Share

Chapter 9

Penulis: Anana-chan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-25 09:36:45

Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. 

Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. 

“Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. 

“Nggak tahu juga nih Sarah.”

“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”

Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. 

Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbaring lemas di tempat tidur. Bibi Ayna sudah mengatakan kepada Alina jika aku ingin melihatnya sehingga wanita itu segera memakai jilbab. 

Wajah Alina terlihat pucat namun dia masih saja tersenyum memandangiku. 

“Mas Faizal nggak usah terlalu repot datang.”

“Hanya demam biasa kok.” Suaranya terdengar serak. Aku menggeleng. “Kamu sakit, itu bukan demam biasa,” jawabku dengan cepat. 

Dia terdiam namun senyuman masih saja terlihat di wajahnya yang cantik. 

“Mas dari mana?” tanyanya. 

“Lagi temani Ummi di panti tadi. Aku sekalian ke sini. Panik dengar kamu sakit,” jelasku. 

“Insyallah akan sembuh kok Mas, aku kan dokter,” serunya. Aku tersenyum. Ummi menghampiri kami. Ummi masuk ke dalam kamar. 

“Faizal, bisa pergi sebentar nggak?”

“Ada yang perlu ummi jelaskan kepada Alina,” serunya. Aku menatap Alina. 

“Oke Ummi.”

Aku segera pergi meninggalkan kedua wanita cantik itu. Di ruang tamu, aku menunggu ummi. Bibi Ayna sibuk menyiapkan cemilan untuk kami. Dia juga bertanya mengenai aku yang sedang mengajar di kampus sekaligus membantu abi di perusahaan. 

Semua orang mendukung apa yang aku kerjakan. Mereka melihatku sebagai sosok yang keren karena bisa bekerja di berbagai tempat. Nyatanya, aku tidak sekeren itu. Allah lah yang mempermudah setiap jalanku. 

Ummi keluar beberapa menit kemudian, dia menatapku dengan sangat lama. Aku sama sekali tidak mengerti arti tatapan ummi. Apa yang ingin dia katakan? 

“Tadi lagi bahas apa sih?” kekehku. Ummi tersenyum dan kembali duduk di sampingku. 

“Urusan perempuan!” bisiknya. 

Setelah berbicara dengan bibi Ayna, kami kembali pulang. Ku lihat Ummi terdiam cukup lama di dalam mobil. Tidak seperti biasanya. 

“Ada apa sih Ummi?”

“Dari panti tadi kok, Ummi diam terus?”

“Ummi sakit?” tanyaku dengan cepat. Aku sangat takut jika Ummi sakit. Wanita yang ku cintai itu menggelengkan kepala. 

“Nggak Faizal, hanya saja Ummi sedikit bingung.”

“Bingung?” tanyaku tidak mengerti. Ummi memandangiku. Dia menyentuh tanganku dengan lembut. 

“Kamu sudah yakin ingin menikahi Alina?” Mobil berhenti tiba-tiba. Aku menatap Ummi dengan terheran. 

“Kok Ummi tanya gitu sih?” tanyaku. Ummi menatapku tanpa berkedib sedikit pun. Dia menunggu jawabanku saat ini. Aku menghela napas panjang. 

“Insyallah.”

“Kamu yakin Faizal?” ulang Ummi lagi. Aku menatap Ummi sambil menganggukan kepala. “Insyallah Ummi, Faizal yakin menikahi Alina. Lagi pula, Alina adalah wanita baik, keluarganya pun sudah ummi kenal dengan baik, bukan?”

Ummi melepaskan gengaman tangannya. Dia menghela napas panjang. 

“Ya sudah!” suaranya hampir saja tidak terdengar sedikit pun. 

Sesampai di rumah, aku segera berganti pakaian. Besok, aku akan mengajar di kelas Bea. Tentu saja, moment seperti itu adalah hal yang ku nanti. Wajahnya yang cemberut dan kesal adalah kesukaanku. Memikirkan gadis aneh itu, entah mengapa aku malah tersenyum tidak jelas. Ya ampun. 

Dring!

Ponselku berbunyi. Dengan cepat aku mengangkatnya. 

“Nanti kamu datang ke kantor?”

“Ada yang abi mau bicarakan.” Suara abi terdengar dengan jelas dari sambungan telepon. 

“Apa abi?” tanyaku dengan cepat. 

“Tadi, anak pak Rudi datang. Hafid, kamu kenal anaknya?” Tentu saja aku mengenal Hafid. Dia adalah sahabatku saat magister dulu. 

“Iya Hafid, kami pernah ketemu kok Bi, ada apa?” 

“Minta tolong temui dia lagi. Abi ada urusan dengannya. Nanti abi kirimkan berkasnya.” Setelah mengatakan itu, Abi menutup sambungan telepon dengan salam. 

Sesuai keinginan Abi. Aku menemui Hafid di sebuah cafe. Aku mengirimkan pesan kepadanya. Hafid seorang desainer dan abi selalu memakai jasanya. Sejujurnya abi ingin Hafid bekerja di perusahaan kami. 

Di cafe Organik miliknya, aku menemui dirinya. 

“Abi cari tuh!” kekehku saat aku masuk ke dalam cafe dan dia segera menyambutku. 

“Proyek kemarin, nggak bisa aku tanggani Faizal. Lagi sibuk banget,” jawabnya. Aku duduk tepat di depannya. 

“Jadi gimana? Mana abi sukanya sama kamu,” gumamku. Hafid menghela napas panjang. Dia mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga saat ini. 

“Ya sudah deh, nanti aku pikir lagi,” serunya. Setelah membahas pekerjaan, Hafid cukup tahu perjalanan cintaku. 

“Katanya kamu dah mau menikah yah?”

Aku tersenyum. 

“Bisa dibilang gitu sih,” gerutuku. 

“Padahal aku baru mau kenalin kamu sama seorang perempuan. Mana cakep lagi,” kekeh Hafid mengoda. 

“Ini!” 

Dia memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. Bola mataku terbelalak melihat foto Bea di dalam sana. 

“Kamu kenal Bea?” 

Hafid cukup terkejut saat aku mengatakan nama Bea. 

“Wanita yang di samping Laura ini, namanya Bea?” 

“Kamu nggak tahu, Hafid?” tanyaku terheran. Hafid menggeleng. “Maksud aku, perempuan yang mau aku kenalin ke kamu tuh, si Laura, bukan Bea,” ucapnya mengoreksi. 

Hafid menyimpan ponselnya kembali. 

“Aku kenal Bea, baru kenal sih. Anaknya asik. Baru beberapa bulan kenal sama dia. Manis banget orangnya. Aku satu tim di taekwondo dulu.”

Aku mendengarkan Hafid membahas Bea. Dari tatapan wajahnya, sepertinya Hafid tertarik dengan Bea. 

“Sudah, sudah, nggak usah bahas perempuan itu.”

“Besok, aku ada acara taekwondo. Semacam reunian. Dia pasti datang,” jelasnya lagi. Entah mengapa saat dia tersenyum waktu menyebut nama Bea, hatiku menjadi tidak karuan. Aku tidak suka saja. 

“Lo kapan nikah Faiza? Sebulan lagi kan yah?” tanya Hafid membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. 

“Iya, sebulan lagi,” ucapku malas. Sejujurnya aku menjadi malas menatap Hafid. 

“Ya sudah, kalo kamu sibuk, langsung aja besok ke kantor. Ketemu abi dan bahas proyek desain ini. Abi sangat percaya sama kamu loh Hafid,” ucapku. Aku berdiri dari tempat duduk. 

“Mau langsung pulang?” tanyanya terheran. Aku mengangguk. 

“Ya, ada urusan penting,” seruku dengan cepat. 

Tanpa menunggu waktu lama, aku segera pergi dari cafe itu. Aku tidak suka melihat wajah Hafid yang tersenyum saat menyebut nama Bea. Apa dia menyukai gadis aneh itu? Ya ampun!

Di dalam mobil, aku menghubungi Bea. Ah, dia tidak membaca pesanku. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera meneleponnya saja. 

“Assalamualaikum,” ucapku. 

“Waalaikumsalam, ada apa pak?” tanyanya ketus. Suaranya terdengar sangat dingin. Tidak seceriah kemarin. Apa karena aku tidak mengatakan dia cantik? Apa seperti itu dirinya? Haus akan pujian?

“Kamu ada urusan besok?”

“Aku mau ke panti, ada urusan yang diberika abi terkait proyek kemarin. Kamu sibuk? Aku nggak tahu wilayah pesantren. Lagi pula, setelah dari kampus, aku akan ke sana. Sekalian saja kamu ikut,” jelasku panjang lebar. 

Bea terdiam, dia tidak menjawab pesanku. 

“Insyallah besok saya temani pak Faizal,” jawabnya. 

“Oke, besok yah.”

“Assalamulaiakum.”

Setelah berbicara dengannya, aku memutuskan sambungan telepon. Aku segera menghubungi Abi lagi membahas pertemuan dengan Hafid dan juga beberapa proyek. 

“Assalamualaikum abi,” jawabku. 

“Walaikumsalam nak, bagaimana dengan Hafid? Apa dia masih mau terima proyek dari abi? Soalnya abi suka jika dia yang handel proyek desain ini,” jelas abi kemudian. 

“Katanya dia sedikit sibuk, tapi kalo abi yang minta langsung, aku yakin dia akan luluh. Oh yah abi, mengenai proyek yang kemarin. Nggak usah lah si Hafid yang datang ke panti. Aku juga bisa kok surveynya,” jelasku dengan cepat. Abi tertawa. 

“Faizal, mana mungkin? Apa kemarin kamu ambil kelas desain? Yang tahu masalah itu kan si Hafid,” jawab abi. Suara abi yang tertawa terdengar jelas. 

“Kemarin di Inggris, Faizal belajar kok abi, lagi pula di Fisika bukan hitung-hitungan saja. Kalo abi nggak percaya, nanti Faizal yang datang bersama Hafid, tapi Faizal harus datang. Nggak enak gitu kalo Hafid sendiri. Pasti dia merasa aneh aja.”

Aku berusaha menjelaskan banyak hal kepada abi. 

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

“Besok, kamu saja yang urus,” gumam abi. Aku tersenyum.

“Baik abi, assalamulaikum.”

Aku memutuskan sambungan telepon dan merasa bahagia. Ah sungguh, perasaan seperti apa ini?

***

Hai gusy, bagaimana bab ini? Koment dong biar aku tahu kalian suka atau tidak ^^

Bab terkait

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 10

    Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-25
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 11

    Pernikahan aku dan Alina semakin dekat, aku merasa ummi terlalu berlebihan kepadaku. Saat mengantar Alina ke rumah sakit, Ummi menghubungiku agar segera menghampirinya di rumah. Padahal sejujurnya aku ingin mencari Bea. Mengapa gadis itu di rumah sakit?“Faizal dimana?” sahut Ummi melalui sambungan telepon.“Lagi mau ke panti, Ummi. Katanya abi, Faizal harus survey lokasi. Ada teman abi yang datang untuk meninjau lahannya. Hafid nanti yang gambar desainnya. Tapi Faizal tetap bersamanya di sini,” jelasku kepada Ummi. “Faizal, apa nggak ke rumah dulu?”“Ada yang ummi mau ceritakan kepadamu,” ucapnya. Aku menghela napas panjang. Lokasi tempatku berada sudah sangat dekat dengan panti Al-Jannah. Kalo putar balik, akan sangat sulit. “Ummi, apa yang ummi mau ceritakan?” tanyaku. Ummi terdiam cukup lama. “Ummi?” ulangku. Aku memarkir mobil di pinggir jalan. Aku menunggu jawaban ummi saat ini. “Kamu serius mau menikah dengan Alina?” tanyanya lagi.“Ummi, kenapa sih Ummi tanya begitu terus?

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-01
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 12

    Sesampai di rumah, beberapa keluarga jauh sudah berkumpul. Mereka memandangiku dengan ekspresi terheran. Tentu saja karena aku telat pulang. “Baru selesai ngajar yah?” tanya Tazia. Dia menatapku. Tazia adalah putri dari bibi Zulaikha. Dia adalah keponakan ummi. “Iya, baru datang yah?” tanyaku kepada wanita itu. Tazia memiliki umur yang setara dengan Aisyah. Dia adalah lulusan fakultas arsitektur.“Hmm, mas Faizal benaran sudah mau nikah?”“Nggak seperti biasanya, dulu mas Faizal akademisi banget,” kekehnya. Aku masuk ke dalam rumah dan rupanya saudara ummi sudah berkumpul di ruang keluarga. Hanya Tazia yang keluar saat mendengarkan suara mobilku di garasi. Dia memang sangat suka mengodaku.“Hmm, manusia bisa berubah dengan cepat,” ucapku. Gadis itu mengekor di belakangku. Aisyah dan Tazia memiliki karakter yang sama. Mereka suka mengangguku. Tazia sudah aku anggap sebagai adik sendiri. Dia sangat baik dan penyanyang. Di ruang keluarga, bibi Zulaikha malah mengodaku. Dia mengatakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-01
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 13

    “Mencintai terlalu berlebihan kepada manusia malah bisa mematikan hati.”“Lima hari lagi?” Aku tidak bisa berpikir apapun saat abi mengatakan hal itu. Keluarga ku pun malah mendukung. Katanya tidak baik menunda. Apalagi Alina dan aku sudah cukup mengenal dengan baik. Aku menanyakan kepada ummi mengenai rencana ini. Apa sebegitu cepatnya? Aku belum siap sepenuhnya. Ummi mengatakan jika ini adalah permintaan bibi Ayna dan putrinya dan ummi setuju. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku mencintai ummi dan tentu saja, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini. Ummi akan kecewa dan ummi akan malu kepada bibi Ayna. Di dalam kamar, aku terus mengulangi kata lima hari lagi. Ya Allah, secepat ini? Pikirku. Mengetahui pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi, seluruh keluarga datang dan mereka bahagia. Seluruh perlengkapan gedung dipercepat. Undangan disebar dan abi bahkan mengambil cuti untuk terjun langsung mengurus pernikahanku. Aku libur dari kampus selama lima hari untuk mempersiapkan pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-02
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 14

    “Bagaimana bisa aku melukaimu? Jika pada hakikatnya, melukai dirimu sama saja dengan melukai diriku sendiri?”“Faizal, sudah siap?” Abi berada di sampingku. Aku menganggukan kepala. “Insyallah, Bi!” “Ijab sudah bisa dimulai?” ucap sang penghulu. Aku menganggukan kepala. Aku menatap Ummi yang tersenyum ke arahku. Aku memegang tangan sang penghulu. “Bismillah.”“Tunggu!” suara itu menghentikan pergerakan kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sedang berlari menuju ummi. Abi bingung.“Loh Aisyah, ada apa sih? Kok lari begini?” tegur Abi. Aisyah mengigit bibir bawahnya. Dia terlihat bingung seketika. “Itu Abi …,”“Ada apa sayang?” tanya ummi menghampiri Aisyah. Aku memandangi adikku itu. Ummi dan Aisyah berjalan menuju sebuah ruangan. Mereka sedang berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Terlihat sangat serius. Beberapa saat, abi berjalan menuju ummi. Wajahnya tampak gelisah seketika. Abi dan ummi berlari menuju ruangan Alina. “Permisi, apa bisa

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-02
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 15

    “Sekarang jadi istri pak Faizal,” ucapku mengodanya. Bea tersenyum namun masih saja sama, dia tidak berani memandangiku. Aku mengecup bibirnya dengan sangat lama. “Saya menyukaimu, saat pertama kali saya melihatmu.”“Apa kamu tidak sadar?” Bola mata kami bertemu. Serasa waktu berhenti. Entah mengapa, aku merasa nyaman memandanginya. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Aku tahu, dia tidak memiliki tempat untuk bersandar. “Pak.”“Jangan panggil Pak, panggil saya Mas. Umur kita kan nggak beda jauh, sayang. Hanya beda 7 tahun saja. Kamu tahu?” Aku meletakkan jemariku di bibirnya. Dia terus memandangiku. “Ini seperti mimpi,” ucapnya. Dengan pelan aku membuka hijab yang menutupi rambutnya. Dia memegang tanganku dengan cepat. Wajahnya terlihat ragu.“Aku suamimu.”“Kita sudah sah sekarang, Bea.” Rambut panjangnya yang terurai begitu saja. Wajahnya semakin cantik. Aku benar-benar takjub. Dia adalah mutiara yang tersembunyi selama ini.Aku mengecup

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-03
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 16

    Kabar mengenai Alina tidak terdengar lagi. Aku tidak tahu alasan Alina kabur di acara pernikahan kami. Apa dia merasa ragu bersamaku? Jika seperti itu, mengapa dia tidak bersikap jujur saja? Mengapa Alina malah memilih mempermalukan ibu dan ayahnya?Ummi tidak membahas mengenai Alina. Ummi malah fokus membantu Bea memasak di dapur. Ummi terlihat menyanyangi Bea. Seluruh peralatan dan keperluan Bea sudah dipindahkan ke rumahku. Saat aku bertanya kepada Bea mengenai masa depan, dia hanya mengatakan ingin menjadi seorang penulis. Aku cukup terkejut. Penulis? Dia menyukai dunia kepenulisan dan aku mendukungnya. Jika dia ingin sekolah lagi, tentu saja aku setuju. Tinggal satu semester dan dia bisa wisuda beberapa bulan lagi. “Kalo dilihat-lihat, Faizal malah sukanya sama Bea yah,” goda Ummi saat aku duduk di meja makan dan memandangi mereka memasak. Entah mengapa, Ummi sangat kompak dengan Bea. “Ummi bisa saja,” kekehku. Jika dilihat dari jauh, Ummi dan Bea tidak ada bedanya. Kedua ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-03
  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 17

    Kami membersihkan diri lalu sholat magrib dan ikut makan malam bersama abi dan ummi di ruang makan. “Serius nggak mau ke rumah sakit?” tanya Ummi yang sama-sama cemas. Bea menggeleng. “Tidak usah, Ummi. Bea baik-baik saja,” seru istriku dengan lembut. Aku mengengam tangan Bea. Ada rasa cemas yang amat besar di dalam diriku. Apa seperti ini rasanya mencemaskan belahan jiwa yang sangat kita sayangi?Sejak dulu, aku tidak berdekatan dengan wanita manapun. Oh, aku pernah dekat dengan Putri Khadiijah. Gadis yang merupakan teman satu organisasi. Dia adalah seorang desainer interior. Ayahnya adalah seorang arsitektur terkenal bernama Sham. Aku cukup mengenal Khadijah karena Hafid yang memperkenalkan gadis itu kepadaku. Tapi entah dimana Khadijah sekarang berada. Aku sama sekali tidak tahu dimana keberadaan wanita itu. “Mas?” Bea mengagetkanku. “Mas melamun yah?” tanyanya. Makanan yang berada di piringnya sudah habis. Abi dan Ummi menatapku dengan ekspresi bingung. “Nggak seperti biasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-04

Bab terbaru

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 39

    Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 38

    Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 37

    Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 36

    Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 35

    Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 34

    Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 33

    “Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 32

    Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber

  • Di Antara Dua Sujud   Chapter 31

    Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah

DMCA.com Protection Status