"Jadi, dia dipanggil karena mukul Sean?" tanya Awan sambil memarkirkan mobil di parkiran mobil rumah sakit."Iya." Sonya akhirnya menceritakan semuanya sepanjang perjalanan dengan suara selembut mungkin agar Awan tidak meledakkan amarahnya. Entah kenapa melihat Awan yang jarang marah dan tiba-tiba marah membuat Sonya takut."Pasti Sean babak belur," bisik Awan sambil mematikan mesin mobilnya dan membenturkan pelan dahinya ke setir mobil. Tiba-tiba saja ia merasakan rasa lelah yang teramat sangat saat mengetahui kalau Haikal membuat ulah di sekolahnya. Memiliki anak berusia 10 tahun itu memang sangat memusingkan kepalanya, beberapa kali dia ingin menyerah dan kabur melarikan diri sejauh mungkin tapi, entah mengapa ia selalu kembali dan merindukan tatapan nakal Haikal dan senyuman manis Hana, seolah itu semua sudah menyihir dirinya agar patuh pada si kembar."Nggak babak belur kayanya, anak kecil pukul-pukulan nggak bakal sampai sebegitunya, Wan." Sonya mencoba menenangkan Awan sambil m
Sonya yang baru saja selesai melakukan operasi apendix pada anak terduduk di ruangan ICU anak menunggu anak tersebut bangun atau takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Dia diam di sana sambil mengecek rekam medis pasien lainnya yang akan di operasi di sore hari."Dok ...." Sonya mengalihkan pandangannya dan mendapati Intan yang sedang berdiri di sampingnya, "Kamu jaga di sini?" Sonya menyerahkan rekam medisnya pada penata anestesi yang ada di sampingnya."Nanti kamu tanya tentang alergi, tekanan darah dan berapa berat badannya juga jangan lupa apakah pasien memiliki gigi berlubang, tolong ditanya," pinta Sonya."Baik Dok, nanti saya juga akan cek apakah pasien sudah berpuasa dengan baik," jawab Surya penata anestesinya. "Kalau dia nggak puasa lagi, mending nggak usah operasi hari ini, batalin aja dan minta dokter bedah reschedule, saya nggak mau ambil resiko dan sebagai pembelajarannya juga buat pasiennya, bengal banget itu pasien dari kemarin makan terus dengan alasan kel
Sonya dan Intan terus berbincang sampai seorang suster menyela obrolan mereka. "Maaf, Dokter Sonya, pasien sudah bangun."Sonya mengangguk dan berjalan meninggalkan Intan, ia langsung mendatangi anak yang tadi baru saja ia operasi. Senyuman Sonya membuat orang-orang di sekitanya membalas dengan penuh hormat. "Udah bangun, jangan tidur lagi, yah. Paksa bangun, emang boboknya enak tapi, bangun yah, Dik." Sonya menepuk-nepuk tangan anak kecil itu sambil memperhatikan kondisi pasien, mencek segala sesuatunya hingga ia yakin kalau anak itu dalam kondisi terbaiknya. "Dik, jangan tidur, ayo ... bangun," pinta Sonya lagi yang sadar kalah mata pasiennya itu terlihat akan menutup kembali."Dek, bangun ... dengerin kata Dokternya," ucap seorang wanita paruh baya yang Sonya yakini adalah Ibu pasien."Tenang, Bu, aku liat semuanya normal dan lagi Adeknya udah bangun. Semuanya aman, yah," ucap Sonya sambil melihat sekelilingnya. "Jadi, bisa masuk kamar?" tanya wanita paruh baya itu."Iya, bisa ..
