Emir berjalan hilir mudik di depan pintu ruangan UGD, tadi, dia baru mengurusi administrasi dan kaget karena tidak bisa mengakses asuransi milik Sonya dan bahkan menggunakan fasilitas apa pun dari rumah sakit itu, padahal dulu dia bisa mendapatkan fasilitas terbaik dari rumah sakit itu karena Sonya bekerja di sana.Bahkan dia bisa mengakses asuransi milik Sonya dengan mudah karena biasanya Sonya sudah memberikan instruksi pada bagian administrasi untuk membebaskan Emir menggunakannya selama itu untuk keperluan Ibu, tapi, saat ini bagian admin menolak dengan alasan tidak ada pemberitahuan dari Sonya.Sialan!? Ke mana Sonya saat dirinya membutuhkan bantuan untuk mengurus Ibu? Padahal dulu Sonya yang paling cekatan mengurus semuanya dan ia hanya tinggal ongkang-ongkang kaki saja dan setor muka ke hadapan Ibunya seolah dirinya yang mengurus semuanya padahal Sonyalah yang mengurusnya. Argh ... sial, sial, sial, hari ini benar-benar hari sial untuk dirinya.Emir bahkan kaget saat mendapati
“Dasar jalang kamu, Sonya?!”Sonya menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya bersiap meloncat ke adar Emir untuk merobek mulut mantan suaminya yang tidak punya etika itu. Seenaknya saja lelaki sialan itu menghinanya jalang?! Punya hak apa Emir menghinanya seperti itu? Tidak ada! Sonya adalah wanita mandiri dan memiliki harga diri, iya ... Sonya akui dia sudah berselingkuh dari Emir, tapi, demi Tuhan itu hanya sekali dan ia lakukan itu karena sudah tidak tahan lagi pada kelakuan Emir.“Kamu bilang aku Jalang? Dulu-dulu saat aku ngelakuin kebaikan kamu ke mana aja? Saat aku urus kamu waktu kamu sakit, bayarin hutang-hutang kamu, ikhlas dan sabar saat kamu selingkuh dengan semua wanita yang bergerak di muka bumi ini, saat aku bayarin perawatan Ibu, kamu ke mana aja? Itu kebaikan nggak kamu itung, hah? Dan sekarang kamu tiba-tiba bilang aku Jalang!” Sonya mengepalkan tangannya meredam amarahnya.“Kenyataan, Sonya, terima itu semua!”“Kamu ya— Eh ....” Sonya terdiam saat mendapati Awan
“Argh ... sakit ... pelan, sa AAAA,” teriak Awan keras saat merasakan sapuan obat merah di atas buku jarinya, tanpa sadar Awan menarik tangannya mencoba menghindari rasa perih. Sonya dengan cepat menangkap tangan Awan dan menekan kapas sekuat mungkin keluka di tangan Awan hingga membuat Awan berteriak sangat kencang. “Berisik, banget sumpah.” “Sakit, Sonya, ini sakit beneran aku nggak bohong ....” Awan mengiba pada Sonya dengan cara menatap mata Sonya dengan tatapan puppy andalannya tak lupa ia tambahkan senyuman mautnya berharap wanita yang saat ini sedang mengobatinya itu mengasihani dirinya walau setitik. Sonya menatap Awan dengan tatapan kesal, “Sakit kamu bilang ... kalau tahu sakit, ngapain kamu pukulin Emir sampai laki-laki itu masuk UGD dan tulang rahangnya sampai geser!” Sonya menekan dengan keras luka yang terlihat memerah di buku tangan Awan sampai lelaki itu menjerit lebih keras lagi. “Aw ... sakit, Sonya,” pekik Awan sembari menarik paksa tangannya dan meniupi buku-buk
Sonya menyeret kakinya ke arah ruangan perawatan kelas 3 di rumah sakit itu, ia sejujurnya enggan menemui Parwati dan lebih memilih mengikuti Awan untuk menemui Dokter Ben. Sonya merasa gelisah bukan main karena Dokter Ben memanggil Awan, pikirannya mulai membuat skenario paling buruk yang bisa Awan alami. Argh ... dia ingin ke tempat Awan.Langkah Sonya terhenti saat sudah berada di depan pintu kamar Parwati, kamar kelas 3. Seandainya ini terjadi pada saat Emir masih suaminya mungkin Parwati sedang tidur dengan nyaman di kamar VIP rumah sakit dan Sonya dengan secepat kilat mendatangi Parwati untuk mencek kondisi kesehatannya.Tapi, sekarang Sonya bukan lagi istri Emir dan pikirannya dipenuhi tentang Awan ... Awan ... Awan ... dan Awan membuat ia berpikir ulang untuk mendatangi Parwati. Sonya menghela napas dan berbalik ia akan mendatangi Awan nanti saja berurusan dengan Parwati.Klik ....“Dokter Sonya.”Mendengar namanya ada yang menyapa mau tidak mau Sonya memutar tubuhnya berbalik
“Maafkan, Ibu, Sonya.”Perkataan Parwati seolah mengguyur tubuh Sonya dengan perasaan sejuk dan tenang, setelah berhari-hari Sonya merasa sangat sakit hati dengan perkataan dan perilaku Parwati pada dirinya tiba-tiba saja wanita itu meminta maaf pada dirinya, membuat ia merasa sangat tenang dan damai. Seolah semua beban, rasa sakit hati, tidak dihargai, merasa kecil dan sedikit merasa bersalah terangkat dari bahunya. Ringan.“Bu ....” Sonya mengecup punggung tangan Parwati pelan membuat wanita itu mengelus pucuk kepalanya lebih lembut lagi membuat Sonya merasakan kehangatan seorang Ibu yang sangat Sonya rindukan.“Sonya, maafkan Ibu, Ibu tidak menyangka kalau Emir sudah menyiksa kamu seperti itu, kenapa kamu nggak bilang, Nak?” tanya Parwati lagi.“Aku nggak bisa bilang karena aku nggak mau Ibu kenapa-kenapa, aku sayang sama Ibu, aku a-aku, a-aku udah nggak punya orang tua lagi, cuman Ibu yang aku punya dan aku nggak mau Ibu ninggalin aku, Ibu terlalu baik untuk disakit hatikan,” ucap
Awan hanya bisa memamerkan deretan gigi putihnya pada adik terkecil kakeknya itu, namanya sudah sangat dikenal dikeluarga besarnya sebagai seorang trouble maker hingga membuat ia kebal dengan segala keluhan mereka. "Ketawa lagi, aduh ... nggak kebayang Romli ngurus kamu, dari darah rendah bisa melonjak jadi darah tinggi," dengus Ben sembari menggeleng dan mengusap keningnya yang mendadak pusing saat berhadapan dengan Awan."Nggak usah dipikirin Dok, Dokter nggak kuat biar Aki aja yang mikirin," canda Awan yang langsung mendapatkan sebuat delikan penuh amarah dari Ben."Aduh ... mana obat simvastatin saya, bisa jantungan saya ngobrol sama kamu lama-lama." Ben mencari obat dari dalam lokernya.Awan hanya bisa tertawa melihat tingkah kakeknya ini, dari dulu keluarga kakeknya memang berpendidikan tinggi tapi kelakuannya lucu-lucu dan hampir semuanya bekerja di bidang medis. "Itu, Dok." Awan menunjuk salah satu obat di ujung laci dan dengan cepat ia beranjak dari duduknya untuk mengambil
"Ibu ... Ibu ...," isak Sonya sembari membenamkan wajahnya di dada Awan, air mata dengan cepat membasahi kemeja Awan."Kenapa?" tanya Awan seraya mendorong badan Sonya agar dirinya bisa melihat wajah Sonya yang sudah basah karena air mata."Aku ... aku ... aku ... Ibu ... Ibu ...." Sonya terbata-bata dan menatap Awan kebingungan seolah bingung akan mengatakan apa."Sonya, Sayang ... kamu kenapa? Mantan mertua kamu itu kenapa?" tanya Awan bingung karena Sonya terlihat histeris."Ibu meninggal, Wan. Ibu meninggal," ucap Sonya sembari mengeratkan pelukkannya, berjuang menahan bobot tubuhnya agar tetap berdiri tegak walau lutut Sonya sudah tidak mampu menopang tubuhnya sama sekali.Awan dengan cepat memeluk Sonya dengan lebih erat lagi, beberapa kali Awan kecup bagian atas kepala Sonya agar wanita itu bisa tenang dan diam. "Tenang, Sonya ... tenang.""Wan ... aku, aku harus gimana? Ibu meninggal, aku nggak punya orang tua lagi, Ibu meningal dan semuanya ninggalin aku." Sonya menyadari saa
"Awan?" tanya Sonya kaget saat berbalik dan mendapati Awan sedang berada di belakangnya, kulit punggungnya terasa hangat karena dada Awan dan bercampur dinginnya air yang mengalir membasahi tubuh Sonya. "Apa?" tanya Awan santai sambil mengusap bahu Sonya pelan, membuat wanita itu meremang."Kamu mau apa?" tanya Sonya saat jemari Awan menyusup ke belakang kepalanya dan Sonya terhentak saat rambutnya ditarik kebelakang dan diputar perlahan hingga wajahnya menghadap Awan kedua kalinya. "Ah ...."Awan terkesiap saat mendengar desahan Sonya dan wajah juga bibir Sonya yang sensual, bibir kekasihnya itu terbuka, basah dan terlihat menggoda, meraungkan gairah di setiap inci tubuhnya yang dengan cepat membuat kejantanannya mengeras sempurna tanpa butuh rangsangan apa pun juga. "Aku mau mandi, Wan," bisik Sonya sembari meremas spon mandi miliknya saat merasakan Awan yang tegang di belakang tubuhnya. "Awan ....""Mandi aja, anggap aja aku nggak lagi di sini, anggap aja aku bukan siapa-siapa,"