#Tiga
Keesokan harinya.Catelyn duduk sendirian di ruang kerja magang yang sempit dan nyaris tak berfungsi.Pagi tadi tiba-tiba ia disuruh pindah di satu ruangan kecil di sudut. Itu nyaris seperti gudang―mereka beralasan kubikel yang sebelumnya ia gunakan akan dipakai staf senior lain.Gadis itu menarik napas dan terlihat asyik di meja kecilnya yang dipenuhi kertas-kertas revisi dan sticky note dari supervisor, mayoritas menyuruhnya “lebih teliti” atau “jangan asal ambil keputusan.”Kedua mata hazelnya menatap laptop dengan fokus berbeda. Dia tidak sedang mengerjakan laporan mingguan atau input data.Ia sedang menyelidiki.Seperti arahan Ethan semalam, ia mencoba menelusuri kembali semua jejak digital yang ia punya—log chat internal kantor, dan metadata file denah lokasi.Lalu ia temukan satu celah.Salah satu file PDF yang dikirimkan Olivia berjudul “Field-Test_Coordinates_Final.pdf” memiliki timestamp pengeditan pukul 12:49—satu jam setelah Olivia mengatakan ia ‘sedang istirahat dan tak s
Brak.Catelyn melempar ponselnya ke atas kasur dengan kesal. Layar yang masih menyala beberapa detik memantulkan namanya sendiri di kontak panggilan keluar—’Ethan (4x missed call)’—sebelum akhirnya redup, menyisakan kesunyian.Sejak keluar dari gedung Aurora Development Group, jantungnya berdebar karena gembira.Ia berhasil.Dengan bantuan arahan Ethan beberapa malam lalu, ia membuktikan bahwa Olivia Karas-lah yang menjebaknya dengan koordinat palsu.Nama baiknya dipulihkan.Ia bahkan mendapat pujian dari Mr Thomson, kepala departemen. Hari itu seharusnya menjadi hari yang penuh sorak.Tapi, tidak ada suara dari Ethan. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan balik.Sekarang, di apartemen yang senyap, hanya ada suara AC yang berdengung halus di dinding.Suasana hatinya yang tadinya cerah seperti mentari pagi, berubah kelabu, penuh awan mendung.“Ugh, dasar lelaki sibuk yang menyebalkan...” gerutunya, memeluk bantal lalu membanting tubuh ke kasur, menatap langit-langit.Tapi lima detik kemu
Ethan terkekeh kecil.Sorot matanya berubah hangat, dan tanpa sadar bibirnya menyebut satu nama dalam hatinya—Catelyn.Gadis dengan wajah cantik yang melenakan, mata hazel yang bersinar, suara yang lembut, dan kegigihan serta kepolosan yang menakjubkan.Wajahnya melunak saat ia berkata, “Mungkin… ada seseorang yang akan aku kenalkan padamu, Paman.”James menyipitkan mata penuh selidik, lalu mengangkat cangkir tehnya sambil menyeringai. “Kau bilang seperti itu juga tiga tahun lalu. Tapi tak ada satu pun gadis yang kau bawa ke hadapanku. Jangan ulangi kesalahan itu.”Ethan tertawa pelan. “Kali ini… aku serius.”“Kalau begitu,” kata James sambil meneguk tehnya, “Pastikan dia cukup luar biasa untuk seorang Ethan Wayne. Aku tak akan menerima yang biasa-biasa saja.”Sorot mata Ethan dalam, namun juga penuh harapan.Dalam benaknya, Catelyn bukanlah wanita biasa—dia adalah seseorang yang mampu menembus tembok tinggi yang selama ini Ethan bangun di sekeliling hatinya.* * *Langit di luar jende
