Sonya menggeliat di atas ranjangnya, matanya berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya kamarnya ... sebentar ini benar kamarnya atau kamar Awan? Sonya mencoba mengingat apa yang ia lakukan tadi malam, dia bekerja seperti biasa dan pulang ke rumahnya.
"Ternyata ini kamar aku," bisik Sonya yang melihat langit-langit kamarnya yang terpasang gantungan lampu berbentuk aesthetic berwarna broken white. Tangannya mengusap ranjang sampingnya yang dingin dan kosong, seketika itu juga ada perasaan rindu yang menyelusup di dadanya. Rindu akan tubuh Awan yang selalu ia rasakan mendekapnya disetiap malamnya beberapa hari yang lalu.Kring ... kring ... kring ....Sonya dengan cekatan mengambil ponselnya, "Iya halo ....""Pagi ...."Kesadaran Sonya dengan cepat pulih saat mendengar suara maskulin Awan, "Pagi, Wan ... kenapa aku pulang ke rumah, yah?""Hahaha ... yah, emang kamu mau pulang ke mana kalau nggak ke rumah, Sonya? Emang kamu mau pulang"Bu ... Ibu nggak apa-apa?" tanya Bi Sun yang kaget melihat ekspresi Sonya yang berubah pias dengan cepat."Bi Sun, kapan Emir pergi ke tetangga?" tanya Sonya sembari menahan rasa panik yang tiba-tiba berkecambuk di dadanya. Bagaimana ini, Sonya tahu kelakuan Emir yang meledak-ledak dia yakin kalau saat ini Emir sedang mendatangi rumah Awan dengan penuh angkara murka."Tadi, baru aja, Bu," sahut Bi Sun sembari melap lantai yang lengket karena orange jus yang Sonya muntahkan. "Tadi banget?" tanya Sonya sembari menyimpan gelas orange jus miliknya secara serampangan. "Iya, Bu, tadi banget ... cuman kepaut semenit pas Ibu datang, Pak Emir tutup pintu depan tapi, mukanya kaya yang marah gitu, Bu," terang Bu Sun sembari menunjuk ke arah pintu keluar.Jantung Sonya bergetar hebat dengan cepat Sonya memikirkan berbagai macam skenario terburuk yang akan Emir lakukan pada Awan. Bukan apa-apa hidup dan tinggal bersama Emir lebih dari lima tahun membuat Sonya hapal luar dan
Brak ....Seketika itu juga Awan merasakan rasa sakit yang luar biasa dibagian kepalanya, pandangannya buram dan hanya bisa melihat wajah Sonya yang panik di hadapannya. Tubuhnya tiba-tiba limbung ke kanan, rasa sakit dengan cepat menjalar dari bagian kepala ke seluruh tubuhnya. Tubuh Awan berdebam saat menghantam lantai garasi rumahnya yang dingin, rasa sakit menghantam sisi bagian kanan badannya. "Sonya ....""Awan ... ampun, Awan," isak Sonya sembari berlari dan memeluk Awan dengan erat melindungi tubuh Awan dari serangan dadakan lainnya dari Emir."Awas!? Awas Sonya, aku mau bikin babak belur laki-laki yang berani nyentuh kamu!? Kamu itu punya aku!?" sentak Emir sembari melemparkan helm yang ia gunakan untuk memukul kepala Awan dengan keras tadi. "Sinting kamu, Emir. Sana pergi!?" teriak Sonya sembari mengambil helm putih Awan dan melemparkannya ke arah Emir. "Pergi!?""Pergi!? Kamu suruh aku pergi? Kamu punya otak nggak!?
"Sonya ...," rintih Awan sambil berjuang untuk duduk, kepalanya sakit bukan main. Awan melirik ke arah kanan dan menyadari kalau ia di pukul menggunakan helm bermerek nolan yang sudah teuji kerasnya. Sonya yang sedang sibuk mengusap air matanya dengan punggung tangannya, ia mengalihkan pandangannya melihat Awan. Matanya mengerjap untuk melihat wajah Awan dengan jelas. "Awan ... Awan ...."Tangan Awan terulur dan mengusap air mata Sonya yang masih mengalir keluar dari manik mata hitam milik Sonya. Mata mungil yang sangat Awan sukai saat ini sedang mengalir air mata, sakit rasanya melihat itu. Padahal, Awan sudah berjanji tidak akan membuat wanitanya menangis. Tapi, karena kecerobohannya tidak bisa melindungi diri, saat ini Sonya menangis."Jangan nangis, ada aku. Jangan nangis, yah. Cantik." Awan mengusap air mata Sonya sambil beringsut pelan agar mendekat pada badan Sonya, ia ingin secepat mungkin memeluk Sonya dan menenangkan wanita itu."Awan .
“Sakit … pelan,” ringis Awan saat Sonya menyentuh luka di bagian kepalanya yang terkena pukulan Emir yang melindungi dirinya tadi.Sonya memajukan wajahnya mendekati pelipis Awan dan meniupinya perlahan sembari terus mengusapkan alkohol. “Pelan … ini aku udah pelan.”Awan tersenyum melihat wajah Sonya dari dekat, ia suka melihat bibir Sonya yang mengerucut kecil dan wajahnya yang terlihat polos tanpa make up, iya … Awan sangat suka wajah Sonya yang baru bangun tidur tanpa make up sama sekali, apa lagi wajahnya saat setelah bercinta dengan dirinya, terlihat puas, bahagia dan sensual.“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Sonya, Sonya menyimpan kapas bekas dan botol alkohol di nakas terdekat. “kamu kalau senyum-senyum gini pasti ada maunya.”Tangan Awan terulur dan menyentuh pinggul Sonya, dengan sekali tarikan Awan membuat badan sonya berada di antara kedua pahanya. “Aku mau kamu bilang, aku suka kamu Awan.”Sonya memundurkan kepalanya sediki
Awan berjalan ke arah tempat penyimpanan loker dengan kepala yang masih sangat pusing, saat ini hanya ingin menyimpan tasnya dan berganti pakaian kemudian bekerja dengan tenang tanpa hambatan apa pun. Ia ingin secepatnya ke Bandung dan berbicara dengan Kakeknya, ia ingin keluar dari pekerjaannya ini supaya ia tenang berhubungan dengan Sonya. Saat Awan menutup pintu lokernya ia mendapati beberapa rekan kerja perawat masuk ke dalam ruangan kerja. Awan mulai merasakan perasaan tidak enak saat rekan kerjanya itu sama sekali tidak menyapanya namun, memperhatikan dirinya dari atas ke bawah dengan pandangan yang membuat darah Awan mendidih."Kerja, Wan?" tanya Eros yang memiliki loker tepat di samping Awan, hingga mau tidak mau ia harus berdiri di samping Awan."Kerja, Bang, Abang udah selesai jadwalnya?" tanya Awan yang ingat kalau hari ini dia tidak satu jadwal dengan Eros. "Udah, baru selesai ... nggak telat kamu?" tanya Eros sambil melirik jam din
"Masih hidup?" tanya Sonya sambil menatap dingin Emir yang sedang duduk di pinggir ranjang rumah sakit. Emir menghela napasnya pelan sambil melihat Sonya sekilas, ada rasa kesal di dadanya karena Sonya sama sekali tidak menemaninya selama perjalanan ke rumah sakit menggunakan ambulans, Sonya malah ikut mobil ambulans lainnya bersama lelaki biadap itu."Mau kamu aku mati?" tanya Emir sembari menahan sakit karena bagian wajahnya benar-benar babak belur."Bukan aku yang bilang," ucap Sonya sembari masuk ke dalam ruangan dan mengambil rekam medis Emir. "Oh ... patah hidung doang.""Doang?" tanya Emir geram, rasanya ia ingin melemparkan nakas di sampingnya ke arah Sonya saat ini karena betapa santainya Sonya mengatakan itu semua. "Iya, patah hidung aja, kamu pasti masih bisa hidup, kan?" Sonya tersenyum sinis sambil mengembalikan rekam medis milik Emir ke meja. Ia berjalan terus melewati Emir ke arah jendela besar yang menunjukkan hiruk pikuk kota Jakarta di pagi har
"Sonya ... hai ... Sonya."Sonya terus berjalan menelusuri lorong, ia sama sekali tidak mengindahkan teriakkan orang yang memanggil namanya di belakang. Kepalanya sakit bukan main karena memikirkan perkataan Emir yang ada benarnya mengenai Awan. "Sonya ... Sonya."Langkah Sonya sama sekali tidak melambat, ia terus berjalan menjauhi orang yang memanggilnya. Pikirannya kacau dan tidak fokus bahkan saat operasi tadi ia berkali-kali melamun hingga membuat Awan menyengolnya tubuhnya untuk kembali fokus."Sonya." Tangan Sonya ditarik dan membuat dirinya menghentikan langkahnya, "Iya.""Kamu kenapa? Aku dengen dari anak-anak koas kamu melamun mulu," ucap Lidya yang khawatir dengan keadaan Sonya hari ini. Lidya beranggapan Sonya seperti ini karena peristiwa pemukulan yang dilakukan Awan kepada Emir."Hah ...." Sonya menatap kosong Lidya, ia benar-benar bingung dan terpuruk setelah berbicara juga bertemu dengan Emir. Ternyata b
"Hai ... mau boba?" tanya Awan sambil menyerahkan tempat minum yang berisikan boba kesukaan Sonya. "Wan ... dapet boba dari mana? Kamu belinya kapan? Seingat saya kamu abis keluar dari ruang operasi," tukas Lidya bingung kenapa Awan bisa mendapatkan boba untuk Sonya setiap saat dan waktu. "Aku pesen, Dok, emang cepet itu ojek onlinennya. Kan, toko boba-nya dekat," jawab Awan sambil memberikan satu gelas ke tangan Lidya. "Aku dapet juga?" tanya Lidya kaget karena mendapatkan jatah dari Awan. "Iya, buy 2 get 1, kalau nggak gratis, yah, Dokter Lidya nggak bakal dapet," jawab Awan santai. "Asem ...," maki Lidya seraya menusukkan sedotannya. "Udah ... aku masih banyak operasi, mana mulai besok aku harus kerja keras bagai kuda buat gantiin orang liburan." S
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan