"Kalau kamu tahu, Mbak sudah melewati banyak hal, Ris. Segetir apapun itu. Makanya kalau sekedar nyinyiran tetangga yang nggak tahu apa-apa tentang kita, Mbak anggap angin lalu saja. Mereka percuma kalau mengusili hidup mbak. Karena nggak bakalan mempan." Mahika berkata sambil menerawang. Mengingat kepahitan yang pernah dikecapnya dulu. Pengalaman yang berbeda dari yang lain."Sayang, kamu mikirin apa?" tegur Aksara ketika melihat istrinya makan sambil melamun.Marisa tersenyum. "Aku ingat percakapanku dengan Mbak Mahika, Mas.""Percakapan tentang apa?""Tentang macam-macam. Tentang Mbak Sarah juga. Nggak nyangka kalau dia punya pengalaman pahit dalam pernikahan. Meski kami sering bertemu, tapi dia jarang menceritakan tentang kisah hidupnya.""Suaminya selingkuh, kemudian nikah siri diam-diam karena perempuan itu sudah terlanjur hamil. Makanya Mbak Sarah minta cerai dan nggak menikah lagi sampai sekarang. Dia fokus jagain anak dan bapaknya, sama menerima jahitan.""Tapi hidup mereka k
Aksara mencari sumber suara. Nira muncul di belakangnya bergandengan dengan Xavier. Mereka juga hanya berdua tanpa Xavira."Hai, Xavier, Nira." Aksara menyalami keduanya."Kenzi nggak kamu ajak, Mas?""Enggak. Dia di rumah sama Ubed.""Cie, yang mau honeymoon bikin dedek lagi," goda Nira dengan suara renyahnya. Aksara hanya menanggapi dengan senyuman."Vira nggak kamu ajak juga, Ra?" Marisa yang baru turun dari mobil menghampiri mereka."Enggaklah. Emak sama bapaknya mau honeymoon juga kaya kalian berdua ini," jawab Nira jenaka. Disambut senyum oleh Xavier. Nira memang suka ceplas ceplos seperti kakaknya.Aksara dan Xavier melangkah ke arah kantor, di mana para pegawai berkumpul di sana untuk briefing sejenak sebelum berangkat. Sedangkan Marisa dan Nira memilih duduk di bangku logam di bawah kanopi tempat parkir.Di halaman beberapa wanita juga duduk-duduk di tepi taman menunggu suaminya sambil memperhatikan anak-anak yang diajak serta. Anak-anak seusia TK berlarian riang gembira, mer
Kaliurang. Lagi-lagi mereka memilih destinasi di pegunungan yang berhawa sejuk untuk mengadakan acara bersama. Surabaya yang membara, membuat mereka menjatuhkan pilihan pada wisata puncak gunung.Siang itu mereka tidak merasakan kepanasan saat tiba di sana. Mereka juga langsung masuk ke vila masing-masing, karena pembagian tempat sudah diberitahukan sebelum berangkat.Beberapa vila yang berderet di lereng Merapi itu telah di booking jauh-jauh hari untuk acara famili gathering kali ini. Mendadak suasana di sana sangat ramai. Seperti sebuah perkampungan jadinya. Beberapa tenda kecil didirikan di halaman vila untuk tempat bermain anak-anak. Tidak lama setelah mereka sampai, datang dua mobil pickup yang membawakan makan siang untuk mereka. Selesai makan, sebagian langsung istrirahat dan sebagian lagi jalan-jalan menikmati keindahan lereng Merapi."Sayang, mas ingin bicara sesuatu," kata Aksara setelah mereka berada di kamar vila lantai dua. Vila paling pinggir yang ditempati oleh Aksar
Delia? Marisa heran kenapa wanita itu menyebut nama Delia. Apa dia kenal Delia kakaknya Nira? Atau ini Delia yang lain. Marisa menoleh pada Nira yang asyik melihat tanaman bunga mawar yang bermekaran di tepi jalan. Reaksi Nira biasa saja. Kalau saling kenal pasti mereka ngobrol, kan? Ini tidak. Bisa jadi bukan Delia kakaknya Nira yang dimaksud oleh Wina.Sikap Nira juga tidak menunjukkan kalau ia akrab dengan Wina. Padahal suami mereka berada di kantor yang sama."Nama saya Marisa. Bukan Delia, Mbak.""Oh, maaf." Wina jadi serba salah. Wajahnya mendadak pias karena rasa tak enak hati. Sejak tadi ia mengira kalau Marisa itu Delia. Wanita yang dicintai Aksara dan membuatnya penasaran selama ini. Ternyata pria itu menikah dengan gadis lain setelah berpisah dengannya."Delia yang Mbak maksud siapa, ya? Apa kakaknya Mbak itu?" Marisa menunjuk ke arah Nira yang pada saat bersamaan menoleh ke arah mereka.Wina menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya nggak kenal. Maaf, ya. Saya hanya salah sebut ta