“Woy, Nona Penguak Kebenaran,” Suara Daniel tiba-tiba menyela kesunyian ruang kerja.Catelyn tersentak dan langsung menoleh. Jantungnya nyaris meloncat. “Hah? Apa?” tanyanya terbata.Daniel menyandarkan tangan ke meja kubikel Catelyn―yang telah Catelyn dapatkan kembali, sambil menyunggingkan senyum jahil. “Kau melamun, ya? Sudah lima menit matamu menatap satu titik seperti sedang nonton romance series.”Catelyn buru-buru menggeleng. “Aku tidak melamun! Aku lagi fokus cross-check data laporan minggu lalu.”Daniel tertawa keras dan menunjuk berkas di tangan Catelyn. “Serius banget, ya? Saking seriusnya, sampai berkas yang kau pegang pun terbalik dari tadi.”Catelyn menunduk, dan benar saja—kertas itu memang terbalik. Wajahnya langsung merona malu. “Astaga…” gumamnya pelan.Daniel masih terkekeh kecil. “Sepertinya sesuatu mengganggumu lagi.”“Aku baik-baik saja, Daniel,” elak Catelyn lalu berdeham.“Oke, oke aku percaya.” Sisa tawa Daniel masih tersisa. “Aku ke sini mau menyampaikan sesua
Hari telah siang di area proyek Glendale, ketika Ethan merapikan kemeja yang baru selesai ia kenakan—sebuah kemeja abu-abu pucat dengan garis-garis biru tua, warna khas seragam sopir taksi lokal.Sejak pagi tadi ia memantau seperti biasa, lalu terlibat conference call dengan beberapa eksekutif untuk memastikan proyek lainnya di negara bagian Wisconsin berjalan aman, semenjak insiden berdarah tempo hari.Selesai merapikan kemejanya, pria tampan bermata biru itu lalu menoleh sekilas pada Cole yang berdiri tegak tak jauh darinya."Mobilnya sudah siap, Tuan," kata Cole cepat, memahami maksud tatapan itu.Ethan tersenyum samar, lalu mengambil jaket tipis dari gantungan."Aku keluar makan siang dulu," ujarnya.“Apa perlu saya reservasi-kan tempat makan, Tuan?”“Tidak perlu. Ini makan siang biasa,” jawab Ethan santai, seolah benar-benar tidak ada yang mencurigakan.Cole hendak mengatakan sesuatu kembali,
Ruangannya sunyi. Hanya suara detak jarum jam di dinding dan desiran AC yang terdengar samar.Nielson duduk bersandar di kursi kulit hitamnya, sebelah tangan menggenggam ponsel, dan satu lagi menyandarkan dagunya.Layarnya menampilkan satu nama. Catelyn Adams.Tanda centang sudah dua, tapi tak ada balasan. Bahkan notifikasi bahwa pesan dibaca pun tak muncul.Dahi Nielson mengerut.Rahangnya mengeras.Matanya menatap layar seolah bisa menembusnya."Sudah kubilang, jangan abaikan aku, Cat..." bisiknya penuh geram.Beberapa detik kemudian, ia mendengkus pelan. Jarinya mengetuk meja. Satu... dua... tiga...Lalu, ia bangkit.Langkahnya cepat, pasti, dan tajam.Ia membuka pintu ruangannya dan menyusuri koridor gedung perkantoran itu.Orang-orang sempat menoleh, tapi cepat-cepat menunduk, bukan karena menyadari aura panas yang terpancar dari lelaki itu.Tapi mereka tahu bahwa lelaki itu memiliki koneksi kuat dengan sang direktur, dan lelaki itu kini tampak berada dalam suasana hati yang tidak
Ruang kantor ADG sudah lengang.Lampu-lampu sebagian telah dimatikan, menyisakan cahaya remang yang menyelinap dari beberapa sudut.Catelyn masih duduk di meja kubikel miliknya, mematikan layar komputer dan membereskan berkas-berkas yang tadi ia review ulang.Hampir sejam lebih ia tertinggal dari jam pulang yang seharusnya.Ia merapikan tumpukan kertas, memasukkan pena ke dalam tempatnya, dan menggantung tas di bahu.Siang tadi, ia telah menolak tawaran Daniel untuk diantar pulang, seperti juga ia menolak perasaan pria itu—dengan tegas namun tetap sopan. Hubungan mereka hanya bisa sebatas rekan kerja, tak lebih dari itu.Catelyn melangkah keluar dari ruang kerja, melewati koridor yang sunyi, namun tiba-tiba—Grip!Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya dan menariknya masuk ke salah satu ruangan kecil di samping lorong.“Apa—!” seru Catelyn, tersentak, namun segera mengenali wajah yang mencengkeram lengannya.Nielson.Dengan gerakan cepat, Catelyn mengempaskan tangan pria itu
Setelah mengantar Catelyn hingga ke depan lobi apartemen, Ethan hanya diam sejenak di sisi kemudi.Biasanya, setelah mengantar, ia akan ikut naik, memasakkan makan malam, atau sekadar duduk menemaninya di ruang tamu.Tapi malam ini berbeda."Aku pulang dulu," katanya singkat, namun lembut.Catelyn menatapnya dengan sorot mata heran. "Tidak makan malam dulu?"Ethan tersenyum tipis, senyuman yang terasa tidak sehangat biasanya."Lain kali."Meski ada rasa ganjil yang tak bisa dijelaskan, Catelyn hanya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam gedung.Ethan menunggu sampai pintu putar menelan sosok gadis itu, lalu ia menunduk sejenak, menghela napas panjang.Ia masuk kembali ke dalam taksi. Tangannya bergerak pelan mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menekan satu kontak cepat."Cole," Suaranya rendah dan tenang, nyaris tanpa intonasi. "Aku ingin kau memeriksa dan membereskan sesuatu."Tatapannya lurus ke depan, menyusuri jalan gelap yang kosong. Tapi pikirannya tak pernah setenang wajah
“Segera, Tuan.”Rodney mengambil earpiece dari dalam sakunya, menempelkan perangkat itu ke telinganya.Dengan suara singkat dan efisien, ia mengaktifkan saluran komunikasi yang langsung terhubung dengan Axel.“Unit Dua, laporan posisi target.”Suara Axel terdengar dari earpiece, jernih dan tanpa jeda. ‘Target mulai jogging sejak pukul 06.30, rute biasa di taman City Park. Saat ini, ia sedang berada di dalam minimarket Lawson di blok C-12. Membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saya memperkirakan, setelah ini ia akan menuju Everett’s Bakery di Downtown untuk bekerja, seperti biasa.’Rodney mengangguk tipis sambil menatap Ethan, lalu bertanya lagi, “Status alat komunikasi target?”‘Ponsel tidak terdeteksi. Kemungkinan besar ia tinggalkan di apartemen.’“Copy that.”Rodney menutup komunikasi lalu menoleh pada Ethan.“Nona Adams baik-baik saja, Sir. Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Jogging, belanja kebutuhan, dan kemungkinan akan segera bersiap ke Everett’s Bakery, seperti biasa
Ia adalah Arion Ellworth.Sepupu ipar Ethan Wayne, yang juga mantan CEO dari AE Group ―entitas bisnis raksasa yang sejajar dengan Wayne Group― yang juga meninggalkan warisannya, dan hanya fokus pada Triton Land miliknya sendiri.Pria beraura dominan itu berjalan masuk tanpa berkata sepatah kata pun, namun sorot matanya berbicara lebih dari cukup.Ia berdiri tepat di hadapan Ethan dan memandangi Aveline―balita cantik yang masih nyaman di gendongan pria lain. Rahangnya mengeras.“Berikan,” ucapnya singkat.Ethan mengangkat tangan satu-satu. “Whoa, lihat siapa ini… Dadda datang, Ivy!”Seketika, Arion mengambil bayi tiga tahun itu dari pelukan Ethan, sangat hati-hati namun dengan kecepatan yang jelas menunjukkan kekesalan.Bayi perempuan yang dipanggil Ave itu tampak ingin protes, namun langsung tenang saat berada di pelukan ayah kandungnya.Tak lama kemudian, seorang wanita cantik bermata zamrud, masuk dari balkon kecil kamar itu, menutup pintu kaca dan terkekeh pelan melihat ekspresi Ar
