"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia.Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain."Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?"Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepaya
"Rana, kita harus berhenti."Lirihan itu terdengar begitu pelan di leher jenjang Rana. Bentala benar-benar berada dalam kebingungan. Ia ingin sekali menyudahi segala tindakan yang tengah dilakukannya. Namun apa daya, kulit mulus, dan wangi vanilla yang manis dari tubuh Rana, tak mampu membuat Bentala berhenti.Inchi demi inchi Bentala telusuri pipi, dagu, leher, hingga pundak Rana dengan bibirnya. Tak ada satu pun yang tertinggal. Tangannya bahkan sudah masuk ke dalam kemeja Rana, lalu merasai kulit mulus Rana, dan mulai memasuki area yang rasanya tak boleh terjangkau oleh tangan Bentala."Jangan," larang Rana sama lirihnya. Napas gadis itu terengah, matanya menutup. Kulitnya yang putih bahkan mulai memerah karena gairah. "Jangan berhenti, Bentala.""Ini sudah terlalu jauh.""Maka teruskan, bukannya justru berhenti." Rana meraup rambut tebal Bentala. Membuat pria itu makin terpancing. "Kita sudah memulainya, jadi lanjutkan saja, Bentala! Bukankah kita sudah sama-sama gila sekarang?"R
"Ya Tuhan!"Rana terkesiap tentu saja. Ia mendapati dirinya bangun tidur tanpa sehelai benang pun dengan Bentala di sampingnya. Tanpa Rana cek, ia yakin Bentala tak ada bedanya dengan dirinya. Orang paling gila sekali pun tahu pasti telah terjadi hal yang tidak-tidak antara keduanya.Rana mencoba untuk bangun. Meskipun kepalanya terasa sakit, tapi ia harus segera melarikan diri. Dengan hati-hati ia coba bangkit dari tempat tidur Bentala. Ia tak ingin pria itu bangun, dan memergoki kepergiannya."Ya Tuhan, aku pasti benar-benar gila semalam," rutuk Rana sambil mencatut satu persatu pakaiannya. Dengan gerakan sepelan mungkin, Rana pun mencoba keluar dari kamar Bentala. "Maafkan aku, Bentala. Aku benar-benar meminta maaf, karena harus pergi meninggalkanmu. Kita enggak bisa bersama. Kamu harus bersama Tanaya."Rana menatap wajah Bentala yang damai dalam tidurnya. Ini adalah kali terakhir melihat wajah dominan itu. Wajah yang selalu menemaninya selama enam tahun ini. Wajah yang akan sangat
"Bapak, ngapain di sini?"Bukannya Bentala kurang ajar, tapi melihat sang ayah datang ke rumahnya secara tiba-tiba sontak membuat pria itu kaget. Bentala tahu, cepat atau lambat sang ayah pasti tahu saat ia menunda untuk berangkat. Tanaya entah atau tidak, pasti telah mengadu pada ayahnya tersebut.Agam Putra Narendra adalah pensiunan TNI. Ia adalah mantan Jenderal, sekaligus mantan menteri pertahanan di era kepemimpinan presiden sebelumnya. Sudah dua tahun ia hanya duduk-duduk, sembari mengurus beberapa usaha perkebunan miliknya. Pria itu juga yang mengurus Bentala dari umur sepuluh tahun di saat ia ditinggalkan oleh Ibunya yang meninggal karena penyakit kanker."Karena Bapak dengar kamu belum berangkat, Bapak jenguk kamu. Bapak pikir kamu sakit. Ternyata benar-benar sakit, ya? Tampangmu benar-benar buruk, Nak."Bentala mendengus, "Ben, bukan anak-anak lagi, Pak.""Kalau bukan anak-anak seharusnya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri dengan benar. Saat kamu bilang ingin ambil bisnis