Suasana di ruang konferensi terasa lebih berat dari biasanya. Clara duduk di meja panjang, matanya fokus pada layar di depannya yang penuh dengan angka-angka dan grafik yang semakin menurun. Hatinya mulai merasa tertekan, dan perasaan cemas mulai merayap di setiap sel tubuhnya. Di sisi lain meja, Kieran duduk tegak, ekspresinya lebih serius dari biasanya. Bibirnya rapat, seolah ada sesuatu yang sangat berat yang sedang dipikirkannya. Di luar jendela, cuaca mendung, menyarankan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Hujan rintik-rintik tampak mengaburkan pandangan kota, menciptakan suasana murung di dalam ruangan. Kieran mengangkat tangan, menyentuh dahi sejenak, lalu menatap Clara dengan tatapan yang penuh beban. "Clara," suara Kieran menggema lembut, namun di dalamnya tersirat ketegangan yang begitu dalam. "Kita di ujung tanduk. Ekspansi internasional ini—aku butuh kamu lebih dari sebelumnya." Clara menatapnya, mencoba membaca ekspresinya. Di balik tatapan tajam
Ruangan kantor Kieran malam itu sunyi, kecuali suara ketukan jari Clara yang terus berlanjut di atas keyboard. Sudah hampir tengah malam, dan meskipun Kieran duduk di seberang meja, matanya terfokus pada layar komputer, jelas tidak banyak berbicara. Masing-masing mereka tenggelam dalam dunia pekerjaan mereka, yang entah bagaimana semakin menghalangi ruang untuk berbicara tentang hubungan mereka.Clara menatap layar dengan penuh konsentrasi, namun pikirannya sering melayang. Setiap kali dia mencoba untuk menyelesaikan satu masalah, masalah lain datang menghalangi. Peningkatan pasar internasional yang mereka harapkan malah lebih rumit dari yang diperkirakan. Penurunan angka penjualan yang tak terduga, ditambah dengan persaingan yang semakin ketat, membuat mereka terjepit. Tangan Clara berhenti sejenak, meremas kertas di samping laptopnya. Jantungnya berdetak kencang. Apa yang salah dengan semuanya?Seja
Malam itu, Clara duduk sendiri di ruang rapat yang kosong, dengan hanya suara deru kipas angin dan cahaya lampu neon yang menerangi meja panjang di depannya. Layar laptop di hadapannya penuh dengan angka-angka yang tampaknya tidak ada habisnya. Proyeksi keuangan, laporan pasar, dan analisis pesaing—semua itu melilit pikirannya. Meski dunia luar sudah mulai gelap, Clara masih terjaga. Hatinya penuh dengan kebingungan dan kecemasan.Clara menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan Kieran dan ekspresi seriusnya muncul di pikirannya. Mereka sudah melalui begitu banyak, tapi sekarang, dengan krisis yang semakin mendalam, mereka berada di titik yang sangat berbahaya. Ada begitu banyak yang harus dihadapi, dan Clara merasa terperangkap di antara keputusan-keputusan besar yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semua orang di perusahaan tampaknya mengandalkan Kieran, dan Kieran, tentu saja, mengandalkan
Clara duduk di sofa kantor, menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja. Setiap kali ia menerima pesan atau telepon dari Kieran, pikirannya menjadi berputar-putar. Semalam mereka sempat berbicara tentang perusahaan, tentang keputusan besar yang harus diambil. Tetapi setiap kali mereka menyentuh topik itu, rasa cemas kembali menguasai mereka. Kini, Clara merasa waktu semakin sempit. Persaingan bisnis semakin ketat, dan peluang untuk melakukan perubahan drastis sudah semakin terbatas. Semua perencanaan yang mereka buat, seluruh harapan yang mereka bangun untuk perusahaan ini, mulai terasa seperti tumpukan kertas yang siap diterbangkan oleh angin. Clara menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Pikirannya melayang kepada Kieran, sosok yang selalu berada di sisinya—tetapi di saat yang sama, mereka semakin jauh satu sama lain. Apa yang mereka perjuangkan bersama sekarang terasa seperti mimpi yang semakin memudar.
Pagi itu, Clara merasakan ketegangan yang lebih kuat dari sebelumnya. Setelah malam yang panjang dan penuh diskusi dengan Kieran, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan para investor. Setiap detik terasa begitu berharga, dan dengan setiap langkah yang mereka ambil menuju ruang pertemuan, Clara merasa berat di dadanya. Pintu besar ruang pertemuan terbuka, dan di dalamnya sudah menunggu lima investor besar yang telah memberi mereka pendanaan sejak awal. Para wajah yang sudah tidak asing lagi, namun hari ini ada perasaan yang berbeda di antara mereka. Ada sesuatu yang tertahan di udara—sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan secara langsung, tetapi bisa dirasakan oleh setiap orang di ruangan itu. Kieran masuk pertama, dengan tatapan penuh tekad. Clara mengikuti di belakangnya, dengan napas yang tertahan. Mereka sudah membicarakan banyak hal, merencanakan langkah mereka, tetapi kini mereka harus berhadapan langsung dengan kenyataan. Apakah para investor akan me
Hari-hari setelah pertemuan dengan para investor terasa seperti serpihan waktu yang terbuang, namun tetap mengikat. Clara dan Kieran tahu bahwa mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan bukti yang dibutuhkan, serta meyakinkan pihak ketiga tentang kelayakan proyek ekspansi mereka. Setelah semua upaya dan perencanaan yang telah dilakukan, saat ini mereka berada di ambang keberhasilan—atau kegagalan total. Pagi itu, Clara berdiri di balkon ruang kerjanya, menatap langit yang kelabu. Udara musim semi terasa agak dingin, namun matanya tak bisa teralihkan dari layar ponsel yang menampilkan rangkaian email yang masuk. Setiap kali pesan baru muncul, hatinya berdebar lebih cepat. Semua berisi informasi yang sangat penting. Perusahaan pihak ketiga yang akan membantu mereka memberikan proyeksi pasar—sesuatu yang sangat diperlukan untuk menjamin kelanjutan pendanaan—seharusnya memberi jawaban sore ini. Clara menarik napas panjang. Hatinya penuh kecemasan, namun j
Pagi itu, Clara merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Semua yang mereka kerjakan, semua perjuangan yang telah mereka lakukan, tiba-tiba terasa semakin berat. Waktu mereka semakin terbatas, dan para investor semakin mendesak untuk melihat lebih banyak bukti konkret yang bisa membuktikan bahwa ekspansi perusahaan ini adalah keputusan yang tepat. Clara duduk di mejanya, memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Laporan yang mereka terima dari pihak ketiga memang memberikan proyeksi yang baik, tetapi itu belum cukup untuk meyakinkan investor. Mereka ingin lebih. Mereka ingin jaminan yang lebih pasti. Kieran duduk di meja sebelahnya, matanya terpaku pada ponselnya, mengatur jadwal untuk pertemuan dengan perusahaan-perusahaan yang bisa menjadi bagian dari ekspansi mereka. Ada beban yang begitu besar di pundaknya, dan Clara tahu betul betapa Kieran berjuang untuk mempertahankan semuanya. Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa jalan yang mereka pil
Setelah pertemuan yang cukup menegangkan dengan pihak ketiga, Clara dan Kieran kembali ke kantor mereka dengan penuh semangat baru. Meskipun ketegangan masih tergambar jelas di wajah mereka, ada secercah harapan yang mulai muncul. Data yang mereka dapatkan bukan hanya berpotensi meyakinkan investor, tetapi juga membuka peluang baru untuk ekspansi yang lebih besar lagi. Namun, saat Clara dan Kieran memulai hari mereka, mereka tahu bahwa tantangan besar masih menanti. Perjuangan ini belum berakhir, dan mereka harus menyiapkan segalanya dengan sempurna. Keduanya masih merasa cemas, tetapi rasa percaya diri yang baru muncul di antara mereka berdua. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka memiliki satu kesempatan lagi untuk meyakinkan para investor. “Clara, apakah kita siap?” tanya Kieran, suara sedikit tegang, namun dengan harapan yang menyertai. “Besok adalah
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Langit tertutup awan, menelan cahaya bulan dan bintang, seolah menandakan malam penuh bahaya yang sedang menanti.Kieran mengenakan pakaian serba hitam. Di belakangnya, Liam dan dua orang kepercayaan lainnya, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Mereka bertemu di sebuah gudang tua di pinggir kota — tempat yang disepakati untuk pertemuan rahasia itu.Clara hanya bisa menatap kepergian mereka dari balik jendela, hatinya dipenuhi doa dan kekhawatiran. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk melemah."Jagalah dia, Tuhan..." bisiknya pelan, seolah angin malam bisa menyampaikannya langsung pada KieranKieraGudang itu sunyi saat Kieran tiba. Hanya suara angin yang mendesir di antara celah kayu lapuk.Kieran mengangkat tangan, memberi isyarat pada timnya untuk tetap waspada. Langkahnya mantap, tak menunjukkan sedikit pun keraguan meski setiap instingnya berteriak tentang kemungkinan jebakan.Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. Seorang pri
Udara sore itu terasa berat, seolah-olah langit pun ikut menahan napas bersama Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang melaju perlahan menuju tempat yang telah direncanakan sebelumnya—sebuah lokasi rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang kepercayaan Kieran.Selama perjalanan, keduanya hampir tidak berbicara. Ada begitu banyak hal yang ingin dikatakan, tapi seakan kata-kata tak mampu meluncur dari bibir mereka. Hanya suara pelan mesin mobil yang mengisi keheningan di antara mereka.Sesekali, Kieran melirik ke arah Clara. Ada ketegangan di wajah perempuan itu, namun juga keteguhan yang membuat hatinya sedikit tenang. Meski badai masih jauh dari reda, Kieran merasa Clara adalah satu-satunya alasan dirinya masih berdiri tegak hari ini.Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua di tengah kawasan perbukitan. Bangunan itu terlihat sepi, namun di balik kesederhanaannya tersembunyi keamanan tingkat tinggi yang telah Kieran siapkan. Di sinilah semua r
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be