Langkah kaki Catelyn menggema di koridor panjang berlapis marmer putih dan cahaya lembut dari lampu gantung kristal.Axel yang awal tadi ada beberapa meter di belakang Catelyn, menghentikan langkah saat melihat gadis itu berbalik dan kini berjalan menuju arahnya.Gadis itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca, berkilat dalam redupnya cahaya sore yang menelusup dari jendela panjang di sisi kanan koridor.Gaun rajut berwarna coklat muda yang membalut tubuhnya melambai tertiup gerakan tergesa, dan tas tangan mungilnya bergoyang keras seiring lengannya yang memegang kantong kertas, bergerak gugup.Ia menengadah sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak di balik kelopak mata.Suara itu masih terngiang—suara balita perempuan yang memanggil Ethan dengan “Daddy”. Senyuman Ethan yang berbeda ketika menatap perempuan itu. Dan interaksi mereka.Sesaat kemudian ketika tiba di depan pintu lift di ujung lorong, langkah Catelyn terhenti.Tangannya gemeta
St. Louis.Cahaya lampu gantung berpendar redup, menyoroti meja kayu tua yang permukaannya penuh dengan peta, dokumen rahasia, dan foto-foto satelit hitam-putih.Di tengah ruangan yang diselimuti bau logam dan asap cerutu yang menggantung di udara, seorang pria duduk membelakangi pintu.Sosoknya tinggi, berselimut mantel hitam panjang, dan hanya siluet kepalanya yang tampak dalam pantulan cahaya muram.Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong batu sebelum akhirnya berhenti di ambang pintu besi.Pintu itu berdecit pelan saat dibuka, dan seorang pria berseragam hitam masuk, menundukkan kepala hormat."Bos," ucapnya, suara rendah namun terkontrol. "Kami menemukan pergerakan terbaru dari Ethan Wayne."Sosok misterius itu tidak menoleh. Hanya jari-jarinya yang bergerak pelan, mengetuk-ngetuk lengan kursi seolah memberi isyarat agar si pelapor melanjutkan."Belakangan ini dia sering berada di Denver, Colorado. Awalnya kami
Axel tetap dengan wajah datarnya menjawab, “Saya pengawal. Tugas saya memastikan semua berjalan aman.”“Apa kau bercanda? Menguping bukan bagian dari SOP,” sergah Jared.“Keamanan mental majikan juga bagian dari tugas saya,” balas Axel dengan sangat tenang, walaupun matanya sedikit menyipit, berusaha mendengar lebih jelas.Kembali ke dalam ruangan.Catelyn akhirnya menarik diri perlahan dari pelukan Ethan. Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya mulai menunjukkan kembalinya akal sehat.“Aku belum memaafkanmu,” katanya tegas.Ethan mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku tidak meminta kau memaafkan sekarang. Tapi… aku ingin memperbaiki semuanya.”Catelyn menghela napas. Ia berdiri, menoleh menuju pintu—dan mendapati beberapa siluet dengan posisi mencurigakan.Alisnya langsung mengernyit. Ia melangkah cepat, membuka pintu dengan tiba-tiba.CRAK!Tiga
Tangis Catelyn belum juga reda.Tubuhnya menunduk, memeluk Ethan erat seakan takut pria itu menghilang begitu saja.Wajahnya tenggelam di lekuk leher Ethan yang masih terasa hangat—kehangatan yang entah membuatnya lega atau semakin takut kehilangan.Entah berapa lama ia membeku di posisi itu―dengan bibir terisak yang terus bergetar menyentuh leher Ethan, sampai...“Oh shit! Dia bangkit di tempat yang salah!” ujar Owen spontan tanpa sadar.Catelyn mengerutkan kening, bingung. Lalu perlahan mengangkat wajahnya—dan tepat saat itulah matanya terhenti pada tonjolan mencurigakan di area vital Ethan.Gadis itu membeku.Bibirnya sedikit terbuka.Napas tercekat.Mata hazelnya melebar.Itu... apa... serius?Tonjolan itu begitu nyata, begitu agung, menjulang meski terbungkus selimut putih rumah sakit. Bahkan dalam keterkejutan, wajah polos Catelyn seketika merona.Sebagai gadis yang tak terbiasa dengan ‘pemandangan’ seperti itu, pikirannya langsung kosong.Panas mengalir sampai ke telinganya.D
Langit Denver tampak menggantung kelabu, seperti mencerminkan hati yang kini diliputi badai kecemasan.Di dalam taksi yang melaju membelah lalu lintas siang yang ramai, Catelyn Adams duduk kaku dengan jemari saling menggenggam erat di atas pangkuannya.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Waktu berjalan terlalu lambat, padahal dadanya berdegup terlalu cepat.Axel membuntuti dari belakang dengan motor sport hitam berplat diplomatik, tapi kehadirannya tak memberi ketenangan.Catelyn menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang semakin berat. Namun pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang semua kenangan—tentang Ethan Wayne.Tentang pria yang ia kira hanyalah sosok santai penyuka kopi hitam dan roti kismis dengan penghasilan rata-rata.Tentang senyumnya yang ramah, caranya memperlakukan Catelyn penuh hormat, dan kelembutan.Tatapan kedua mata birunya yang selalu hangat.Tentang perhatian-perhatiannya yang selalu nyata. Kata-kata penyemangat yang selalu diberikan
Malam telah jatuh sempurna di langit Denver.Axel berdiri di seberang jalan, tepat di depan bangunan apartemen tua berlantai sekian yang dinding luarnya dipenuhi lumut dan cat mengelupas.Virginia Village memang bukan lingkungan yang mewah. Tapi di sinilah nona Adams—Catelyn—memilih tinggal sekarang. Jauh dari kehidupan nyaman yang dulu sempat disentuhnya saat tinggal di apartemen menengah yang dibeli Ethan Wayne.Ia menunggu dalam diam, memastikan lampu lorong menyala, suara pintu ditutup, dan langkah kaki di tangga perlahan lenyap. Barulah Axel menarik napas panjang, menurunkan hoodie dari kepalanya dan mengeluarkan earpiece kecil dari saku jaket kulit hitamnya yang masih berembun.Sambil menekuk leher dan memutar pundak, ia menekan tombol kecil di sisi earpiece.“Axel to Command. Confirm location. Do you copy?” ucapnya pelan namun jelas.Sebuah jeda. Lalu suara berat yang familiar terdengar di telinganya.‘Rodney here. Status?’Rodney adalah ketua tim pengawal pribadi Ethan Wayne. A
Catelyn keluar dari Everett’s Bakery dengan kantong kertas berisi croissant dan satu slice tart lemon menggantung ringan di tangannya.Ia berjalan dengan langkah ringan, hingga suara langkah samar—yang bukan berasal dari sepatunya—membuat langkahnya terhenti.Bahunya menegang. Sekilas ia menoleh, namun tak melihat siapa pun.Langkahnya bergegas. Jalan kecil itu terlalu sepi. Dan detak jantungnya mulai berdebar keras, memunculkan bayangan lama—saat ia pernah diikuti seseorang di beberapa waktu lalu.Helaan napasnya makin cepat. Ketika ia berbelok dan menunggu di balik dinding.Catelyn tak berpikir dua kali, saat mendengar langkah mendekat―jelas seperti mengikuti dirinya, ia langsung setengah melompat dan mengarahkan semprotan merica ke arah penguntit itu.Sret!Tangannya dengan refleks menyemprotkan pepper spray ke arah sosok itu sambil melangkah mundur panik.Namun sosok tersebut bergerak dengan ketangkasan luar biasa—kepalanya menunduk ke kiri, menghindar sebelum semprotan itu mengen