Suara hinggar bingar dan lampu klub malam terlihat di sekeliling Awan, irama yang menghentak dan memekakan telinga sama sekali tidak mampu membuat Awan melupakan masalahnya. Kepalanya pusing bukan kepalang, entah sudah berapa banyak minuman keras yang ia minum dan entah sudah berapa lamaIa berada di sana. Sebuah klub malam milik temannya itu memberikan akses tak terbatas bagi Awan untuk datang dan pergi sesuka hati tanpa menunjukkan identitas apa pun juga.“Hei ….” Awan berteriak keras pada salah satu bartender yang ada di sana dan saat bartender itu melihatnya, Awan mengangkat gelasnya meminta untuk diisi kembali.“Yakin tambah?” tanya Bartender itu dengan wajah kaget karena entah sudah berapa banyak minuman keras masuk ke dapam tubuh Awan.“Y-yakin, aku mau tambah, sekarang,” pinta Awan dengan suara yang sudah mulai timbul tenggelam dan tubuh yang sudah ambruk ke meja bartender.“Kamu udah mabok, Wan, udahlah.” Bartender yang mengenal awan itu memberikan saran pada Awan untuk mengh
Awan memacu mobilnya seperti orang kesetanan, bahkan beberapa kali ia hampir menabrak pejalan kaki atau mobil yang mau memotong jalan. Beberapa kali ia di maki dan dilempar menggunakan barang saking membawa mobil secara ugal-ugalan."Sinting kamu, Sel!" maki Awan sambil mencoba mengambil ponselnya yang ada di jok sebelah dengan pandangan mata ke arah depan sambil berusaha menyupir mobilnya dengan baik.Tet ... tet ....Suara klakson mobil terdengar menggebrak gendang telinganya saat ia sudah berhasil menggenggam ponselnya, "Bangsat!"Awan memaki saat menyadari dirinya hampir menabrak mobil dari arah berlawanan, Awan membanting setir mobil secepat kilat dan beruntung di samping mobilnya tidak ada kendaraan lain. "Boga panon dipake, kehet! (Punya mata dipakai, Sialan!)" maki orang yang hampir saja Awan tabrak.Awan sama sekali tidak mau ambil pusing, ia kembali menjalankan kendaraannya dan membelokkan ke arah jalan kosan Selena dan memarkirkan dengan seenaknya.Kepala Awan yang masih sa
Awan menginjak gas hingga kakinya sakit, mobilnya menderu hingga mesin mobilnya terdengar keras ditelinganya. AC udara yang dingin terasa di kulit Awan namun, butiran-butiran keringat mengalir deras di sekujur tubuh Awan. Perasaannya bercampur aduk, rasa marah akibat melihat perbuatan bodoh Selena yang mencoba menggugurkan kandungan, rasa takut karena merasa akan kehilangan Selena dan rasa benci karena sudah sangat bodohnya meninggalkan Selena dengan begitu mudahnya berbalut menjadi satu dan menghasilkan rasa sakit yang hampir meledakkan dadanya."Bodoh! Goblok kamu Awan!" maki Awan sambil memukuli setir mobil seraya menahan tangisnya, ia melirik ke kiri dan mendapati Selena tergeletak dengan wajah yang makin pias.Tangan Awan menyentuh paha Selena yang terasa makin dingin, seketika itu juga dirinya terhantam perasaan bersalah yang dengan cepat menenggelamkan dirinya kelembah penyesalan yang menyakitkan."Sel ... sebentar, yah, tahan, yah, Sayang," bisik Awan dengan suara tercekat sam
Suara mesin rumah sakit terdengar samar-samar di telinga Awan, Awan mengerang dan berusaha menggerakkan seluruh badannya dengan susah payah. Tubuhnya sakit bukan main, ia merasakan tubuhnya di tusuk berpuluh-puluh pisau.Awan berusaha untuk membuka kelopak matanya selebar mungkin, namun, yang terjadi ia hanya bisa melihat sebaris tipis samar cahaya. Awan tak habis akal ia berusaha untuk menggerakkan tangannya, tapi, lagi-lagi Awan tidak mampu menggerakkannya sama sekali karena terasa sangat menyakitkan dan berat.Akhirnya Awan hanya bisa berteriak, dipikirannya ia merasa sudah berteriak kencang, mengeluarkan suaranya sekeras mungkin. Tapi, entah kenapa Awan hanya mendengar suara dirinya mengerang seperti orang yang sedang berkumur-kumur."Kak ... Kakak."Awan tersentak saat menyadari suara yang memanggilnya, ia ingat suara itu. Itu suara Aira, dengan susah payah Awan berjuang untuk memanggil adiknya."Kak ... udah jangan dipaksa, Kakak kalau mau bangun, bangun yah. Aira di sini, kok, A
Sepanjang jalan perut Awan terasa tidak enak dan kakinya terasa sangat lemas, andai bisa mungkin saat ini Awan akan turun dari kursi rodanya dan kembali berlari meninggalkan Aira. Ia takut bercampur gugup untuk bertemu dengan si kembar. Sesekali Awan melihat sekeliling rumah sakit dengan perasaan gusar bercampur bingung, matanya terus mengerjap sedangkan sebelah kakinya ia goyang-goyangkan naik dan turun karena merasa ketakutan juga serba salah. "Aira ... Kakak kayanya mau ke kamar mandi, deh," ucap Awan saat melihat sebuah papan jalan yang bertuliskan kamar bayi. "Ngapain ke kamar mandi? Ih ... jangan ngaco deh, tadi Kakak udah ke kamar mandi. Itu ruangan bayi di depan." Aira menunjuk tanda ruangan bayi sambil terus mendorong kursi rodanya tanpa mendengarkan ocehan Awan sama sekali, Aira yakin Awan hanya ingin menghindar untuk bertemu dengan si kembar. Awan menopangkan kakinya sambil bersandar, tangannya tiba-tiba bergetar dan ia sudah mulai merasakan perasaan tidak enak di perutn
Awan hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua tangan, ia sama sekali tidak bisa melakukan apa pun juga. Ia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya dan menerima setiap pukulan yang ia dapatkan dari Fuad. Ia merasa pantas dan ikhlas menerima perlakuan Fuad yang semena-mena pada dirinya. "Lepaskan cucu saya!" teriak Romli sambil mencengkeram tangan Fuad dan mendorongnya sekeras mungkin. "Cucu saya bersalah dan saya akan pastikan ia menerima ganjarannya, tapi, untuk memolisikannya saya mohon untuk tidak Anda lakukan." "Kenapa? Dia pantas di penjarakan dan membusuk di sana!" seru Fuad dengan penuh amarah, dia membenci Awan hingga ketulang sumsumnya, ia benci lelaki yang sudah mengambil nyawa anak perempuan kesayangannya. Bangsat! "Kalau Awan di penjara, siapa yang akan mengurus anak kembar yang ada di dalam sana!" teriak Romli sambil menunjuk kamar bayi. Fuad terhenyak, ia baru sadar kalau dirinya saat ini sudah memiliki cucu. Anak dari Selena yang entah kenapa membuat dirinya
"Janji sama Aki, janji sama Aki kalau kamu bakal jaga si kembar dan tolong ... tolong dengan sangat, jangan membuat ulah lagi. Rubah kelakuan kamu, kamu harus bertanggung jawab." Awan terdiam ia ragu kalau dirinya bisa mengubah kelakuannya. Ia ragu kalau dirinya bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirinya saat ini. Sumpah demi apa pun, Awan tak tahu harus melakukan apa untuk mengurus si kembar. Ia masih 17 tahun! "Wan ... Aki tahu kamu bingung harus melakukan apa, Aki tahu. Tapi, Aki akan bantu sebisany—-" "Aira juga bakal bantu," potong Aira seraya berdiri dan menatap Awan dengan mata yang sembab. "Jadi, Aki mohon dengan sangat, kamu ubah kelakuan kamu dan fokus dengan apa yang ada. Kamu urus kedua anak kamu, buktikan pada keluarga Selena kalau kamu mampu mengurus dengan benar anak-anak kamu. Jangan buat ulah lagi, Wan. Mungkin kamu baru berumur 17 tahun tapi kamu itu seorang lelaki beranak dua! Kamu punya beban dan tanggung jawab! Paham kamu?" tanya Romli tegas. Awan hanya b
"Wan ... Awan." Suara seorang wanita yang lembut seolah menyadarkan Awan dari kisah sedihnya. Suara itu seolah menariknya dari dirinya di masa 10 tahun yang lalu kembali ke masa kini, kembali menghadapi realita hidup dan tanggung jawab yang sudah ia pikul. "Awan," bisik Sonya sambil menarik tangan Awan agar lelaki itu bisa kembali melihat wajahnya. "Awan ...," panggil Sonya lagi yang sedikit panik karena Awan terlihat histeris dalam menceritakan kisah masa lalunya. Sebuah kisah panjang yang membuat Sonya harus menahan rasa emosinya dan cemburu pada wanita bernama Selena. Selena seorang wanita yang mungkin akan selalu Awan ingat hingga detik ini. Wanita yang akan ada di hati Awan, dan mungkin membuat Sonya merasakan perasaan cemburu yang teramat sangat. Entahlah, saat ini Sonya belum mau berspekulasi apa pun dia hanya ingin memeluk Awan berusaha menenangkan tunangannya itu. "Wan ...." "Aku pembunuh, Sonya, aku bunuh ibu dari anak-anak. Dan aku sudah jahat sama dia, aku terlalu pen