Bagas? Suruh dia keluar!” pintaku pada perempuan itu.“Mas Bagas siapa, Mbak? A-aku enggak kenal,” jawabnya sedikit gelagapan. Kulangkahkan kaki agar semakin dekat dengan wanita itu, lantas membelai rambutnya, dapat kulihat tangannya gemetar. Padahal, aku hanya ingin membisikkan sesuatu padanya.“Cepat suruh keluar Mas Bagas dari kamarmu atau kamu mau warga yang menyeret paksa? Kamu tahu hukuman masa itu jauh lebih kejam dari pada hukuman aparat penegak hukum atau memang kamu mau wajah mulusmu ini hancur ditangan warga?” bisikku ditelinganya.Dia langsung mendongakkan wajahnya ke arahku, sedang senyum ini terus mengembang seiring dengan tatapan ketakutan perempuan itu padaku. Seluruh anggota tubuhnya ikut gemetar, dia benar-benar takut dengan ucapanku, padahal itu hanya gertakan saja. Tanpa pikir panjang perempuan itu masuk ke dalam kamarnya.Teriakan warga bergemuruh seiring dengan keluarnya Mas Bagas dari kamar kos. Kuperhatikan penampilan suamiku dari atas sampai bawah, s
Perlahan kucoba membuka mataku, mengerjap-ngerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih mencoba meraba di mana tempatku berbaring sekarang, sembari mengedar pandang ke setiap sudut ruangan, bisa kutebak ini di rumah sakit, tetapi di mana Mas Bagas. Sosok yang kunantikan kehadirannya tak dapat kutemukan, sudah hilangkah rasa pedulinya padaku.Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Baru saja kukatakan padanya untuk mengakhiri ikatan pernikahan yang membelenggunya selama ini, sekarang malah dialah orang pertama yang ingin kutemui.Kecewa.Itulah yang kurasa ketika menggantungkan harapan pada hamba Allah, dengan segala keterbatasannya lagi dengan hawa nafsu yang melekat pada dirinya.Terdengar suara pintu terbuka, netraku langsung tertuju ke sana. Sosok tinggi, putih, lengkap dengan setelan jas berwarna hitam keluar dari balik pintu. Kelegaan tampak dari ekspresi wajahnya. Seutas senyum tak lupa dia lemparkan padaku. Dia Andre, laki-laki
“Abi ada kerjaan sayang, nanti Abi balik lagi.” Mas Bagas berjongkok menyesuaikan posisinya, sejajar dengan Arumi anak keduaku.“Kenapa tasnya gede banget abi?” Tanya Arumi.“Iya, karena Abi perginya agak lama.” Dipeluknya Mas Bagas dengan erat oleh Arumi.“Abi janji ‘kan bakal pulang lagi?” Arumi semakin menenggelamkan pelukannya pada Mas Bagas, sedetik kemudian Mas Bagas mengelap wajahnya berkali-kali. Mungkinkah perasaan seorang anak begitu peka, hingga dia mengerti keadaan kami yang tak baik-baik saja, tanpa pernah ada penjelasan sama sekali.Lihatlah Mas buah dari perbuatanmu, apakah rasanya? manis atau pahit? Seharusnya tak kau membiarkan dirimu dikuasai nafsu setan yang membara.Bukankah istri tidak punya masa kadaluwarsa, kamu bisa pulang dan melakukannya bersamaku kapan pun kamu mau, tapi kamu malah memilih jalan yang sulit lagi salah. Apakah yang haram lebih menantang? Percayalah suatu hari ketika telah haram bagi kita untuk bersentuhan, maka pada saat itulah kamu akan lebih
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha