Jika situasi yang dihadapi oleh Reza dan Naffa bagaikan kapal pecah akibat diterjang badai, lain halnya dengan situasi yang dialami oleh mantan istri Reza, Dina. Wanita mandiri dengan bisnis yang sedang berkembang itu tengah merenda hubungan asmara dengan Khandra. Hari demi hari, dilalui oleh dua sejoli dengan status diri yang berbeda itu. Sesekali, di antara keduanya, terjadi perbedaan pendapat. Namun, hal tersebut tak membuat hubungan mereka renggang atau retak. Justru, kerikil-kerikil kecil itu membuat hubungan keduanya semakin rekat dan hangat. Merasa bahwa hubungan yang terjalin memiliki potensi yang bagus di masa depan, Khandra dengan tekadnya yang teguh, memutuskan untuk melamar Dina. Kegiatan itu dilakukannya saat mereka sedang menikmati makan malam di salah satu restoran terkenal yang bertempat di hotel bintang lima, di area Surabaya Barat. "Ini champagne terbaik dari restoran kami, Tuan," ucap waiter dengan seragam merah marun yang berpadu dengan celemek berwarna pu
Dina pov Sekitar satu jam kemudian, aku dan Khandra sudah berada di dalam mobil. Setelah menerima ajakan menikah darinya dan menikmati sedikit makan penutup yang tersisa, aku dan dia sepakat untuk menyudahi acara makan malam yang berkesan tadi. Saat mobil milik Khandra baru saja keluar dari area parkir, Khandra mengulas senyum simpul dan membuka obrolan dengan bertanya, "Kamu pengen tema pesta pernikahan yang gimana?" "Yang sederhana aja cukup, Khan." Aku menanggapi dengan santai. "Yakin mau yang sederhana? Kamu engga pengen pesta yang mewah, di hotel berbintang gitu?" Khandra mengerutkan kening seraya melirik padaku sekilas. Lalu, ia menambah kecepatan sambil mendahului beberapa mobil yang menghalangi jalan. Aku pun menatap lurus pada keramaian jalan yang menyeruak. Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya malas aku jawab, namun sebagai wanita yang terbiasa dengan kesederhanaan, aku tak boleh bungkam karena hal itu bisa disalahrtikan sebagai tanda persetujuan. Lalu, aku m
Di lain situasi, Naffa dengan perutnya yang membesar sudah berada di rumahnya. Dengan air muka masam, ia memasuki rumahnya yang terbilang jauh dari kata mewah, berbeda dengan rumah yang ditempatinya bersama Reza, di Surabaya Barat. Kemunculannya tanpa Reza selaku sang suami membuat sang ibu mengerutkan kening seraya bertanya, "Lho, Naf, Reza engga ngantar kamu ke sini?" Naffa melirik sang ibu dan menjawab jujur, "Aku yang pengen pulang sendiri, Bu." Halimah yang semula terlihat tenang memicingkan kedua matanya dan kembali bertanya pada putri kesayangannya itu, "Kenapa, nak? Kamu bertengkar sama Reza?" Naffa hanya sedikit menundukkan kepala. Ia tak berani menjawab atau pun beradu pandang dengan wanita yang telah sangat berjasa dalam mendidik dan membesarkannya tanpa pamrih di hadapannya saat ini. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya lah sejumlah cara agar sang suami tak lagi bermain gila dengan wanita lain saat dirinya sedang tidak di sekitarnya. Setelahnya, ia berlalu
Reza Pov "PIP!" Suara dering singkat terdengar jelas di telinga kiriku. Aku sadar jika panggilanku diputus sepihak oleh Naffa. Dengan kening berkerut, aku bertanya dalam pikiran, "Apa dia semarah itu?? Padahal, aku telpon dia buat berbaikan, setidaknya dia mau pulang dan engga harus tinggal berhari-hari di rumah Ibu." Di saat diriku tengah merenung, suara ART yang selalu menggelitik sanubari terdengar bersama dengan kemunculannya di hadapanku. "Permisi, Mas. Ini kopinya," ucap Marni seraya tersenyum manis padaku. Aku yang semula menatap lekat pada layar ponsel mengalihkan perhatian pada sang sempunya suara. Dengan ulasan senyum kecil, aku menatap, dan Marni kembali bersuara, "Gimana, Mas? istrimu masih marah?" "Masih. Ini baru aja telponnya diputus sepihak sama dia." Aku menanggapi dengan nada lesu. Lalu, dengan hati-hati, aku memegang telinga gelas yang berisikan cairan hitam pekat dan meneguknya perlahan. Rasa pahit pun mendominasi bibir ini, seolah memperingatkan jika situ
Marni Pov Satu jam, setelah pergumulanku dengan Mas Reza usai, aku berbaring tanpa sehelai benang di sampingnya, dengan bed cover biru menutupi tubuh polosku dan tubuhnya yang atletis. Sembari merasakan kehangatan tubuhnya yang mendekapku, aku mengulas senyum dan memanggilnya pelan, "Mas." "Hmm?" Pria dengan kumis tipis di sekitar dagu dan atas bibirnya ini berdeham sembari menatapku lekat. "Kamu engga kepikiran buat cerai sama istrimu? Kita sudah dua kali lakuin hal ini, dan engga mungkin kalau alasannya engga sengaja kepancing terus 'kan." Aku bersugesti seraya mengusap wajah tirusnya lembut. Kemudian, Mas Reza menatapku sambil mengembangkan senyum kecilnya. "Cerai dari Naffa ya? Kamu tahu sendiri 'kan, gimana kondisinya sekarang. Dia lagi hamil besar. Engga mungkin, aku ceraikan dan menelantarkan anakku. Kasihan," terangnya dengan santai. Seolah tak memberikan kepastian yang aku harapkan, aku menghela napas pelan, berusaha mengontrol emosi sebisa mungkin. "Iya, tapi me
Reza pov Merasa mendapat embusan angin segar di tengah padang pasir yang panas membakar, aku menyanggupi permintaan dari teman lamaku, Jihane. Sekitar pukul 10.30, aku dan wanita bertubuh semampai dengan surai gelap ini tiba di sebuah cafe yang jaraknya tak begitu jauh dari lokasi kantor. "Jadi pesanannya, satu Ice americano ukuran medium, satu caramel macchiato ukuran medium. Untuk camilannya, marble cake ukuran medium. Ada tambahan lain?" Waiter dengan seragam berwarna cokelat muda mendata serta memastikan jika pesanan yang diminta sudah sesuai. "Mau tambah apa lagi, Ji? tambah aja," Aku bertanya pada Jihane dengan binar mata penuh harap jika wanita ini tak merasa sungkan jika aku traktir makanan dan minuman. Hitung-hitung untuk jaga silahturahmi selama beberapa tahun tidak bertemu. "Ehm." Jihane mengalihkan pandangannya pada buku menu dalam beberapa saat. Lalu, ia kembali melirik pada waiter dan melanjutkan, "Untuk sementara, itu aja pesanannya, Mas." "Baik. Mohon dit
Marni pov Di waktu siang menuju sore, saat aku telah selesai menunaikan sejumlah tugas rumah tangga, aku memutuskan untuk beristirahat di kamar. Dengan ditemani oleh kipas angin yang menyala dan terpatri pojok tembok kiri atas, aku mulai mengaktifkan ponsel dan memeriksa segerombol notifikasi pesan dari beragam kontak yang aku kenal. Namun, dari sekian pesan yang masuk, hanya satu pesan yang menyita perhatianku. Pesan itu dikirim oleh teman dekatku, Rianti. Rianti: Mar, kamu engga kenapa-kenapa 'kan? Jangan bilang kalo kamu udah isi sama bossmu.. Aku pun segera membalas pesan itu, Marni: Aku baik, Ri.. Engga lah. Bosku engga berani sampe selesai biasanya.. Setelah aku mengirim pesan tersebut, nama Rianti muncul sebagai nama pemanggil di layar ponsel. Hal itu sempat membuatku ragu untuk menjawab panggilan suara. Pasalnya, aku yakin jika temanku itu hanya ingin tahu tentang kondisiku dan bagaimana hubunganku dengan Mas Reza. Namun, setelah beberapa detik berlalu
Di lain hari dan situasi, tepatnya di hari keempat, Naffa dengan dress hamil berwarna putih berhiaskan bunga-bunga berwarna biru, terlihat anggun dan rapi. Balutan make-up tipis yang melekat pada wajah tirusnya juga terlihat menawan. "Kamu yakin mau pulang hari ini, Nak?" tanya Halimah pada putri kesayangannya dengan tatapan simpatik. Dalam hati kecil wanita tersebut, ada rasa ragu dan takut bercampur menjadi satu. "Yakin, Bu. Kalau aku engga pulang hari ini, Mas Reza bisa berulah lebih parah takutnya." Naffa menanggapi sambil menyisir rambut bergelombang dan menatap pantulan dirinya di depan cermin yang ada di kamar. "Takutnya, kamu kenapa-kenapa, Nak. Biar bagaimana pun, Reza bisa berbuat nekad kalau memang kamu menentang keinginannya buat mendua." Halimah mengingatkan. "Engga sampe segitunya, Bu. Mas Reza itu aslinya engga begitu, luarnya aja kaya pemain. Aslinya bukan." Naffa menenangkan sang ibu seraya mengulas senyum miring. Rupanya, ia mulai menelisik jelas kelemahan
Dua tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2026, Reza bersama dengan Naffa dan juga Armand sedang berakhir pekan di salah satu restoran di Malang yang cukup terkenal. Sembari duduk di meja VIP, Armand dengan tubuh mungilnya duduk seraya tersenyum senang saat melihat makanan penutup yang dipesan oleh sang mama datang. "Senang ya? es krimnya banyak," ucap Reza sambil mencolek hidung mungil milik putranya itu. Armand yang ditanya seperti itu oleh sang papa hanya bergumam dan menorehkan senyum riang. Di saat yang sama, Naffa berujar, "Dikasih dikit aja, Rez. Dia tadi 'kan udah minum susu. Takutnya kekenyangan." "Iya, engga apa-apa, Naf. Yang penting, Armand coba," ucap Reza dengan senyum lembut sembari mengusap punggung tangan Naffa perlahan. Lalu, sesuai dengan yang sudah dikatakannya, Naffa mengambil sendok kecil khusus bayi dan mulai menyendok sedikit es krim dengan rasa vanilla, serta menyuapkannya pada Armand. "Gimana? enak?" Reza mengusap lembut kepala Armand semba
Beberapa bulan kemudian, Reza masih disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan merawat Naffa yang masih koma serta Armand yang masih kecil. Meski Sus Hani mendampingi putranya di kala ia masih berada di kantor atau di luar rumah, Reza sebagai seorang papa tak dapat tinggal diam dan langsung bersantai saat ia baru saja pulang dari kantor. Saat ia telah selesai membersihkan diri, ia harus bergantian dengan Sus Hani untuk menemani Armand minum susu dan bermain. Bahkan, di kala makanan khusus bayi telah selesai dikelola oleh baby sitter berpengalaman itu, ia harus menyuapi Armand dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Di tengah kegiatan menyuapi putranya itu, ponselnya bergetar. Sejenak, ia menjeda aktifitas tersebut dan menjawab
Akibat merasa iri pada nasib sang mantan istri, Reza pun memutuskan untuk menginap di apartemen milik Marni. Meski ia tahu bahwa putranya masih berada di rumah kedua orang tuanya, ia tak begitu mempermasalahkannya. Memang ia mengkhawatirkan kondisi Naffa dan putranya, namun untuk malam itu, ia tak dapat membiarkan egonya sebagai laki-laki terluka begitu saja. Dengan nafsu yang membara dalam dirinya, ia melampiaskan rasa kesalnya itu dengan bercumbu dan bercinta dengan Marni, untuk kesekian kalinya. Setelah pergumulan terlarang itu usai, Reza yang seharusnya memadu kasih di sisi Marni malah mengenakan pakaiannya kembali dengan air muka datar. Marni yang masih mengenakan selimut pun bertanya dengan air muka keheranan, "Mas, bukannya mas mau tidur di sini?" "Sebentar aja, Mar. Aku engga bisa lama-lama. Naffa lagi koma di rumah sakit. Maaf ya," jelas Reza yang baru saja mengenakan celana kain dan sabuk secara berurutan. Di saat yang sama, Marni merasa tak dihargai oleh bos seka
Di situasi lain, yang lebih membahagiakan, Dina dan Khandra sedang berada di Bandara Internasional Juanda. Dengan tiga travel bag yang mereka bawa, mereka sedang mengantri untuk check-in tiket pesawat, jurusan Surabaya-Thailand. "Selanjutnya," ucap pramugari yang mengurus bagian check-in di counter dengan senyum ramah tersemat. Khandra dan Dina pun menghampiri counter dan mulai menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat pada pramugari yang bertugas. Lalu, beberapa menit kemudian pramugari tersebut meminta Khandra dan Dina untuk menaikkan koper yang ingin diletakkan pada bagasi yang tersedia. "Ini boarding passnya. Bisa ditunggu di pintu keberangkatan yang tertera ya," ucap
Halimah pov Seakan disambar petir di malam hari, aku yang mendengar informasi dari dokter pun menitikkan air mata. Aku selaku ibu kandung dari Naffa merasa terpukul dan tak terima. Penyebab utama yang paling jelas terlihat saat ini adalah menantuku sendiri, Reza. Begitu dokter yang mengoperasi putriku berlalu, aku dengan emosi yang memuncak di kepala mendorong Reza pelan dan menegur, "Puas kamu sekarang, hah?! Reza pun terdiam dan tak berani beradu pandang denganku. Lalu, aku kembali bersuara dengan air mata berlinang, "Gara-gara kamu, anak saya engga sadarkan diri! Puas?! Memang kamu, laki-laki yang engga tahu diuntung!!" Bersama dengan ucapanku yanf mengiris hati itu, aku pun hendak melayangkan tamparan berikut pada wajahnya karena merasa geram. Namun, sebelum telapak tanganku mendarat tepat di wajah Reza, suamiku menahan dan berujar, "Bu, udah. Jangan bertengkar di sini. Malu karena didengar orang-orang." Aku yang kembali mendengar peringatan itu menepis pegangan tangan
Sementara itu, di rumah Reza, Naffa yang tengah sibuk memotong-motong sayuran mendadak merasakan sakit pada bagian pinggang. "Awh," erangnya sembari memejamkan kedua mata dan memegangi pinggang bagian belakang. Di beberapa menit awal, rasa sakit itu masih bisa ditahan oleh Naffa. Namun, di sekian menit berikutnya, rasa sakit itu menajam dan tak lagi bisa ditahannya. Hal tersebut membuatnya sedikit panik dan menjeda kegiatannya seraya duduk di kursi. "Sshh, sepertinya, a-aku harus.." Naffa yang hendak menghubungi Reza mengalihkan pandangan pada sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini.
Marni pov Sekitar pukul 18.40, aku dan Mas Reza tiba di unit apartement yang aku tempati. Saat pintu telah selesai dibuka, aku dan Mas Reza masuk ke dalam dan memutuskan untuk duduk di sofa, bersampingan. "Mar." Mas Reza memanggil seraya menatapku dari samping. "Hmm?" Aku berdeham tanpa menatap wajah Mas Reza secara langsung. "Kalau Mas punya perasaan sama kamu, kamu gimana?" Mas Reza mendadak melemparkan pertanyaan yang membuatku melebarkan kedua mata.
Sementara itu, Reza yang baru saja selesai menerima surat dan contoh bahan produksi, tak sengaja berpapasan dengan Marni yang sedang mengobrol dengan beberapa office boy lain di dekat tempat peralatan kebersihan. Melihat Marni bersenda-gurau dan tertawa lepas dengan teman-teman satu pekerjaannya, Reza mengerutkan kening dengan sorot mata heran. Menurutnya, ia tak pernah membayangkan jika mantan ARTnya itu adalah tipikal gadis yang senang bergaul, mengingat Marni lebih sering ada di rumah dan tak begitu membaur dengan ART lain yang tinggal bersama tetangga sebelah. "Jadi, ini sifat aslinya si Marni? Kelihatannya pendiam, aslinya social butterfly, dan entah kenapa aku merasa dia agak genit ke cowok lain. Lebih engga masuk akal lagi, aku yang sudah beristri, merasa terganggu kalo lihat dia
Dua hari, setelah resmi menyandang status suami-istri, Dina dan Khandra menjalani aktifitas masing-masing, sesuai dengan peran yang digeluti. Namun, sebelumnya, mereka menikmati sarapan pagi yang dimasak oleh Dina dan salah satu ART di rumah baru Khandra, Bi Jah. "Nanti siang, kamu ada acara, Din?" tanya Khandra sembari menambahkan lauk di atas piringnya. "Engga kayanya. Belakangan toko agak sepi, Khan." Dina menanggapi sambil memotong daging di piringnya perlahan. "Aku jemput ya kalo gitu." Khandra menyatakan niatnya meski belum menyebutkan tujuan secara jelas.