Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini.
“Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku.
“Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat.
“Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”
“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi.
Aku menghela napas panjang.
“Oke, saya ke sana.”
Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”
“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka.
“Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk pertemuan kami yang kedua kalinya.
“Gimana?” tanya ummi lagi.
“Besok yah, iya, Faizal mau, Ummi.”
“Hari ini, Faizal mau keluar dulu, ada mahasiswi yang kena jambret, dia masuk ke rumah sakit. Faizal mau lihat.”
Ummi Sahara menganggukan kepala. “Astagfirullah, kasihan banget nak. Hati-hati yah.” Setelah mencium punggung tangannya. Aku dengan cepat mengambil kunci mobil. Di dalam mobil, aku dengan cepat menghubungi Bea. Reza mengirimkan nomor telepon gadis itu.
[Bea?]
[Assalamualaikum, Siapa nihh?]
[Walaikumsalam. saya Faizal, dosen kamu, kamu kena jambret yah? Saya ke sana sekarang.]
[Nggak usah pak!]
[Saya sudah di jalan!]
Aku mengetik pesan itu dengan cepat. Dia tidak membalas pesanku. Aku terheran.
[Bea?] aku mencoba mengirimkan pesan sekali lagi.
[Kamu marah yah kemarin karena aku menolak kamu? Aku sebenarnya mau …,]
Tidak, tidak, nanti gadis itu malah besar kepala. Malas banget. Dengan cepat aku menghapus pesanku lagi.
[Maaf pak, infus saya tadi lepas.]
[Kamu memangnya lagi ngapain sampai infusnya lepas]” balasku. Aku tersenyum. Ku pikir dia tidak akan membalasnya. Aku menunggu jawabannya, dia sedang mengetik. Syukurlah gadis ini bisa diajak ngobrol.
[Lagi BAB pak.]
[Ya udah BAB dulu, nanti balas chat saya!]
Aku menyimpan ponselku di atas dahsbord mobil lalu melajukan kendaraan itu menuju rumah sakit Medika. Reza mengirimkan alamat rumah sakit tempat Bea di rawat. Mahasiswaku itu memang paling bisa diandalkan.
Sesampai di rumah sakit, aku dengan cepat mencari ruang dimana Bea di rawat. Beberapa mahasiswa yang dirawat tampak sedang berada di depan sana. Aku menghampiri mereka.
“Bea dimana?”
“Di dalam pak.” Saat melihat wajahku, mereka terlihat tegang. Aku masuk ke ruangan itu. Bea menatapku. Dia tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke arah seorang perempuan paruh baya.
Wanita itu menatapku lalu segera keluar.
“Makanya, nggak usah sok jago!” ucapnya sebelum meninggalkan Bea. Aku yang berada di depan pintu hanya bisa menatap mereka.
“Pak Faizal, nggak usah datang deh.”
“Aku kan nggak mau dijenguk sama dosen, lebay banget!” keluhnya. Aku berjalan menghampirinya.
“Saya dosen kamu, lagi pula, ini hal yang biasa saja kalo saya jenguk kamu.” Aku segera duduk di sisi tempat tidur. Dia melipat tangannya. Bekas darah di bagian pelipis dan bajunya masih terlihat jelas.
“Kamu ngapain berantem sama jambret di kampus?” tanyaku. Aku mulai menginterogasinya.
“Mereka mau merebut ponselku, ya aku nggak kasih lah. Lagi pula, aku nggak punya ponsel lagi,” keluhnya. Bibirnya manyun namun entah mengapa, wajahnya terlihat tambah cantik. Astagfirullah, tidak, tidak Faizal. Apa yang kamu pikirkan?
“Ya sudah, tadi itu siapa?”
“Ibuku!” jawabnya dengan cepat. Wajahnya tampak tidak suka saat dia menyebut nama ibunya.
“Bukannya kamu mahir taekwondo yah?”
“Iya, kalo mereka nggak bawah golok!”
Aku mengusap wajahku. Ada rasa menyesal di dalam hati. Andai saja kemarin aku menawari tumpangan, mungkin gadis ini nggak akan terluka. Kepalanya di perban, bahkan di bagian pipi sedikit memar. Kasihan sekali.
Aku perlahan beranjak dari tempat dudukku.
“Ibumu kemana?”
“Saya mau bertemu,” tanyaku.
“Nggak usah deh pak, mendingan pak Faizal pulang deh!” gerutunya kesal. Dia tidak menatapku. Wajahnya terlihat tidak nyaman.
“Kemarin kamu cuti untuk ke Singapura, ngapain?” Aku mulai menginterogasinya. Dia tidak ingin menatapku.
“Apa ada masalah dengan hidupmu? Ceritakan, awalnya nilaimu sangat bagus. Tapi akhir-akhir ini, kata beberapa dosen, sangat menurun. Apa saya perlu membantu kamu?”
Dia tidak menjawab. Bibirnya semakin maju ke depan namun entah mengapa wajahnya semakin lucu.
“Saya dosen baru, saya tidak kenal kamu dengan baik. Kemarin kamu salah. Saya tidak suka seperti itu,” jawabku lagi. Dia terdiam. Dari banyaknya mahasiswa yang sering mengangguku. Hanya Bea yang begitu terang-terangan.
“Bea?” aku memanggilnya dengan sangat lembut.
“Bapak mendingan pergi dah!” protesnya.
“Ya, saya pergi.”
Aku berjalan keluar dari ruangan itu. Reza sudah sampai. Aku mengatakan kepadanya untuk menyusulku ke rumah sakit.
“Oh, yah pak, apa biaya rumah sakitnya sudah diurus? Bea tuh tinggal di panti. Takutnya pihak panti belum datang. Lagi pula, ibunya sudah pulang.” Reza menjelaskan.
Aku segera berjalan ke bagian administrasi bersamanya.
“Nanti saya yang urus Rez. Kamu ajak teman-temanmu pulang. Hari sudah malam.”
“Biar saya di sini. Saya akan mengawasinya dari jauh.” Reza menganggukan kepala.
“Iya pak.” Dia segera pergi. Aku menyerahkan beberapa kartu identitas di loket pendaftaran. Petugas rumah sakit sedang mendaftarkan nama Bea. Aku menunggunya beberapa menit.
“Mas Faizal?” Aku spontan membalikan badan saat suara itu memanggilku. Aku menoleh. Ada Alina di ujung sana. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Mas Faizal di sini lagi ngapain?” tanyanya. Aku menghela napas panjang.
“Itu loh, ada mahasiswa yang terluka. Lagi jenguk mahasiswinya. Aku sekalian urus administrasinya juga.”
Aku memandangi wajah wanita itu. Alina memakai setelan jas dokter. Apa dia seorang dokter? Ummi bahkan tidak menyebut profesinya. Lagi pula, Alina memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang baru saja lulus. Apa dia lulusan kedokteran?
“Oh gitu.”
“Aku ke sana dulu mas Faizal, nanti aku ke sini lagi.” Aku menganggukan kepala. Ku pandangi dia hingga menghilang di ujung lorong rumah sakit. Aku akan bertanya kepada ummi tentang Alina besok.
Setelah menyelesaikan administrasi Bea, aku kembali ke ruangan gadis itu.
“Bea.” Saat aku memanggilnya, dia sedang makan popmie, bahkan ada dua gelas.
“Kok makan popmie sih?” tanyaku. Aku duduk sambil membersihkan gelas pop mie itu. Tidak ada yang menemani gadis itu saat ini.
“Pak Faizal nggak usah terlalu care.”
“Lagi pula, gara-gara bapak, saya terluka!” protesnya.
“Loh, kok saya yang disalahkan? Kan saya nggak tahu kamu kena jambret.”
“Itu loh pak, gara-gara saya tunggu bapak sampai pulang!” jawabnya lagi. Aku menghela napas panjang. Aku duduk di depannya dan memperhatikan dia menyelesaikan makan malamnya.
“Ibumu nggak ada di sini?” Dia tidak menjawab. Bea asik menghabisi makannnya.
“Saya serius, soalnya saya mau pulang juga.” Dia tidak menjawab. Gadis itu seakan tidak peduli ucapannku. Aku berdiri.
“Ya sudah, saya mau pulang. Besok saya datang lagi.”
Aku melangkah pelan. Berharap dia membuka suara dan menghentikanku. “Oh yah, tadi saya beli bunga. Buat kamu, sebenarnya buat ummi saya yang di rumah. Tapi lupa.” Aku meletakkan bunga itu di samping tempat tidurnya.”
Bea tidak menjawab. Dia fokus menghabiskan popmienya. Sepertinya gadis itu sangat lapar.
“Bea, saya pulang yah?”
“Ya, pulang aja!” jawabnya acuh dan tak acuh. Aku berjalan keluar. Sebelum benar-benar pergi, aku melihatnya sekali lagi. Ada perasaan kasihan di dalam dada. Apalagi mengetahui wanita itu rupanya tidak tinggal bersama orang tuanya.
“Sudah, jangan terlalu memikirkan dia, Faizal.”
Aku berjalan menuju parkiran.
“Mas Faizal!” Alina memanggilku, dia berjalan sedikit berlari.
“Kamu dokter yah?” Dia tersenyum, cantik sekali. Pantas ummi sangat menyukainya. Dia adalah pilihan tepat untuk ummi.
Wanita itu mengangguk. “Baru coas Mas,” jawabnya.
“Hebat,” pujiku. Pipinya merona.
“Mas Faizal sudah mau pulang yah? Besok aku dan ummi keluar. Diajak sama ummi Sahra. Mau bahas …,” Dia menghentikan ucapannya. Aku sudah mengerti apa yang Alina ucapkan.
“Ya, besok insyallah.”
“Saya pulang dulu.” Aku masuk ke dalam mobil. Dia terus menatapku sambil tersenyum.
“Hati-hati Mas!” jawabnya sambil melambaikan tangan.
***
“Gimana, udah lihat Alina kan?”“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.“Faizal ketemu tadi, Mi.”“Di rumah sakit.”Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.“Faizal suka kok ummi.”“Tenang saja.”Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.[Pak Faizal, aku taku
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
“Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah