Di dalam ruangan dengan ranjang tinggi itu, Xi Feng tidur dalam keadaan buruk. Tubuhnya berkeringat, tangannya mengepal dan gemetar. Deru napasnya sangat cepat. Seakan mengalami mimpi buruk, dia tersentak kencang, beringsut duduk dengan napas tersengal, ranjang tingginya bergoyang, menimbulkan suara berderit yang membuat telinga ngilu. Begitu mendengar deritan itu, Ying Deng dan Shangguan Yan langsung pergi ke ruangannya. Xi Feng duduk di atas ranjang dengan keringat mengucur deras. Shangguan Yan menatap wajahnya dengan panik, lalu bertanya, “Kau baik-baik saja, Xi Feng?” Ying Deng melipat lengan di depan dada, tampak santai saja, “Dia baik-baik saja, mungkin ingatannya datang menyerupai mimpi. Dia terkejut, jadi terbangun dalam keadaan seperti itu.”Mendengar kabar itu, Shangguan Yan tersenyum senang, menatap Xi Feng dengan berbinar, “Lalu, apa saja yang sudah kau ingat, Xi Feng?” Xi Feng terdiam mematung, dia masih mencerna serpihan-serpihan ingatan yang muncul secara mendadak
Shangguan Yan berdiri dengan putus asa di tengah gelapnya malam. Salju turun beberapa saat setelah matahari tenggelam. Shangguan Yan melangkah gontai berusaha keluar dari hutan gelap itu. Namun keadaan itu membuatnya kesulitan melihat medan di sekitarnya. Dia tidak tahu ada apa di hadapannya, dan seperti apa kondisi jalan yang akan dilaluinya. Belum lagi, angin kencang dan guguran salju mulai membuat seluruh pandangan dipenuhi kabut putih yang dinginnya menusuk tulang. Shangguan Yan mulai kehilangan staminanya setelah berjalan beberapa saat. Dia berlindung di dalam ceruk yang ada di hutan. Dia terbatuk pelan, cuaca tiba-tiba berubah menjadi sangat buruk di hutan itu. Shangguan Yan hanya bisa meringkuk di dalam ceruk itu hingga badai salju mereda. Namun hingga beberapa jam ke depan, salju tidak mereda. Shangguan Yan mulai mengkhawatirkan Xi Feng yang sendirian di luar sana. “Aku tidak bisa mencari Xi Feng jika keadaannya terus seperti ini.” Shangguan Yan menghela napas pasrah. T
Shangguan Yan membuka matanya, sedikit menyipit beradaptasi dengan cahaya yang masuk melalui celah ceruk itu. Dia membulatkan mata terkejut, ternyata jalan menurun yang dituruninya semalam bukanlah jurang. Melainkan sebuah padang rumput luas, yang kini semuanya tertutup oleh salju. Di Hutan Nanzhou, tempat seperti ini hanya ada satu, berada di sisi barat kota. Dia bisa menyusuri tepian padang rumput ini untuk tiba di gerbang barat dan masuk kembali ke kota. Dia berjalan terseok-seok meninggalkan ceruk itu. Berjalan lurus menuju barat. Lukanya terasa nyeri, lengan kanannya tak bisa diangkat lagi, dia berjalan dengan pedangnya sebagai tongkat untuk membantu menyeimbangkan tubuhnya. “Aku harus meninggalkan hutan ini sebelum kehabisan napas. Sialan …, aku tidak mau mati di tempat seperti ini.” Shangguan Yan mendengus, napasnya tersengal, uap dingin muncul setiap kali dia membuang napasnya. Matahari semakin meninggi, Shangguan Yan berhasil meninggalkan hutan itu setelah berja