"Risa, apa kamu merasakan keanehan selama mas bertemu kembali dan terlibat kerja dengan Delia? Apa mas berubah? Nggak 'kan?""Karena Mas sangat pandai menyembunyikan perasaan. Pernikahan tidak hanya melulu soal cinta, tapi tanggungjawab dan komitmen. Dan itu yang mas lakukan dalam pernikahan kita.""Subhanallah, Sayang. Tolonglah jangan uji mas dengan rasa ketidakpercayaanmu. Kalau mas nggak mencintaimu, mas nggak akan menikah denganmu. Seandainya hanya tentang tanggungjawab saja, mas bisa menikahi perempuan lain meski tanpa cinta." Aksara tidak mengalihkan pandangan dari wajah Marisa. Menelusuri jejak kekecewaan yang tergambar jelas di sana. Tubuhnya merapat dan memaksa untuk memeluk sang istri. "Percayalah kalau mas hanya mencintaimu sekarang dan selamanya sampai batas usia kita."Hening. Marisa merasakan degup jantung Aksara yang tidak beraturan. Merasakan dekapan hangat tubuh tegap yang memeluknya erat. "Apa selama ini kamu tahu, Ris? Apa yang mas rasakan nyaris setiap hari sel
"Bun, aku ngantuk," rengek bocah perempuan berjilbab warna maroon sambil bersandar di tubuh sang ibu."Sebentar ya, kita tunggu Pak Dokter meriksa Mbah Kakung." Si ibu menenangkan putrinya dengan sabar dan suara yang lembut. Mengajak gadis kecil itu bercerita dan menyuruh tidur di pangkuannya.Apa yang dilakukan wanita itu tak luput dari perhatian Daniel. Kasihan ia melihat gadis kecil itu. Kenapa harus diajak ke rumah sakit. Apa tidak ada yang menemani di rumah? Bapaknya ke mana, kan yang sakit kakeknya. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki memakai baju batik lengan panjang menghampiri wanita itu. "Gimana, Mbak Sarah?""Dokter belum keluar, Pak. Pak RT tinggal pulang saja nggak apa-apa. Bapak saya mesti harus opname.""Mbak Sarah, sendirian?""Nggak apa-apa, Pak RT. Terima kasih banyak udah bantu saya. Tadi saya sudah telepon sepupu, dia akan ke sini nanti."Lelaki berkopiah hitam itu mengangguk-angguk. Sebenarnya kasihan kalau harus meninggalkan Sarah dan anaknya. Tapi ia p
Ketika tengah diam bersandar pada tiang koridor, ia mendengar suara jerit tangis dari sebuah ruangan. Dua kamar dari tempat Pak Sigit di rawat. Tak lama kemudian seorang dokter di dampingi dua perawat berjalan tergesa menuju kamar itu. Kata-kata menenangkan terdengar disela tangis yang terdengar makin keras.Pintu kamar Pak Sigit terkuak. Sarah melongok keluar dan bersitatap dengan Daniel. "Apa ada pasien meninggal, Mas?" tanya Sarah lirih. "Sepertinya begitu, Mbak," jawab Daniel sambil memandang ke arah sumber suara."Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Sarah pelan. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.Setelah mengangguk sejenak pada Daniel, Sarah kembali menutup pintu kamar.Daniel menunduk dalam hening. Kematian itu ada dan menjadi hal yang wajar. Menjadi batas titik akhir hidup manusia. Karena hidup pasti berujung. Entah kapan datangnya, tapi itu pasti. Alam semesta mempunyai siklus. Hidup seperti roda yang berputar, terkadang di bawah, kadang ber
Bocah perempuan itu kembali bermain menyusun puzzle-nya. Kalau ditanya tentang ayahnya, Fatimah akan bilang tidak tahu atau hanya diam seperti itu. Sebenarnya dia sedih, kenapa tidak memiliki ayah seperti teman-temannya yang lain. Namun jika bertanya pada sang bunda, jawabannya tetap sama. "Ayah nggak tinggal sama kita lagi, Fatim. Rumah ayah jauh banget dari sini."Daniel merasa kehidupan gadis kecil itu tidak berbeda jauh dari anak-anaknya. Korban broken home. "Namamu siapa?" tanya Daniel dengan nada lembut. Khawatir kalau bocah itu akan pergi karena takut. Ia masih ingat kata-kata ibunya anak itu tadi malam."Fatimah, Om," jawab gadis kecil itu seraya memandang Daniel. Sorot mata yang penuh kerinduan akan sosok seorang ayah."Hmm, nama yang bagus. Ini dimakan biskuitnya!" Daniel kembali menyodorkan satu bungkus ukuran sedang biskuit aneka rasa.Fatimah kembali menggeleng.Pintu ruang perawatan Pak Sigit terkuak. Sarah muncul dari dalam dan kaget melihat Daniel berada di bangku dep
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan