"Apa kita perlu bicara dengan Pak Daniel bertiga, bahkan berempat? Aku juga butuh penjelasan, kenapa dia mengatakan hal itu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di antara kami," tantang Marisa."Jika itu fitnah, kita memang perlu menyelesaikannya. Perempuan itu harus minta maaf padamu," jawab Aksara menahan geram."Akan kutelepon Pak Daniel sekarang. Besok sebelum ke rumah mama, kita bisa bertemu untuk menyelesaikan.""Besok saja. Ini sudah malam. Mas percaya sama kamu." Aksara menarik lengan istrinya. Kemudian memeluk wanitanya yang tengah hamil itu.Urusan hati jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, bisa berlarut-larut dan menghancurkan tatanan yang dibina. Sesuatu yang masih bisa dibahas dan dibicarakan secara baik-baik, terkadang jadi berantakan karena menuruti ego.Berapa banyak pernikahan yang berujung cerai karena mempertahankan ego masing-masing. Perbalahan yang berkepanjangan karena merasa paling benar dari pasangannya. Tidak ada yang mau mengalah dan lebih memilih untuk mem
"Dari tadi kudengar, bicaranya bikin panas telinga saja." Mahika bicara pada Aksara, tapi pandangannya pada Shela.Meski tidak diberitahu, tapi dari percakapan mereka yang sejak tadi di dengarnya, Mahika bisa menangkap apa yang telah terjadi. Dia juga berada di dunia yang sama dengan mereka, jadi hal demikian tak asing lagi baginya."Mbak, biar aku selesaikan sendiri masalah ini. Ada Ubed bersama kita, Mbak." Aksara mengingatkan kakak iparnya. Tentu dia tidak ingin keponakannya yang masih kecil itu melihat sang ibu bergaduh dengan orang lain. Meski bersuami, Mahika terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk membela dan melindungi keluarganya.Kepala Aksara langsung berpikir secara instan dengan beberapa pertimbangan. Ada Ubed, ada Marisa yang tengah hamil dan perlu dijaga mentalnya. Jika tersiar di media, mama dan ibu mertuanya bakal tahu juga. Sungguh luar biasa damage-nya. Di rumah makan itu memang tak banyak lagi pengunjung karena hari memang telah melewati jam sarapan. Namun sa
Kamar berantakan, tas yang tadi ditenteng istrinya teronggok di lantai. Mungkin dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya. Bantal juga jatuh di lantai. Selimut pun acak-acakan. Mungkin Shela baru saja mengamuk. Tidak mungkin kamar belum dibereskan oleh ART. Shela berdiri di balkon kamar. Daniel menghampiri tapi tetap mengambil jarak. "Puas kamu mempermalukan aku, Mas?" Shela berkata sengit."Siapa yang mempermalukanmu? Bukankah kamu sendiri yang memancing keributan ini. Bisa-bisanya kamu memotong ucapanku dan membuat fitnah yang bisa menghancurkan ikatan pernikahan orang lain.""Karena aku membenci perempuan itu. Perempuan yang dengan bangganya kamu akui sebagai wanita yang membuatmu jatuh cinta lagi." Suara Shela meninggi.Daniel mendengkus kesal lantas tersenyum sinis. "Tampaknya kamu butuh psikiater, Shela. Siapa yang membuat kesalahan fatal siapa juga yang kamu salahkan sekarang? Kamu yang tidur dengan lelaki lain, sekarang kamu juga yang sewot dan nggak terima ketika aku memilih
Hawa dingin yang membuai, alunan lagu yang menenangkan, membuat Marisa terlelap dengan cepat.Aksara melihat jam tangannya, lima menit lagi tepat pukul satu siang. Untungnya mereka tadi sudah Salat Zhuhur di mushola bawah sana. Dipandangi wajah perempuan yang lima bulan ini telah mendampinginya. Sejak awal pernikahan, mereka berdua sudah dihadapkan pada persoalan yang menguras hati dan pikiran. Terlebih untuk mereka, pasangan yang baru saling mengenal dan butuh adaptasi.Masih terbayang peristiwa beberapa jam yang lalu. Daniel memang berusaha meyakinkannya. Namun ia bisa merasakan bagaimana lelaki itu berusaha menekan dalam-dalam perasaannya pada Marisa. Aksara salut, dia pria kaya yang tidak memaksakan kehendaknya sendiri. Hujan makin deras. Airnya terbias hingga di tempat mereka duduk. Aksara bangun dari duduknya, membawa bantal masuk dan menatanya di tempat tidur. Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengangkat tubuh Marisa untuk dipindahkan ke dalam. Baginya tidak kesulitan mena
Minggu malam ....Dua orang laki-laki duduk berhadapan di sebuah kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Kafe milik Tito, sahabat Daniel. Di atas meja bulat ada dua cangkir kopi hitam dan sepiring sandwich. Tadi Daniel telah sampai lebih dulu daripada Aksara. Sedangkan di balik meja kasir, Tito memperhatikan mereka berdua. Dia tahu tujuan dua lelaki itu bertemu."Hari Rabu nanti saya akan resmi bercerai dari Shela." Daniel bicara setelah menyesap kopinya.Aksara diam sambil memperhatikan. Tidak mungkin dia akan mengatakan 'semoga sukses' atau 'semangat, Pak Daniel', karena perpisahan tetaplah luka. Apalagi bagi anak-anak mereka. "Maafkan dia atas keributan kemarin pagi. Semenjak hubungan kami bermasalah, Shela memang sering bertindak semaunya sendiri. Nggak peduli orang lain terluka atau tidak. Tapi semua ucapannya jangan Mas Aksara masukkan ke hati yang bisa jadi beban dan salah paham terhadap Marisa. Jujur, saya pernah jatuh cinta dengan Marisa. Sebelum dia menjadi istri Anda. T
Tiga bulan kemudian ...."Risa."Marisa menoleh saat mendengar namanya dipanggil seseorang dari arah samping. Marisa kaget, Dimas dan istrinya telah berdiri tak jauh darinya.Lelaki itu tersenyum. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik." Marisa menyambut uluran tangan mereka. Namun Tika, istri Dimas diam saja. Menunjukkan wajah tak suka karena pertemuan tak sengaja itu. Bagaimanapun dia harus mengakui kalau sosok Marisa masih melekat dalam kenangan suaminya. Padahal dulu mereka pernah menjadi teman. Tika tahu hubungan Dimas dan Marisa. Pernah jalan bertiga dan mereka enjoy saja. Sekarang jelas sekali ada sekat yang menghalangi.Tika sebenarnya tidak merebut Dimas dari Marisa. Orang tua mereka yang menjodohkan setelah Dimas dan Marisa putus.Dimas terpaku sejenak pada perut besar Marisa. Kehamilan yang sangat didambakan oleh istrinya. Tapi hingga setahun lebih pernikahan, sang istri belum hamil lagi setelah keguguran sepuluh bulan yang lalu.Penampilan Marisa juga sudah berbeda. Wani
"Kalau kamu tahu, Mbak sudah melewati banyak hal, Ris. Segetir apapun itu. Makanya kalau sekedar nyinyiran tetangga yang nggak tahu apa-apa tentang kita, Mbak anggap angin lalu saja. Mereka percuma kalau mengusili hidup mbak. Karena nggak bakalan mempan." Mahika berkata sambil menerawang. Mengingat kepahitan yang pernah dikecapnya dulu. Pengalaman yang berbeda dari yang lain."Sayang, kamu mikirin apa?" tegur Aksara ketika melihat istrinya makan sambil melamun.Marisa tersenyum. "Aku ingat percakapanku dengan Mbak Mahika, Mas.""Percakapan tentang apa?""Tentang macam-macam. Tentang Mbak Sarah juga. Nggak nyangka kalau dia punya pengalaman pahit dalam pernikahan. Meski kami sering bertemu, tapi dia jarang menceritakan tentang kisah hidupnya.""Suaminya selingkuh, kemudian nikah siri diam-diam karena perempuan itu sudah terlanjur hamil. Makanya Mbak Sarah minta cerai dan nggak menikah lagi sampai sekarang. Dia fokus jagain anak dan bapaknya, sama menerima jahitan.""Tapi hidup mereka k
Aksara mencari sumber suara. Nira muncul di belakangnya bergandengan dengan Xavier. Mereka juga hanya berdua tanpa Xavira."Hai, Xavier, Nira." Aksara menyalami keduanya."Kenzi nggak kamu ajak, Mas?""Enggak. Dia di rumah sama Ubed.""Cie, yang mau honeymoon bikin dedek lagi," goda Nira dengan suara renyahnya. Aksara hanya menanggapi dengan senyuman."Vira nggak kamu ajak juga, Ra?" Marisa yang baru turun dari mobil menghampiri mereka."Enggaklah. Emak sama bapaknya mau honeymoon juga kaya kalian berdua ini," jawab Nira jenaka. Disambut senyum oleh Xavier. Nira memang suka ceplas ceplos seperti kakaknya.Aksara dan Xavier melangkah ke arah kantor, di mana para pegawai berkumpul di sana untuk briefing sejenak sebelum berangkat. Sedangkan Marisa dan Nira memilih duduk di bangku logam di bawah kanopi tempat parkir.Di halaman beberapa wanita juga duduk-duduk di tepi taman menunggu suaminya sambil memperhatikan anak-anak yang diajak serta. Anak-anak seusia TK berlarian riang gembira, mer