“Bapak mau menikah sama saya?”
Suara itu mengagetkanku saat aku baru saja turun dari mobil dan seorang gadis manis berdiri di ujung sana sambil memperlihatkan spanduk berbentuk love. Aku melangkah mendekatinya.
“Pak Faizal, diterima aja!”
“Pak Faizal terima!”
“Terima!”
“Terima!”
Sorakan itu membuatku melihat ke sisi kiri tempat parkiran. Para mahasiswa yang tidak ku kenali wajahnya sedang berkumpul mengelilingi mobilku. Wajah perempuan itu memerah, semerah tomat. Dia terus menunduk dan tidak berani menatapku. Ku pandangi wajahnya dengan tatapan tajam agar dia takut dan mengurungkan niatnya melakukan hal konyol seperti ini.
“Delima?”
Dia menongakan wajahnya dan menatapku. Ku akui, senyumannya sangat manis. Bahkan saat dia tersenyum, ada gigil gingsul yang terlihat jelas di sana.
“Iya, pak. Saya Bea Delina, bukan Delima,” serunya mengoreksiku.
“Apapun itu, Delina atau Delima.”
“Apa kamu tahu perbuatanmu saat ini?” Suaraku mulai meninggi.
“Iya pak, melamar bapak.” Wajahnya sangat polos memandangiku.
“Bapak mau jadi suami saya?” Dia mengulangi.
“Saya serius mau menikah sama bapak.”
Ya ampun, apa anak ini sedang berhalusinasi? Apa dia tidak diajarkan sopan santun? Bagaimana bisa dia begitu berani melakukan hal ini kepada dosennya sendiri?
“Bea.”
“Saya tidak tertarik dengan kamu.”
“Maaf sekali, kamu bukan tipikal saya.”
“Lagi pula, kamu sangat muda dan fokus lah belajar. Sudah dua kali kamu menghentikan aktivitas saya dengan perbuatanmu yang benar-benar absurd ini?”
“Kamu bukan selera saya.” Dia terus menunduk dan perlahan bola matanya berkabut. Oh Tuhan, apa dia serius ingin menjadi istriku? Aku sengaja mengatakan hal itu agar dia tidak mengulanginya lagi.
“Apa kamu sudah putus urat malunya? Mengapa melakukan ini? Semua temanmu melihatmu berdiri di sini!”
Air mata itu berhasil menetes di pipi. Tangannya mencengkram kertas yang dipegangnya. Dia berjalan mundur dan masih saja tidak berani memandangiku.
“Aduh pak Faizal.”
“Bea nangis tuh.”
“Pak Faizal mah jahat!”
Aku berbalik arah dan segera masuk ke loby fakultas, aku meninggalkannya. Anehnya, wanita itu masih saja berdiri di depan parkiran dan menunduk ke bawah. Aku terus memperhatikannya dari jauh. Seharusnya dia pergi saja dari pada mempermalukan dirinya di sana.
Anak muda zaman sekarang memang kurang sopan santun, bagaimana bisa dia seberani itu mengatakan ingin menjadikan aku suaminya dan disaksikan oleh puluhan mahasiswa?
Aku masuk ke dalam ruangan dengan perasaan kesal. Joko dan Abdullah segera menghampiriku.
“Gimana?”
“Ini udah ke lima kalinya ada yang mengatakan cinta.”
“Tapi gadis yang dibawah tuh, menurut aku dia benar-benar serius.”
“Dia masih aja berdiri di parkiran tuh. Kayaknya lagi nangis deh. Lo jahat banget. Setidaknya kalo nggak suka, nggak usah dimarahi di depan orang banyak,” Joko membuka suara.
Aku berjalan menuju jendela. Ruangan kami terletak di lantai tiga. Ku pandangi dari atas. Gadis itu masih saja di bawah sana dan menunduk. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya. Apa penolakanku terlalu berlebihan dan membuatnya begitu patah hati?
“Faizal,” panggil Abdullah.
“Biarkan saja dia. Gue nggak kenal dia kok.”
Aku berjalan menuju meja kerjaku. Aku berusaha melupakan semua keanehan yang terjadi pagi ini.
***
Saat mengajar materi Fisika Instrumentasi. Seorang gadis mungil duduk di samping jendela. Ini kali pertama aku melihatnya di kelasku.
“Delima?”
Wanita itu spontan berdiri. “Saya Bea pak.”
“Bagaimana bisa kamu masuk di kelas saya?” tanyaku. Bukannya dia mahasiswa di fakultas lain? Sampai saat ini, aku belum pernah melihatnya di jurusan fisika.
“Saya Fisika pak. Ngulang mata kuliah Intrumentasi satu semester,” jawabnya jujur. Ku pandangi Toni, ketua tingkat di semester ini. Toni seakan mengerti tatapanku yang penuh tanda tanya.
“Kak Bea, mahasiswa semester tujuh pak. Dia mengulang satu semester karena nilainya D.”
“Bukannya dia nggak di jurusan ini? Mengapa saya baru lihat?” Ku pandangi Toni dan Bea secara bergantian.
“Bapak yang tidak sadar. Kaka Bea baru masuk kampus setelah cuti dua semester pak,” jelas Toni.
“Bapak belum datang waktu itu,” sambung Toni lagi. Aku mengusap wajahnya dengan pelan. Ya ampun, wanita aneh. Apa dia sengaja mengikutiku hingga ke kelas?
Kelas berakhir dan wanita itu terus menatapku. Saat semua mahasiswa sudah keluar, hanya dia yang duduk di samping jendela dan memandang keluar.
“Maafkan saya.”
“Saya tidak bermaksud mempermalukan kamu.”
“Hanya saja, kamu tidak patut melakukan hal seperti itu tadi.” Perlahan dia memandangiku. Ada perasaan menyesal karena telah membentaknya tadi. Tapi apapun itu, perbuatannya menurutku sangat salah.
“Saya serius pak!”
“Tapi saya sudah punya calon istri, bagaimana?” balasku dengan cepat. Mimik wajahnya berubah. Dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari dalam kelas.
“Bea, jangan ulangi hal itu lagi.”
“Saya bisa benar-benar marah,” sahutku dengan cepat sebelum dia menghilang dari pandanganku.
Di ruangan dosen, ku cari nama Bea Delima dan rupanya dia mahasiswa lama yang baru aktif kuliah lagi setelah mengambil cuti satu semester.
“Anak ini cerdas sih.”
“Katanya ke Singapura selama 6 bulan ini.”
“Oh yah, ini yang di depan parkiran itu kan?” Joko memperhatikan nama Bea lekat-lekat. Aku mengangguk.
“Ya ampun. Mungkin pas masuk ke kampus, dia kaget ada dosen tampan seperti kamu, Faizal.”
“Ya nggak heran sih, kamu seperti pangeran di sini,” kekeh Joko. Aku menghel napas panjang.
Dring!
Ponsel berbunyi.
“Nak Faiza.” Suara Ummi sedikit menenangkanku.
“Ya Ummi?”
“Pulang jam berapa?
“Sebentar lagi Ummi, ada apa?”
Suara Abi terdengar jelas dari sambungan telepon. Sepertinya mereka sedang berbisik-bisik.
“Ini, Bi Ayna ada.”
“Alina juga ada.”
“Ummi mau memperkenalkan kamu sama Alina. Lagi datang ke Bandung dia. Nggk masalah kan Faizal?” tanya Ummi bersemangat. Aku sudah berjanji untuk menerima siapapun yang diperkenalkan ummi kali ini. Entah dia putri sahabatnya atau tentangga kampungnya bahkan jika dia mahasiswa Ummi di kampus, aku terima saja.
“Iya, Faizal sebentar lagi pulang.”
“Alhamdulillah,” ucap Ummi dan terdengar suara abi juga. Ku akhiri telepon dan bersiap kembali ke rumah. Joko dan Abdullah sudah lebih dahulu pulang.
Saat masuk ke dalam lift, gadis itu rupanya sedang menunggu lift yang sama.
“Bapak sudah mau pulang?”
“Bukan urusanmu.”
“Maaf, saya hanya bertanya."
Bibirnya berkerucut karena kesal tapi wajahnya benar-benar lucu. Aku berusaha menahan tawaku. Berpura-pura bersikap dingin di hadapannya. Sesampai di lantai dasar, aku melangkah ke parkiran mobil sedangkan dia duduk di sebuah taman di samping fakultas MIPA. Sesekali dia melihat ke bawah.
Apa dia menunggu seseorang?
Apa aku kasih tumpangan aja? Kasihan juga sih.
Nggak, nggak, ini bukan urusanmu, Faizal. Berhenti, nanti dia tambah besar kepala lagi.
Aku masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan keluar dari area fakultas. Dari kaca spion, ku pandangi dirinya lagi.