Suara langkah kaki, orang berjalan, anak-anak kecil berlari, suara orang makan lalu bercakap-cakap berpadu dengan suara denting suara sendok dan garpu yang terdengar dengan jelas di kuping Intan seolah menyadarkan dirinya kalau dia sudah duduk selama 20 menit saling berhadapan dengan pria tampan yang sudah merengut nyawa kakaknya dan memorak-morandakan kehidupan keluarganya.Seandainya peristiwa ini terjadi setahun yang lalu mungkin saat ini Awan sudah habis ia tendangi dan maki. Rasanya semua kutukan dan makian yang ada dimuka bumi ini pantas Intan sematkan pada Awan."Mau diam sampai kapan? Aku banyak kerjaan," ucap Intan memecahkan keheningan di antara mereka berdua. "kamu tahu, kan, aku kerja apa?"Intan melihat jam tangan sambil berdecak kesal karena menghilangkan 20 menit waktu berharganya dengan saling tatap dengan Awan. Oke ... memang lelaki itu cukup tampan dan mempesona tapi, dia tidak ada cita-cita menatap wajah itu lama-lama karena dia harus menahan keinginan mencakar waja
"Sonya itu bodoh!""Tarik ucapan itu, Intan." Awan meradang mendengar perkataan Intan, kurang ajar sekali Intan sampai mengatakan Sonya bodoh, kalau dirinya yang disebut bodoh itu tidak masalah tapi, kalau Sonya itu masalah!"Aku cuman bilang kenyataan aja, kok," ucap Intan santai sambil membalas tatapan Awan, sekarang dia tahu kelemahan Awan adalah Sonya, usik Sonya makan Awan akan murka. Semudah itu."Kamu maunya apa? Aku sudah bilang dan meminta sama kamu jangan usik Sonya! Bagian mana yang nggak kamu pahami dari perkataan aku? Butuh aku ngomong pakai bahasa lain selain bahasa Indonesia?" hardik Awan yang kesal dengan Intan, dia benci orang-orang yang mengusik Sonya. Dia hanya ingin Sonya berbahagia saat menikah dengan dirinya, hidup dengan tenang dan damai. Tanpa meribetkan dan memusingkan apa pun juga."Aku nggak usik Dokter Sonya, aku nggak berani usik Dokter Sonya. Dia wanita baik yang sayangnya jatuh cinta pada pria berengsek kaya kamu!" sentak Intan sambil menunjuk wajah Awan
"Dokter Sonya." Bana terlihat berlari mendekati Sonya setelah selesai melakukan operasi darurat tadi. "Iya," jawab Sonya sambil menghentikan langkahnya, "ada apa? Kalau soal tanggung jawab pasien di dalam ada Surya, nanti kalau ada apa-apa Surya bakal kabarin saya on call.""Oh, bukan ... saya hanya mau meminta maaf karena sudah mengnyangsikan kemampuan Dokter," ucap Bana jujur karena ia memang sedikit waswas saat Sonya melakukan cricoid pressure, tapi, Bana kaget saat Sonya mampu melakukannya dengan baik bahkan sangat presisi hingga tidak menimbulkan dampak apa pun.Sonya mengangkat tangannya seolah merasa semuanya tidak penting. Bukan masalah baru kalau banyak orang yang menyangsikan kinerja anestesi wanita. "Is oke, Anda juga bagus tadi, kerja Anda cepat dan tepat." Bana tersenyum mendengar perkataan Sonya, rasanya menyenangkan dipuji oleh wanita secantik Sonya. "Ah ... kamu sudah dapat undangan?""Undangan pernikahan Dokter Irwan?" tanya Sonya yang sadar kalau tadi pagi ia melih
"Maaf, kami orang tua Hana dan Haikal tadi saya ditelepon Miss Gina katanya saya diminta untuk datang ke sekolah," ucap Awan sesaat ia sampai di depan meja tamu salah satu sekolah internasional di kota Bandung. Sonya melihat sekelilingnya dan sadar kalau Awan benar-benar memberikan yang terbaik untuk kedua anak kembarnya, Sonya yakin biaya yang dikeluarkan Awan tidak sedikit untuk uang bulanan dua anak kembar itu. Sekolah itu lumayan jauh dari tempat mereka tinggal namun bisa di akses dengan tol agar bisa sampai dengan cepat. "Oh, Miss Gina sudah menunggu di ruang guru," ucap lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam yang Sonya yakin dia adalah salah satu keamanan di sana.Lelaki itu mengeluarkan kartu aksesnya dan membuka pintu masuk ke dalam sekolah. Awan dan Sonya diajak masuk ke dalam melewati beberapa ruang dan beberapa tempat cuci tangan dan ruangan yang sangat luas di mana kanan dan kirinya terdapat lapangan bola yang langsung menghadap jalan raya. "Sonya ayo," ajak Awan sam
"Sebentar, jadi anak saya ini menjual kunci jawaban?" tanya Awan yang tiba-tiba merasakan rasa berat bercampur migrain di bagian kepalanya. Tuhan ... kenapa anak-anaknya ini selalu membuat onar dan masalah, tidak bisakah mereka lebih manis? Seketika itu juga Awan melirik Hana yang hanya bisa melihat ujung sepatunya tanpa berani membalas tatapan Awan, Awan hanya berusaha menenangkan diri untuk tidak memukul bokong Hana dan memarahi anak perempuannya itu. "Iya Pak, lebih tepatnya dia menjual jawaban yang ia buat kepada teman-teman sekelasnya," terang Gina."Gimana caranya? Bukannya itu bakal ketahuan?" tanya Sonya yang bingung bagaimana cara pendistribusian kunci jawabannya kalau ternyata Hana mengerjakan terlebih dahulu jawabannya. "Ini mata pelajaran apa?""Math," jawab Gina pelan, ia sadar kalau Hana adalah murid yang cerdas dan banyak akal. Mudah bagi anak itu untuk mengerjakan ulangan matematika dengan sangat cepat. Gina menyerahkan lembar jawaban ke tangan Sonya."Math? Lalu gim