Shangguan Zhi terdiam mematung melihat Liu Xingsheng ada di dalam toko obatnya. Pria Itu bahkan sudah bersiap-siap melakukan perjalanan jauh. Napasnya tersengal dan dia berkeringat di tengah cuaca sedingin ini. Shangguan Zhi langsung menyimpulkan, pria ini berlari ke toko obatnya begitu mendapat informasi tentang Shangguan Yan. Shangguan Zhi menatapnya, tersenyum tipis, “Apa kau tidak berniat membunuhnya?” Liu Xingsheng terkejut mendengar pertanyaan semacam itu, dia menerobos masuk di bawah tatapan pelayan Shangguan Zhi yang sejak tadi diam mengamati. Shangguan Zhi melipat lengan di depan dada. “Kau punya banyak motif untuk menghabisinya, dan ini adalah kesempatan yang bagus bagimu, kan?” Liu Xingsheng menyambar lengan Shangguan Zhi dan menariknya hingga telapak tangan Shangguan Zhi menempel di dadanya. Liu Xingsheng menatap Shangguan Zhi dengan tatapan tajam. Seolah tatapan itu sudah mengunci seluruh pergerakannya, Shangguan Zhi bergeming dengan ekspresi datar. “Rasakanlah, Sh
Xie Yinlan memandangi matahari terbenam di atas bukit yang tinggi ini. Dia termenung, memikirkan banyak hal.Saat sore hari, halaman luas di belakang Kuil Leluhur Kekaisaran sangat indah. Tumpukan salju tak terlalu banyak, ada ruang yang luas sebelum jurang landai di depan sana. Xie Yinlan sering menghabiskan waktu di tempat ini saat sore hari, menatap matahari terbenam, sesekali menghitung waktu hingga hari di mana dia bertemu Jing Xuan lagi. Napasnya berhembus pelan, “Aku sungguh berharap dia tidak berubah hingga saat itu tiba,” gumamnya. A-Yao mendelik, menatap penuh tanya pada Yinlan yang melamun di sampingnya. Matanya tampak menatap sejauh mata memandang. A-Yao merasa iba padanya. A-Yao tersenyum, berusaha menghiburnya, “Selir …, bukankah besok adalah waktu pengobatan berikutnya?” Yinlan menatap ke arahnya, “Eh?” “Kau bisa bertemu Yang Mulia Kaisar, bukan? Besok adalah waktunya.” A-Yao tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Yinlan tersenyum simpul, “Dia tidak mungkin men
Malam itu, mereka habiskan untuk melihat bintang di belakang kuil. Yinlan bersandar di bahu Jing Xuan dengan nyaman. Jing Xuan menyelimutinya dengan jubah yang ia pakai. “Yang Mulia, kita harus segera pulang.” Mao Lian datang untuk mengingatkannya. Jing Xuan menyuruh Mao Lian diam dengan meletakkan telunjuknya di depan bibir. Dia melirik Xie Yinlan yang memejamkan mata dengan tenang. Mao Lian membungkuk kemudian meninggalkan keduanya. Dia memasuki dapur, membantu A-Yao membersihkan sisa-sisa makan malam tadi. “Tuan Mao, bukankah kalian sudah harus kembali ke Istana?” A-Yao menatapnya yang bergabung ke dapur. Mao Lian menghembuskan napas, “Yang Mulia belum mau meninggalkan Selir.” A-Yao tersenyum, “Aku tidak menyangka hubungan mereka akan berkembang sejauh ini.” “Betul, kan? Aku juga merasa seperti itu.” ***“Yang Mulia …,” Yinlan memanggilnya. “Hm.” Jing Xuan bergumam. “Apakah …, kau menyukainya?” tanya Yinlan, sedikit ragu. Jing Xuan menunduk, menatapnya yang masih bersand
Mao Lian memasuki ruang baca, langkahnya terhenti di depan Jing Xuan yang masih sibuk mengurusi pekerjaan. Dia menautkan kedua tangannya, memberi salam. “Apa yang kau temukan?” tanya Jing Xuan. Dia meletakkan kuasnya, menutup dokumen yang terakhir. Kemudian berdiri, menuju meja lain dan menyuruh Mao Lian duduk di sana. Mao Lian mendekati meja itu, menuangkan teh yang sudah tersedia. Kemudian, dia menghela napas perlahan, “Menurutku, Selir Rong itu hanya sedang mengkhawatirkanmu saja, Yang Mulia.” Jing Xuan menatap tak mengerti, “Apa yang kau maksud itu?” Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, Mao Lian menunjukkan raut wajah menyebalkannya, “Habisnya, penjaga kuil selalu melihatnya keluar dari kamar malam-malam, dia banyak menghabiskan waktu tidurnya untuk merenung di belakang kuil sambil memandangi bintang-bintang. Dia sangat tidak takut kedinginan, Yang Mulia. Oleh karena itu, kupikir dia melakukannya karena merindukanmu yang tak bisa ditemuinya terlalu sering.” Jing Xuan menden
Istana Mingyue tampak lebih senyap dari biasanya. Xie Qingyan duduk di paviliun kecil di tengah taman bunga yang luas. Satu set alat lukis berada di depannya. Tangannya yang lembut memegang kuas. Seorang pelayan suka rela menggilingkan tinta. Salju berguguran, angin bertiup lembut memainkan anak rambutnya. Xie Qingyan menjalani kehidupan yang sangat tenang sejak Xie Yinlan tidak ada di Paviliun Hua Rong. Ning'er memasuki paviliun itu, dia membungkuk takzim, memberi salam. “Yang Mulia, mereka mengatakan Xi Feng sudah dalam perjalanan kembali ke Ibu Kota.” Ning'er melaporkan.Dengan tenang, Xie Qingyan meletakkan kuasnya di tempat kuas, dia menerima uluran sapu tangan dari salah satu pelayan wanita yang menemaninya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, dia menyeka tangannya dengan sapu tangan itu. “Kirim dua orang untuk menunggunya di Bingzhou. Saat dia melewati Bingzhou, suruh dua orang itu menahannya selama beberapa hari, selagi kau merencang rencana untuk membawanya masuk ke Ib
Istana Guangping menjadi sangat ramai lima tahun ke depan. Dua orang anak yang terlihat sangat mirip setiap hari berlarian di halamannya, saling mengejar, saling mencoba menjatuhkan. Satu anak adalah perempuan, dia memegang pedang kayu dan terus mengarahkannya pada si anak laki-laki sambil berkata, “Berhenti, penjahat!” Semenatra yang laki-laki tertawa riang, terus berkata bahwa si anak perempuan tidak akan bisa menangkapnya. Di dalam istana, Yinlan sedang sibuk menatap sejumlah tusuk rambut di atas meja. Bingung memilih mau pakai yang mana. “Bagaimana dengan ini?” Jing Xuan menunjukkan tusuk konde yang berwarna perak dengan batu giok putih yang indah. Yinlan menggeleng, “Aku rasa aku sudah memakai itu kemarin lusa.” “Tidak apa, pakai lagi saja.” Jing Xuan menguap, sudah satu jam dia berdiri di depan meja rias Yinlan, dan gadis itu masih belum menentukan akan memakai apa. “Aku pakai ini saja lah.” Yinlan mengambil tusuk rambut bunga rong yang pernah Jing Xuan berikan padanya du
A-Yao tampak kerepotan, menerima sejumlah hadiah dari tamu-tamu luar Ibukota yang menghadiri pernikahan terbesar di seluruh Kekaisaran Jing ini. “A-Yao, sampaikan ucapan selamatku pada Permaisuri, ya?” terlihat Nona Kelima Jiang tersenyum ramah sambil menyerahkan sebuah kotak kayu besar. A-Yao mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah datang.” Mao Lian berdiri di dekat pintu sambil menatapnya dengan tatapan remeh, “Kau tampak sibuk, A-Yao.” A-Yao mendengus sambil menatap tajam ke arahnya, “Dari pada diam menjadi pagar seperti itu, lebih baik kau membantuku.” Mao Lian terkekeh lalu menghampirinya. Sebelum mulai membantu, dia mendekatkan mulutnya ke telinga A-Yao dan berbisik, “Baru saja Yang Mulia memberkati pernikahan untukku, A-Yao. Apakah kau terkejut?” A-Yao terdiam kaku, matanya membulat sempurna, berkedip beberapa kali. “Be-benarkah? Bagaimana mungkin,” A-Yao menyeringai tipis, mencoba mengendalikan perasaannya yang tidak karuan. Dia membatin, ‘Diberkati pernikahan?
Yinlan merebahkan tubuhnya di ranjang, Jing Xuan menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangannya bergerak mengusap pelan helai rambut panjangnya. Aroma wangi ini, Jing Xuan sangat merindukannya. Sejak baru tiba sore lalu, Yinlan sama sekali tak mau melepaskannya. Dia selalu tersenyum dan berkata harus selalu bersama untuk menebus hari-hari saat berpisah. “A-Yin, berapa bulan lagi sampai hari kelahirannya?” tanya Jing Xuan, memecah keheningan. “Hm …,” Yinlan berpikir sejenak, “Ini sudah lama memasuki bulan ke-tujuh. Sebentar lagi bulan ke-delapan.” “Sebentar lagi, ya ….” Jing Xuan menghela napas, “Tapi dua bulan lagi sangat lama.”“Jika melewatinya bersama-sama, harusnya tidak terlalu lama.” Yinlan tersenyum lebar sampai matanya menyipit. “A-Yin, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikahimu di ujung musim dingin.” Jing Xuan menunduk merasa bersalah. Yinlan menepuk punggung tangannya, “Kita menikah di awal musim semi saja. Bukankah itu bagus?” “Apakah menurutmu begitu?” Yinlan
Dua minggu kemudian. Kabar mengenai kepulangan Jing Xuan telah tiba di Istana. Semua orang menyambutnya di depan gerbang istana, termasuk Yinlan dan Ibu Suri. Kabar peperangan dengan Negara Shang yang mendadak itu juga telah sampai di Ibukota sejak dua minggu lalu. Para warga merasa bersyukur saat tahu sang Kaisar berada di sana untuk meredakan kekacauan. Kini, mereka sudah berkumpul di tepian jalan untuk menyambut Kaisar mereka. Melempar bunga dengan wajah tersenyum lebar, sambil memanjatkan do’a dan pujian untuk pahlawan nomor satu itu. Jing Xuan hanya menaiki seekor kuda hitam, tidak ada tandu atau kereta kuda yang mewah yang menemaninya. Di belakangnya hanya ada dua orang tabib, dan sepuluh orang prajurit yang mengantar kepergiannya. Itu sungguh hanya kepulangan sederhana yang tidak disiapkan secara khusus. Namun semua orang justru merasa senang untuknya dan mengucapkan beribu-ribu kata syukur. Jing Xuan juga secara khusus turun dari kudanya dan menggendong anak-anak usia tig
Kamp Militer Perbatasan Utara. Jing Xuan duduk tegak di kursi, wajahnya sangat serius. Dia sedang membaca sebuah buku. Buku medis kuno yang Shangguan Yan bawa dari ruang bawah tanah beracun milik Ye Qing di Tingzhou. Dalam buku itu, tertulis bahwa Teratai Hitam bukanlah racun. Melainkan sejenis obat mujarab yang bisa membentuk ketangguhan fisik luar biasa, obat yang bisa menetralisir semua jenis racun yang tumbuh di dunia ini. Obat itu memberikan efek samping yang cukup kejam bagi pemakainya. Semua gejala menyakitkan yang Yinlan alami setiap bulan itu adalah efek sampingnya. Dan selamanya tidak bisa dihilangkan. Dalam setiap bulan, akan selalu ada hari di mana tubuh itu sendiri tiba di titik terlemahnya. Jing Xuan menggeram, “Kenapa aku tidak mengalami siklus bulanan ini juga? Padahal aku jelas-jelas meminumnya, kan?” Xi Feng menghela napas, “Yang Mulia, Teratai Hitam yang kau minum itu hanya semangkuk penawar racun saja, bukan lagi jenis obat yang sama. Permaisuri meminum selur
Satu minggu kemudian, Selir Agung Qin ditemukan di Prefektur Barat Ibukota. Jubah kekaisarannya entah hilang ke mana, semua perhiasan emas yang melekat di tubuhnya juga telah raib. Pangeran Ming menggunakan kereta kuda untuk membawanya kembali ke Istana. Sepanjang perjalanan, Selir Agung tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski Pangeran Ming berada tepat di depannya. Pangeran Ming tidak berharap wanita itu akan bertanya tentang kenapa dia ditangkap, atau mau membawanya ke mana. Dia berpikir wanita ini akan menanyakan keadaan putranya. Namun keduanya sama sekali tidak terdengar keluar dari mulutnya. Pangeran Ming menghela napas, dia mengeluarkan sapu tangan dengan bordir lambang Keluarga Jing miliknya. Lalu dia meletakkannya di atas paha Selir Agung dan berkata, “Sekalah kotoran di wajahmu. Haoyu tidak akan suka melihatnya.” Selir Agung tersenyum tipis, “Aku bahkan tidak pantas mengambil barang milik Keluarga Jing kalian.”“Memang benar …, lagi pula, untuk apa kau memedulikan pen
Yu adalah marga sebenarnya Selir Agung Qin. Pangeran Ming menatap punggungnya, “Ibumu bahkan tidak memedulikan nasibmu, Haoyu.” Ruangan penjara itu semakin senyap, Pangeran Chi mengangkat kepala, lantas terkekeh pelan, “Kau tidak berhak menilai hubungan ibu dan anak di antara kami, Jing Tian.”“Satu hari setelah tindakan bodohmu, aku terus mencari keberadaan Selir Agung Qin di mana pun. Dia melarikan diri, bersembunyi di suatu tempat menunggu kesempatan pergi dari Ibukota yang sudah seperti neraka baginya ini. Tanpa memedulikan putranya.” Pangeran Ming diam sejenak. Dia menunggu Pangeran Chi berbalik dan menatapnya sebelum dia melanjutkan perkataan yang kian lama semakin menyakitkan itu. Namun Pangeran Chi tidak sebaik hati itu untuk mendengarkan penjelasannya. Dia tampak tidak begitu peduli dengan apa yang ibunya lakukan padanya. “Jing Haoyu.” Pangeran Ming menggeram dengan tangan mengepal. “Apa? Kau mau berkata bahwa aku ditelantarkan? Hah, kau juga tidak berhak.” Pangeran Mi
Pangeran Ming menutup rapat pintu Istana Guangping, sebelum meninggalkan tempat itu, dia menghela napas pelan. “Yang Mulia, Biro Pusat Keamanan dan Kementerian Hukum sudah menunggu.” pengawalnya melaporkan. “Ada berapa orang yang terlibat dalam pemberontakan itu?” tanya Pangeran Ming, langkahnya dengan cepat meninggalkan Istana Guangping. “Kementerian Ritus dan Adipati Wei terlibat. Mereka bersekongkol mengadakan pernikahan palsu agar Tuan Muda Wei tidak dicurigai. Dia yang membantu Pangeran Chi menculik Tuan Muda Ouyang dari Suzhou untuk dicuri identitasnya.” “Nona Kelima Jiang mengalami depresi karena pernikahannya ternyata tidak sungguh-sungguh. Selir Agung Qin melarikan diri. Sementara waktu, dia mungkin masih berada di Ibukota karena semua gerbang telah ditutup sejak hari pemberontakan.” Pangeran Ming mengangguk-angguk, menerima semua laporan itu dengan cepat. “Jangan pernah membuka gerbang itu sebelum Selir Agung ditemukan. Berikan kompensasi atas kerugian yang dialami Nona
BRUK! Jing Xuan meringis, tersungkur beberapa meter dari lokasi pertarungan. Pedangnya terlepas dari genggaman, berkelontang. Dia kembali berdiri dengan tubuh bergetar. Tangannya bergerak menyeka ujung bibir yang masih menyisakan jejak darah. Sudah lama dia tidak mengeluarkan banyak kekuatan. Tubuhnya terkejut menerima hantaman demi hantaman, terlebih, Ye Qing lebih berpengalaman, jelas lebih kuat berkali-kali lipat darinya. Jing Xuan memungut pedangnya. Memasang kuda-kuda kokoh, dia harus bisa segera mengakhirinya. Seseorang masih menunggunya dengan cemas. Shangguan Yan berteriak kencang, tubuhnya melesat cepat, melompat ke udara dengan Pedang Baijiu yang sudah berlumuran darah meski belum membunuh satu orang pun. Ye Qing mendengus, “Bocah merepotkan. Pergi kau ke neraka!” Shangguan Yan menyeringai, Liu Xingsheng melemparkan tombak Jing Xuan yang sebelumnya dibuang oleh Ye Qing. Dengan langkah halus, Shangguan Yan menjejakkan kakinya pada tombak yang masih melesat itu. Tangan