***
Matahari memasuki fase senja saat cahayanya berubah menjadi nuansa keemasan yang lembut. Langit dipenuhi oleh warna oranye, merah muda, dan ungu pucat yang memancarkan kehangatan dan keindahan. Awanan terlihat seperti lukisan lembut yang tersusun dengan sempurna, menciptakan latar belakang yang mempesona untuk momen romantis ini. Angin sore berhembus dengan lembut, membelai kulit dengan kelembutan yang menenangkan. Suara desiran angin memperindah suasana, membawa aroma bunga-bunga dan dedaunan yang segar. Mungkin terdengar juga suara daun-daun yang bergoyang dan dahan-dahan yang bergesekan, menciptakan melodi alami yang menenangkan hati. Aku suka senja dan sejak kecil, senja bisa menenangkan hatiku. Di sore ini, sepulang dari kampus sambil menikmati senja, aku malah memikirkan gadis kecil yang duduk termenung di bawah pohon besar di samping fakultas. Taman kecil itu digunakan mahasiswa untuk menunggu jemputan. Hari sudah sore dan mungkin saja dia menunggu seseorang. Ya ampun, apa y
Aku sama sekali tidak tenang. Entah mengapa, wanita itu menyita perhatianku. Aku segera menghubungi Reza, salah satu mahasiswaku yang ku yakini, dia pasti tahu masalah ini. “Ya pak?” Dia dengan cepat mengangkat telepon dariku. “Yang kena jambret siapa?” tanyaku dengan cepat. “Oh, si Bea pak, kemarin dia yang kena jambret. Luka di pelipis, sempat jatuh, kasihan banget.”“Dia tuh kasihan banget sih pak. Harus nunggu jemputan dari adiknya baru bisa pulang,” sambung Reza lagi. Aku menghela napas panjang. “Oke, saya ke sana.”Dengan cepat aku mengambil jacket lalu segera keluar dari dalam kamar. Ummi menatapku dengan bingung. “Faizal, mau kemana?”“Ini udah jam delapan loh, nggak seperti biasanya,” tanya ummi terheran. Aku memang sangat jarang keluar rumah. Aku tidak terlalu suka. “Besok, kamu dan Alina harus bertemu lagi. Mau bahas sesuatu.” Ummi tersenyum saat menyebut nama Alina. Dia menatapku seakan menunggu jawaban. Ummi sangat menyukai Alina. Bahkan dia sangat bersemangat untuk
“Gimana, udah lihat Alina kan?”“Cantik? Ummi lupa cerita, kalo wanita itu adalah seorang dokter. Lagi coas sih, sebentar lagi jadi dokter,” gumam ummi sambil memandangiku. Baru saja sampai dan makan malam bersama, Ummi segera bercerita tentang Alina.“Faizal ketemu tadi, Mi.”“Di rumah sakit.”Bola mata ummi melebar. “Gimana? Cantik kan? Aku yakin, kamu pasti suka sama dia. Dia wanita baik,” sahut ummi antusias. Aku tidak bersuara, bingung juga soalnya wanita itu sama sekali tidak aku kenali.“Ya, sudah, besok Faizal baru cerita lagi sama dia.” Aku beranjak dari meja makan saat semua sudah selesai. Ummi terlihat ragu.“Tapi kamu suka sama dia kan? Ummi nggak maksa loh kalo kamu nggak suka, Faizal,” sambung ummi dengan cepat. Aku menghela napas panjang dan berbalik menatap ummi.“Faizal suka kok ummi.”“Tenang saja.”Aku tersenyum memandangi bidadariku. Ummi tampak lega dengan jawabanku. Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan menuju kamar. Beberapa pesan masuk.[Pak Faizal, aku taku
Ummi sibuk menyiarkan berita mengenai acara lamaranku di grup keluarga. Semua keluarga sudah setuju dan memuji kehebatan Alina. Seorang dokter. Katanya, aku dan Alina adalah pasangan yang serasi. Kami memiliki kesamaan. Sama-sama berasal dari keluarga berpendidikan. Aku tidak tahu, mengapa mereka mematok hal itu. “Mas?” Alina menghubungiku. Aku sudah mengatakan kepadanya untuk tidak menghubungiku dulu selama acara ini belum selesai. Ya, untuk menjaga hatiku dengan hatinya. “Ya?” Ummi memaksaku untuk mengangkat teleponnya. “Mas Faizal, besok ada waktu?” tanyanya. “Kemana?” tanyaku. “Sebaiknya, jangan dulu deh kita pergi berduaan, nggak enak,” seruku dengan cepat. Wanita itu terdiam beberapa saat. “Abi dan ummi juga sudah setuju, kalo kita menjaga jarak dulu. Lamaran akan dilaksanakan dua hari lagi dan pernikahan kita sesuai kesepakatan akan dilaksanakan bulan depan. Tanggalnya belum jelas. Aku maunya, kita nggak intens dulu berhubungan, gimana?” Aku harap dia setuju. “Iya Mas,”
“Jadi, Bea tinggal di sini?” Pertanyaan itu selalu terbesit di pikiranku. Aku cukup terkejut mengetahui jika Bea adalah anak yatim piatu. Mengapa aku tidak pernah melihatnya di panti Jannah?Aku kembali ke rumah pukul empat sore. Setelah sholat Azhar, aku segera ke ruang kerja ummi. Di sana, dia memandangiku dengan sangat lama. Aku bingung harus memulai pembicaran dari mana. “Ummi kenal ibu Jubaidah?” Di depan pintu, aku menatap ummi yang sedang merajut. Dia mengerutkan kening saat aku menyebut nama ibu Jubaidah. “Kamu kenal dimana? Biasanya kalo dari panti, kamu yang paling cepat pulang,” kekehnya. Ummi meninggalkan bahan rajutannya. Dia berjalan mendekatiku. “Hmm … tadi ketemu … tadi lagi ngantar salah satu mahasiswa yang tinggal di sana,” ucapku sambil mengaruk kepala yang tidak gatal. Wajah ummi cukup terkejut. “Benarkah?” tanyanya. Aku menganggukan kepala. “Namanya Bea, ummi kenal?” “Nggak tahu tuh, ummi nggak kenal anak-anak di sana. Tapi kebetulan abimu mau ke sana, lag
Panti Asuhan Al-Jannah adalah panti asuhan yang didirikan oleh ibu Jubaidah. Salah satu sahabat abi waktu sekolah dulu. Maka dari itu lah, abi ingin membuat pesantren khusus. Abi sudah lama membahas hal ini. Abi selalu ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Pukul delapan pagi, Ummi sangat sibuk untuk menyiapkan beberapa makanan dan juga kue yang akan dibawah ke pesantren. “Nggak apa-apa toh sehari bersama Ummi di panti?” tanya Ummi, dia menatapku secara serius. “Nggak apa-apa Ummi, toh Faizal juga nggak ada kerjaan.”Ummi tersenyum. Aku membantu Mang Asep untuk membawah beberapa perlengkapan Ummi ke dalam mobil. Abi yang akan menyetir mobil kali ini. “Tumben banget Faizal tertarik yah Mi ke panti,” kekeh Abi mulai mengodaku. Aku sangat jarang mengikuti mereka. “Hmm, lagi bosan di rumah,” gumamku. “Serius?” Ummi memandangiku secara lekat. “Iya Ummi, lagi pula program abi ini sangat baik. Insyallah Faizal akan membantu.” Saat aku mengatakan hal itu, abi cukup terkejut.
Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina. Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah. “Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik. “Nggak tahu juga nih Sarah.”“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit. Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbar
Saat makan malam, Abi malah membahas soal proyek pesantren. Ummi kaget karena aku menawarkan diri kepada abi untuk mengurus pekerjaan ini. “Serius?”“Mana tanggal akad udah dekat, memang Faizal bisa?” tanya Ummi. Dia menatapku secara serius. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Insyallah bisa Ummi, Faizal bisa. Ummi nggak usah panik,” seruku.Abi dan ummi saling pandang. “Tumben banget. Padahal Hafid tadi hubungi abi, katanya dia menerima proyek ini. Lagi pula, kan abi perintahkan Hafid, agar kamu fokus sama pernikahan nanti,” jelas abi kemudian. “Nggak apa-apa abi, semua bisa Faizal atasi kok,” jawabku. Aku kembali ke kamar setelah makan malam selesai. Ku kirimkan pesan kepada Toni dan mengatakan jika besok, aku akan memberikan beberapa tugas. Aku tidak lupa bertanya mengenai Bea. Apa gadis itu masuk ke kelas besok atau tidak?Aku juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada Hafid. Aku mengatakan jika tidak masalah kalo aku yang mengurus proyek Abi. Aku memiliki waktu luang ya
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
“Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah