"Dari tadi kudengar, bicaranya bikin panas telinga saja." Mahika bicara pada Aksara, tapi pandangannya pada Shela.Meski tidak diberitahu, tapi dari percakapan mereka yang sejak tadi di dengarnya, Mahika bisa menangkap apa yang telah terjadi. Dia juga berada di dunia yang sama dengan mereka, jadi hal demikian tak asing lagi baginya."Mbak, biar aku selesaikan sendiri masalah ini. Ada Ubed bersama kita, Mbak." Aksara mengingatkan kakak iparnya. Tentu dia tidak ingin keponakannya yang masih kecil itu melihat sang ibu bergaduh dengan orang lain. Meski bersuami, Mahika terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk membela dan melindungi keluarganya.Kepala Aksara langsung berpikir secara instan dengan beberapa pertimbangan. Ada Ubed, ada Marisa yang tengah hamil dan perlu dijaga mentalnya. Jika tersiar di media, mama dan ibu mertuanya bakal tahu juga. Sungguh luar biasa damage-nya. Di rumah makan itu memang tak banyak lagi pengunjung karena hari memang telah melewati jam sarapan. Namun sa
Kamar berantakan, tas yang tadi ditenteng istrinya teronggok di lantai. Mungkin dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya. Bantal juga jatuh di lantai. Selimut pun acak-acakan. Mungkin Shela baru saja mengamuk. Tidak mungkin kamar belum dibereskan oleh ART. Shela berdiri di balkon kamar. Daniel menghampiri tapi tetap mengambil jarak. "Puas kamu mempermalukan aku, Mas?" Shela berkata sengit."Siapa yang mempermalukanmu? Bukankah kamu sendiri yang memancing keributan ini. Bisa-bisanya kamu memotong ucapanku dan membuat fitnah yang bisa menghancurkan ikatan pernikahan orang lain.""Karena aku membenci perempuan itu. Perempuan yang dengan bangganya kamu akui sebagai wanita yang membuatmu jatuh cinta lagi." Suara Shela meninggi.Daniel mendengkus kesal lantas tersenyum sinis. "Tampaknya kamu butuh psikiater, Shela. Siapa yang membuat kesalahan fatal siapa juga yang kamu salahkan sekarang? Kamu yang tidur dengan lelaki lain, sekarang kamu juga yang sewot dan nggak terima ketika aku memilih
Hawa dingin yang membuai, alunan lagu yang menenangkan, membuat Marisa terlelap dengan cepat.Aksara melihat jam tangannya, lima menit lagi tepat pukul satu siang. Untungnya mereka tadi sudah Salat Zhuhur di mushola bawah sana. Dipandangi wajah perempuan yang lima bulan ini telah mendampinginya. Sejak awal pernikahan, mereka berdua sudah dihadapkan pada persoalan yang menguras hati dan pikiran. Terlebih untuk mereka, pasangan yang baru saling mengenal dan butuh adaptasi.Masih terbayang peristiwa beberapa jam yang lalu. Daniel memang berusaha meyakinkannya. Namun ia bisa merasakan bagaimana lelaki itu berusaha menekan dalam-dalam perasaannya pada Marisa. Aksara salut, dia pria kaya yang tidak memaksakan kehendaknya sendiri. Hujan makin deras. Airnya terbias hingga di tempat mereka duduk. Aksara bangun dari duduknya, membawa bantal masuk dan menatanya di tempat tidur. Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengangkat tubuh Marisa untuk dipindahkan ke dalam. Baginya tidak kesulitan mena
Minggu malam ....Dua orang laki-laki duduk berhadapan di sebuah kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Kafe milik Tito, sahabat Daniel. Di atas meja bulat ada dua cangkir kopi hitam dan sepiring sandwich. Tadi Daniel telah sampai lebih dulu daripada Aksara. Sedangkan di balik meja kasir, Tito memperhatikan mereka berdua. Dia tahu tujuan dua lelaki itu bertemu."Hari Rabu nanti saya akan resmi bercerai dari Shela." Daniel bicara setelah menyesap kopinya.Aksara diam sambil memperhatikan. Tidak mungkin dia akan mengatakan 'semoga sukses' atau 'semangat, Pak Daniel', karena perpisahan tetaplah luka. Apalagi bagi anak-anak mereka. "Maafkan dia atas keributan kemarin pagi. Semenjak hubungan kami bermasalah, Shela memang sering bertindak semaunya sendiri. Nggak peduli orang lain terluka atau tidak. Tapi semua ucapannya jangan Mas Aksara masukkan ke hati yang bisa jadi beban dan salah paham terhadap Marisa. Jujur, saya pernah jatuh cinta dengan Marisa. Sebelum dia menjadi istri Anda. T
Tiga bulan kemudian ...."Risa."Marisa menoleh saat mendengar namanya dipanggil seseorang dari arah samping. Marisa kaget, Dimas dan istrinya telah berdiri tak jauh darinya.Lelaki itu tersenyum. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik." Marisa menyambut uluran tangan mereka. Namun Tika, istri Dimas diam saja. Menunjukkan wajah tak suka karena pertemuan tak sengaja itu. Bagaimanapun dia harus mengakui kalau sosok Marisa masih melekat dalam kenangan suaminya. Padahal dulu mereka pernah menjadi teman. Tika tahu hubungan Dimas dan Marisa. Pernah jalan bertiga dan mereka enjoy saja. Sekarang jelas sekali ada sekat yang menghalangi.Tika sebenarnya tidak merebut Dimas dari Marisa. Orang tua mereka yang menjodohkan setelah Dimas dan Marisa putus.Dimas terpaku sejenak pada perut besar Marisa. Kehamilan yang sangat didambakan oleh istrinya. Tapi hingga setahun lebih pernikahan, sang istri belum hamil lagi setelah keguguran sepuluh bulan yang lalu.Penampilan Marisa juga sudah berbeda. Wani
"Kalau kamu tahu, Mbak sudah melewati banyak hal, Ris. Segetir apapun itu. Makanya kalau sekedar nyinyiran tetangga yang nggak tahu apa-apa tentang kita, Mbak anggap angin lalu saja. Mereka percuma kalau mengusili hidup mbak. Karena nggak bakalan mempan." Mahika berkata sambil menerawang. Mengingat kepahitan yang pernah dikecapnya dulu. Pengalaman yang berbeda dari yang lain."Sayang, kamu mikirin apa?" tegur Aksara ketika melihat istrinya makan sambil melamun.Marisa tersenyum. "Aku ingat percakapanku dengan Mbak Mahika, Mas.""Percakapan tentang apa?""Tentang macam-macam. Tentang Mbak Sarah juga. Nggak nyangka kalau dia punya pengalaman pahit dalam pernikahan. Meski kami sering bertemu, tapi dia jarang menceritakan tentang kisah hidupnya.""Suaminya selingkuh, kemudian nikah siri diam-diam karena perempuan itu sudah terlanjur hamil. Makanya Mbak Sarah minta cerai dan nggak menikah lagi sampai sekarang. Dia fokus jagain anak dan bapaknya, sama menerima jahitan.""Tapi hidup mereka k
Aksara mencari sumber suara. Nira muncul di belakangnya bergandengan dengan Xavier. Mereka juga hanya berdua tanpa Xavira."Hai, Xavier, Nira." Aksara menyalami keduanya."Kenzi nggak kamu ajak, Mas?""Enggak. Dia di rumah sama Ubed.""Cie, yang mau honeymoon bikin dedek lagi," goda Nira dengan suara renyahnya. Aksara hanya menanggapi dengan senyuman."Vira nggak kamu ajak juga, Ra?" Marisa yang baru turun dari mobil menghampiri mereka."Enggaklah. Emak sama bapaknya mau honeymoon juga kaya kalian berdua ini," jawab Nira jenaka. Disambut senyum oleh Xavier. Nira memang suka ceplas ceplos seperti kakaknya.Aksara dan Xavier melangkah ke arah kantor, di mana para pegawai berkumpul di sana untuk briefing sejenak sebelum berangkat. Sedangkan Marisa dan Nira memilih duduk di bangku logam di bawah kanopi tempat parkir.Di halaman beberapa wanita juga duduk-duduk di tepi taman menunggu suaminya sambil memperhatikan anak-anak yang diajak serta. Anak-anak seusia TK berlarian riang gembira, mer
Kaliurang. Lagi-lagi mereka memilih destinasi di pegunungan yang berhawa sejuk untuk mengadakan acara bersama. Surabaya yang membara, membuat mereka menjatuhkan pilihan pada wisata puncak gunung.Siang itu mereka tidak merasakan kepanasan saat tiba di sana. Mereka juga langsung masuk ke vila masing-masing, karena pembagian tempat sudah diberitahukan sebelum berangkat.Beberapa vila yang berderet di lereng Merapi itu telah di booking jauh-jauh hari untuk acara famili gathering kali ini. Mendadak suasana di sana sangat ramai. Seperti sebuah perkampungan jadinya. Beberapa tenda kecil didirikan di halaman vila untuk tempat bermain anak-anak. Tidak lama setelah mereka sampai, datang dua mobil pickup yang membawakan makan siang untuk mereka. Selesai makan, sebagian langsung istrirahat dan sebagian lagi jalan-jalan menikmati keindahan lereng Merapi."Sayang, mas ingin bicara sesuatu," kata Aksara setelah mereka berada di kamar vila lantai dua. Vila paling pinggir yang ditempati oleh Aksar
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan