Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.
Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren.
“Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius.
“Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”
Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini.
“Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka.
“Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku.
“Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
“Nggak ada maksud lain kan yah?” Bola mata abi menyipit menatapku. Aku menggeleng dan tertawa.
“Abi kayak curiga banget sama Faizal, sampai nanya kayak gitu,” kekehku.
Perjalanan ke panti memakan waktu 30 menit. Sama seperti saat aku mengantar Bea pulang. Jaraknya tidak lah terlalu jauh. Saat sampai di panti, beberapa anak-anak panti sudah menyambut kami dengan baik. Ibu Jubaidah merasa terhormat karena abi dan aku datang. Biasanya ummi sih yang datang ke tempat ini.
“Nak Faizal tumben ke sini,” sahut ibu Jubaidah saat aku turun dari mobil. Aku tersenyum ramah. Tidak lupa menyalami beliau.
“Iya, lagi mau ikut sama abi dan ummi,” seruku.
Kami masuk ke sebuah ruangan khusus di samping bangunan tua. Bangunan tua itu adalah milik salah satu rentenir dan abi sudah membelinya. Sekarang bangunan tua itu menjadi milik panti Al-Jannah. Sudah dua kali direnovasi dan keadaanya sudah jauh lebih baik.
Ummi duduk berhadapan dengan ibu Jubaidah. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Berharap menemui gadis itu. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak mencul. Bahkan aku tidak melihatnya sedang menyambutku di depan gerbang utama. Aneh sekali! Kemana si Bea Delima itu?
“Nak Faizal cari siapa?”
“Kok kelihatanya nggak tenang gitu,” ucap ibu Jubaidah sedikit mengagetkanku. Rupanya dia tahu gerak-gerikku. Aduh, jadi malu. Apa dia tahu jika aku sedang mencari si Bea Delima, gadis aneh yang akhir-akhir ini menganggu pikiranku.
“Boleh keluar sebentar nggak? Aku lagi butuh udara segar,” seruku dengan cepat. Spontan abi dan ummi menatapku dengan ekspresi bingung.
“Loh, kamu sakit toh?”
Aku menggeleng.
“Nggak Mi, hanya nggak enak badan saja, entahlah mengapa. Sudah beberapa hari rasanya meriang,” jelasku.
“Kalo sakit, sebaiknya tinggal di rumah saja toh,” jawab abi.
Aku terdiam.
“Keluarlah nak kalo mau jalan-jalan.” Ummi mengengam tanganku dengan lembut. Aku menganggukan kepala.
“Ya Ummi.” Aku segera berdiri dan berjalan keluar. Panti Al-Jannah cukup luas dan fasilitasnya sangat memadai. Ada taman kecil yang tertata rapi. Ada beberapa bangunan yang baru saja abi rampungkan. Khusus untuk pengurus panti. Aku tertarik berada di taman itu.
“Pak Faizal ke sini?” Aku spontan menolah dan menatap si Bea Delima yang ku cari sejak tadi. Dia memakai jilbab putih panjang menutup dada. Baru kali ini aku memandanginya memakai jilbab.
Aku cukup terpana. Tapi, aku tidak ingin dia besar kepala. Tentu saja, malas sekali membuatnya terlalu percaya diri.
“Iya, lagi antar Abi dan Ummi. Kamu tinggal di sini?”
“Jadi, selama ini kamu tahu aku dong?” gerutunya. Bea menganggukan kepala.
“Ya, aku tahu pak Faizal.”
“Pak Faizal aja yang nggak tahu aku,” kekehnya. Saat tersenyum, dia menutup mulutnya dengan pelan dan gigi gingsulnya yang manis masih saja terlihat. Dia cantik, menawan.
“Astagfirullah Faizal!” hardikku kepada diri sendiri.
“Mau ke pengajian?” tanyaku. Dia menatap dirinya sendiri.
“Ini?” Ujung jilbabnya ditunjukan kepadaku.
“Ya,” seruku. Dia seperti paham apa maksud dari percakapan kami. Dia menunduk. “Kata ibu Jubaidah, aku cantik memakai ini.”
“Aku nggak paham banyak hal masalah agama. Sejak kecil, orang tuaku bercerai. Mereka berpisah dan memilih tinggal dengan kehidupan mereka masing-masing.”
“Cantik nggak?” Dia dengan cepat menongakan wajahnya dan menatapku sambil tersenyum. Dia sangat mahir mengubah ekspresi wajahnya.
“Cantik nggak?” ulangnya sambil mengangkat kedua alisnya dan memberikan kode. Aku hampir terpesona dengan gayanya yang lucu itu.
“Nggak!” jawabku. Aku berbalik badan dan berjalan meninggalkannya.
Aku kembali ke ruangan ibu Jubaidah. Sebelum masuk ke dalam gedung itu, aku menoleh ke belakang. Berharap dia mengejarku dan memaksaku mengatakan dia cantik. Tapi anehnya, dia malah menghilang persekian detik. Sungguh ajaib.
“Loh, udah kembali?” tanya Ummi terheran. Aku tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Udah agak enakan Mi,” jawabku. Ibu Jubaidah tersenyum memandangiku.
“Ketemu Bea yah?” sahutnya tanpa basa-basi. Aku tersenyum.
“Ya Bu, ada di taman. Rupanya dia mahasiswaku di kampus,” seruku kemudian. Ibu Jubaidah menghela napas panjang dan dia tidak mengatakan apapun lagi.
***
Abi dan Ummi secara langsung membagikan beberapa kue untuk anak panti. Aku mencari Bea, ku harap dia muncul di aula ini. Rupanya dia sama sekali tidak terlihat lagi. Dasar anak aneh!
Aku berjalan mendekati Ummi.
“Ummi kenal Bea tidak?”
“Anak panti yang ada di sini.”
“Bea?” ulang Ummi tidak mengerti. Saat aku berusaha mencari Bea, gadis aneh itu akhirnya muncul. Dia membawah beberapa minuman ke hadapan kami. Aku tersenyum memandanginya apalagi saat pandangan kami bertemu. Anehnya, dia segera menepis pandanganku dan wajahnya terlihat sangat dingin.
Apa dia marah karena aku nggak bilang dia cantik?
“Ini adalah Bea Delina, salah satu mahasiswa yang kuliah di Tunas Bangsa. Dia anaknya pintar. Kemarin, dia berhasil mendapatkan penghargaan atas karya tulisnya.”
“Bea sudah lama tinggal di sini, ini loh bu Sahara, gadis ini yang menolong anda saat itu.”
Ummi menatap Bea dengan ekspresi takjub. Sedangkan aku tidak mengerti dengan ucapan ibu Jubaidah. Menolong? Menolong apa?
Ummi segera memeluk Bea. Dia terlihat sayang dengan gadis itu.
“Dia pernah menolong Ummi?” tanyaku. Ummi mengangguk. Tangannya mengengam tangan Bea dan gadis itu hanya menundukan wajahnya ke bawah dan dia tersipu malu.
“Ummi pernah dijambret di jalan.”
“Bea menolong ummi, dia menghajar tukang jambret itu. Baik banget dirinya.” Bea tersenyum menatap Ummi.
“Allah yang menolong ibu,” jawabnya dengan cepat.
“Allah mengizinkan kamu menolong Ummi. Panggil Ummi saja,” sahut Ummi dengan cepat. Aku tersenyum menatap Bea namun dia terlihat tidak ingin menatapku.
“Saya pamit izin ke dapur dulu,” ucapnya sopan. Bea berjalan di depanku dan dia sama sekali tidak ingin memandangiku walaupun beberapa detik. Aneh!
Setelah urusan di panti selesai, Abi berpamitan untuk pulang. Proyek pembangunan akan dilaksanakan bulan depan. Aku cukup senang karena abi mengajakku untuk terus mematau perkembangan proyek ini. Ya, setidaknya aku bisa melihat gadis aneh itu.
Di dalam mobil, aku mengirimkan pesan kepadanya sambil tersenyum.
“Faizal!” ucap Ummi sedikit mengagetkanku. Dia menyentuh pundakku dari belakang.
“Ke rumah Alina yuk!” bisiknya. Aku baru saja sadar, aku memiliki janji dengan gadis itu sore ini. Ya ampun, aku hampir saja lupa.
“Ya Ummi.”
***
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?
Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan
“Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe
“Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa
“Sekarang jadi istri pak Faizal,” ucapku mengodanya. Bea tersenyum namun masih saja sama, dia tidak berani memandangiku. Aku mengecup bibirnya dengan sangat lama. “Saya menyukaimu, saat pertama kali saya melihatmu.”“Apa kamu tidak sadar?” Bola mata kami bertemu. Serasa waktu berhenti. Entah mengapa, aku merasa nyaman memandanginya. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Aku tahu, dia tidak memiliki tempat untuk bersandar. “Pak.”“Jangan panggil Pak, panggil saya Mas. Umur kita kan nggak beda jauh, sayang. Hanya beda 7 tahun saja. Kamu tahu?” Aku meletakkan jemariku di bibirnya. Dia terus memandangiku. “Ini seperti mimpi,” ucapnya. Dengan pelan aku membuka hijab yang menutupi rambutnya. Dia memegang tanganku dengan cepat. Wajahnya terlihat ragu.“Aku suamimu.”“Kita sudah sah sekarang, Bea.” Rambut panjangnya yang terurai begitu saja. Wajahnya semakin cantik. Aku benar-benar takjub. Dia adalah mutiara yang tersembunyi selama ini.Aku mengecup
Kabar mengenai Alina tidak terdengar lagi. Aku tidak tahu alasan Alina kabur di acara pernikahan kami. Apa dia merasa ragu bersamaku? Jika seperti itu, mengapa dia tidak bersikap jujur saja? Mengapa Alina malah memilih mempermalukan ibu dan ayahnya?Ummi tidak membahas mengenai Alina. Ummi malah fokus membantu Bea memasak di dapur. Ummi terlihat menyanyangi Bea. Seluruh peralatan dan keperluan Bea sudah dipindahkan ke rumahku. Saat aku bertanya kepada Bea mengenai masa depan, dia hanya mengatakan ingin menjadi seorang penulis. Aku cukup terkejut. Penulis? Dia menyukai dunia kepenulisan dan aku mendukungnya. Jika dia ingin sekolah lagi, tentu saja aku setuju. Tinggal satu semester dan dia bisa wisuda beberapa bulan lagi. “Kalo dilihat-lihat, Faizal malah sukanya sama Bea yah,” goda Ummi saat aku duduk di meja makan dan memandangi mereka memasak. Entah mengapa, Ummi sangat kompak dengan Bea. “Ummi bisa saja,” kekehku. Jika dilihat dari jauh, Ummi dan Bea tidak ada bedanya. Kedua ma
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
“Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah