"Atas nama Bentala Pradaya Byakta. Apakah orangnya sudah datang?"Tatapan si pelayan langsung terarah pada tablet kerjanya. Ia langsung mengangguk dengan senyum termanis saat dirinya telah mendapatkan jawabannya. Emir tentu saja dengan profesional membalas senyum gadis muda tersebut. Akhir-akhir ini ia memang berhenti bersikap genit pada gadis-gadis muda yang menarik hatinya. Bukan karena kehabisan gairah, tapi ia belajar banyak dari masalah gilanya kemarin.Si pelayan pun langsung menunjukkan jalan menuju kursi yang telah Bentala pesan. Setelah menunggu sekian lama, Bentala akhirnya menghubunginya sekembalinya ia dari Thailand. Emir pun dengan cepat memenuhi permintaan pria yang dicintai putrinya tersebut."Selamat datang, Profesor." Bentala berdiri dari kursinya saat melihat kedatangan Emir. Ia tersenyum formal seraya mengulurkan tangannya, Emir pun dengan sopan membalas uluran tersebut. "Silakan duduk, Prof.""Jangan terlalu kaku, Bentala. Om saja," pinta Emir sembari duduk di kurs
"Ya Tuhan, akhirnya diangkat juga! Bang Zahir, aku enggak bisa menghubungi Bentala, dan aku enggak mungkin menelepon ayahmu. Aku enggak tahu harus menghubungi siapa, dan kebetulan hanya nomormu yang aku miliki. Maafkan aku, aku benar-benar enggak tahu. Kejadiannya begitu cepat. Aku enggak tahu kalau ini bisa terjadi. Ya Tuhan, jam berapa sekarang di Indonesia? Apa kamu sudah bangun? Halo, Bang Zahir? Jawab aku! Rana kecelakaan. Adikmu kecelakaan di Sydney."Jelas saja berita buruk yang dibawa oleh Indira membuat mata Zahir terbuka sempurna. Ia menengok ke arah jam dinding, dan mulai menghitung perbedaan jam antara Denpasar - Sydney. Ia pun menyadari kalau Indira sedang khawatir, dan ia tidak tahu dengan siapa gadis itu sekarang. Jadi, Zahir pun bangun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya."Tolong, tenanglah, Indira." Permintaan itu membuat Indira terdiam di ujung telepon. Zahir pun bersyukur, karena Indira tak lagi berbicara. "Saya membasuh muka terlebih dah
"HEH! KELUAR ENGGAK LO! JANGAN COBA-COBA KABUR YA!"Gedoran di pintu mobil Bentala, membuat dia benar-benar tak habis pikir dengan yang terjadi. Bentala hanya sedang bengong selama lima detik, lalu terlintas di pikirannya wajah Rana yang tiba-tiba ia rindukan. Kemudian lima detik itu menjadi petaka saat Bentala tanpa sengaja menabrak mobil yang terparkir di depannya. Pria itu jelas kaget, dan dengan cepat mematikan mesin mobilnya.Hendak turun untuk mengganti rugi, namun tiba-tiba saja seorang laki-laki entah dari mana menarik si pemilik mobil dengan kasar. Mereka bahkan adu mulut, membuat Bentala enggan untuk keluar. Tapi, ia juga tak ingin diam saja di sana menunggu pasangan tersebut bertengkar. Jadi, Bentala putuskan untuk turun, dan mengetahui berapa banyak ganti rugi dari kerusakan yang sudah ia timbulkan."Kamu enggak usah ikut campur. Mau aku marah-marah atau enggak, itu urusan aku. Mobil juga aku yang bayar angsurannya tiap bulan. Kalau rusak siapa yang susah? Aku juga! Jadi,
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia.Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain."Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?"Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepaya