“Tabib Xi, kau sudah bangun?” Ning'er tersenyum dengan mata menyipit. Xi Feng membuka matanya yang masih terasa berat. Kepalanya berdenyut dan terasa menyakitkan, tangannya memijit pelan tengkuknya yang terasa sakit. “Apa yang terjadi padaku?” Xi Feng bertanya, sedikit meringis. Saat ini dia berada di suatu ruangan di suatu tempat yang sangat dia kenal, namun yang membuatnya keheranan, kenapa ada Ning'er di sini bersamanya?“Aku melihatmu pingsan di depan istana, Tabib Xi. Jadi aku bergegas membawamu pulang ke rumahmu. Kupikir telah terjadi sesuatu padamu.” Ning'er menjawab khawatir. “Ning'er, bagaimana kau bisa menemukanku?” Xi Feng bertanya lagi, kali ini dia menatap Ning'er dengan secercah harapan di balik sorot matanya yang sendu. Ning'er terdiam, “Aku sedang mencarimu, Tabib Xi. Kau punya janji pertemuan dengannya pagi ini, tapi kau tidak muncul. Sekarang sudah mau petang.” “Dengannya?” Xi Feng menaikkan sebelah alis. Siapa yang Ning'er sebut ‘dengannya’?.“Maksudku, Yang M
Matahari tumbang di sisi barat, cahaya senja yang indah menerpa permukaan kolam teratai sehingga membentuk warna keemasan yang menawan. Yinlan berlari kecil di tepi kolam sambil tertawa-tawa kecil, tangannya terangkat memegang sepucuk surat. Di belakangnya, A-Yao berlari mengejar sambil sesekali berseru, “Berhenti, Selir! Berikan suratnya padaku!” Tanpa keduanya sadari, Jing Xuan memerhatikan dari jauh, sekitar enam langkah dari Istana Mingyue, dia menyaksikan Xie Yinlan tertawa renyah dengan wajah bahagia itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Jing Xuan tiba-tiba tersenyum melihat keindahan itu.Ketika menyadari seseorang sedang mengamatinya dari jauh, Yinlan berhenti berlari, dan menoleh menatap arah sesuai intuisinya. Yinlan membeku di tempat, melihat pria itu berdiri menatapnya dari kejauhan dengan senyum tipis di bibirnya. “Dia tersenyum?” Yinlan bergumam. “Hap! Yeey!” A-Yao merampas lipatan kertas itu dari Yinlan. Dia melompat senang sambil tertawa renyah. “Ada apa,
Suara berderit terdengar pelan, langkah kaki terdengar menyusul sesaat kemudian. Diikuti seruan panggilan yang ditujukan pada seseorang. Ya. Liu Xingsheng.Dua orang ini sudah berjanji akan menemui Liu Xingsheng di Dapur Obat Balai Kesehatan Istana untuk mengambil obat milik rekannya yang sedang terluka. Namun setelah mengetuk pintu dan memanggil namanya berkali-kali, tetap tak ada orang yang menyahut dari dalam. Itu membuat mereka berpikir Liu Xingsheng sudah meninggalkan dapur obat menuju suatu tempat yang masih ada di Balai Kesehatan Istana. Sebelum meninggalkan ruangan ini, mereka berpapasan dengan salah satu rekan medis Liu Xingsheng, yang sepertinya dia tahu saat Liu Xingsheng memasuki ruangan ini dan belum melihatnya keluar. Karena itulah, kedua Pengawal Kekaisaran memutuskan untuk membuka pintu dapur obat atas izin tabib itu dan mencari sendiri Liu Xingsheng yang mungkin masih berada di sini dan tidak mendengar suara mereka. “Aneh sekali, kenapa ruangannya gelap?” salah
“Selir Rong!” Mao Lian berseru dan menghentikan langkahnya di depan Paviliun Hua Rong. Dia berjongkok dengan napas tersengal-sengal. Yinlan yang sedang duduk di ruangan depan bersama A-Yao terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu. Mereka sedang duduk santai tanpa menghidangkan apa pun di atas meja. Mungkin karena keduanya sudah terbiasa mengobrol bersama di hari-hari yang begitu luang ini ….“Selir, kau baik-baik saja? Oh, syukurlah!” Mao Lian menghela napas lega. Dengan tak tahu malu, dia bergabung dengan Xie Yinlan dan A-Yao di meja yang dikelilingi empat kursi itu. Membuat kedua wanita itu saling menatap, ‘Apa yang terjadi psdanya?’“A-Yao, apakah tidak ada teh?” Mao Lian berlagak seolah sedang mengatur napasnya yang menderu. Yinlan menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti, “Kau berlari dari Istana Depan ke sini?” Mao Lian mengangguk, “Oh, aku haus sekali. A-Yao, apakah ada teh? Aku sudah bertanya dua kali.” A-Yao tak langsung menurutinya, dia menatap Yinlan seolah mem
Di Istana Mingyue.Permaisuri duduk di tepi ranjangnya dengan posisi santai, bahkan pahanya tampak terbuka, dan kerah baju mewah berwarna merahnya diturunkan hingga bahu. Jemarinya yang lentik menggenggam secangkir arak, Ada jejak pemerah bibir di tepi cangkirnya. Permaisuri menyeringai tipis saat menyadari Ning'er sudah memasuki kamarnya untuk melaporkan hal yang telah dia minta.“Bagaimana?” tanya Permaisuri. Ning'er menundukkan kepala dengan sopan, “Semuanya berjalan lancar, Yang Mulia.” Tatapan sayunya menatap Ning'er dengan penuh intimidasi, dia meletakkan cangkirnya yang sudah kosong itu, namun kaki cangkir tidak menapak dengan jelas sehingga membuatnya terjatuh dari tepi meja dan pecah. Ning'er menahan napas, Permaisuri mungkin akan mencercanya dengan berbagai kalimat buruk. “Kau membunuhnya?” tanya Permaisuri, suaranya merendah sehingga terdengar menakutkan bagi Ning'er. Ning'er menundukkan kepala, kemudian menjawab, “Tidak.” “Mengapa?” Permaisuri menatapnya dengan taja
Yinlan menelan ludah. Suasana mendadak begitu tegang. Yinlan melangkah mundur secara spontan, namun tubuhnya tertahan ranjang tidur Liu Xingsheng yang seakan tak membiarkannya melarikan diri saat itu juga. Yinlan mengepalkan tangannya yang mulai gemetar sedikit. Dengan rasa takut, dia memberanikan diri untuk tetap bergeming di tempatnya sampai orang di pintu itu menunjukkan wajahnya dan mendekat ke arahnya. Suara langkah kaki mendominasi, berkejaran dengan detak jantungnya yang kian bekerja lebih cepat dan padat. Yinlan tak mampu mengontrol deru napasnya yang mulai memburu. Akankah dia tertangkap seperti ini? Dituduh telah berniat membunuh Liu Xingsheng.“Liu Xingsheng memang diserang seperti itu, Xie Yinlan.” Suara itu muncul bersamaan dengan orangnya. Orang yang sangat Yinlan kenal, sekaligus juga sangat menyebalkan menurutnya. Siapa lagi, selain Yang Mulia Kaisar, Jing Xuan. Yinlan menatapnya sambil mendengus kesal. “Kau mengejutkanku.” Yinlan beralih dari tempatnya, berjongk
Sore yang sejuk, di Istana Dalam, Xie Qingyan berjalan anggun dengan gaun merahnya yang selalu menawan. Parasnya yang cantik sangat cocok dengan gaun merah itu, apalagi dia mengenakan beberapa perhiasan kepala yang mencolok. Seperti mahkota giok hijau yang belakangan ini ramai diperbincangkan orang-orang Ibukota. Juga riasan wajah yang tak terlihat natural tapi tetap nyaman di pandang itu. Ada apa Xie Qingyan berdandan seperti itu? Di belakangnya, A-Yao menenteng sebuah kotak panjang berwarna merah, ada kain sutra merah menyelimutinya. Raut wajah mereka tampak bagus.Di Aula Ji’an, Ibu Pelayan Bai membuka pintu aula dan membungkuk dengan sopan pada Ibu Suri yang duduk santai, dia melaporkan, “Yang Mulia. Yang Mulia Permaisuri datang berkunjung.” “Ah …, sudah datang, ya.” Ibu Suri tertawa kecil, dia meletakkan cangkir teh di atas meja, dia mengibaskan tangan kirinya, meminta dua pelayan yang sedang mengipasi dirinya segera undur diri dari Aula. Di dalam aula masih ada Selir Agung
Petang hari, Yinlan sudah kembali ke Paviliun Hua Rong, dia berjalan di antara pelayan-pelayan yang sedang membersihkan rumah dan halaman. Sepanjang jalan, dia tidak melihat A-Yao sama sekali. Saat bertanya pada salah satu dari pelayan-pelayan itu, mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat A-Yao sejak berjam-jam yang lalu. Yinlan mendengus pelan, “Ke mana bocah itu?” Dia membuka pintu kamar, mengedarkan matanya ke segala sisi. Hari sudah petang dan A-Yao belum menyalakan lilin. Yinlan menyalakan semua lilin yang ada. Ketika ruangan sudah terang, dia menyapukan pandangannya untuk mencari A-Yao. “Astaga, anak itu.” Yinlan menghela napas pelan, menatap A-Yao yang tertidur pulas di atas meja. Kertas-kertas berserakan di lantai, kuas yang mengeras dan tinta yang mulai mengering. Ruangan itu lebih berantakan dari biasanya. “Dia benar-benar mempelajarinya seharian.” Yinlan tersenyum simpul, membereskan kekacauan itu sebelum membangunkan A-Yao dan menyuruhnya pindah ke kamarnya sendir
Jing Xuan turun dari kereta kuda. Mao Lian membawa sebuah kotak berisi sesuatu yang sepertinya berharga. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan Kediaman Adipati Xie yang masih dipenuhi kain berwarna putih di setiap sudutnya. Membuat warga-warga rendahan yang melintas refleks menjatuhkan lutut demi menunjukkan perasaan hormat mereka pada Kaisar. Jing Xuan mengedarkan pandangannya di jalanan, wajah datarnya berubah menjadi senyum ramah yang menyenangkan—dia memang telah banyak berubah setelah mengenal Yinlan lebih dekat. “Berdirilah.” Jing Xuan melangkahkan kakinya di gerbang Kediaman Adipati Xie. Yang ternyata, pemilik rumah itu sudah keluar dari kediaman demi mendengar keributan di luar bahwa Kaisar datang untuk berkunjung. “Yang Mulia, selamat datang.” Mereka segera berlutut dan menautkan kedua tangan untuk mengucapkan salam penghormatan. Jing Xuan buru-buru menyentuh siku mereka dan meminta agar berdiri, “Ibu Mertua, Ayah Mertua, tidak perlu begitu formal.” Keduanya saling m
Shangguan Yan berdiri di depan gedung utama Balai Opera Jiulu. Kedua tangannya mengepal, raut wajahnya datar dan serius. Seorang pelayan pria mendekatinya, “Tuan Muda, apakah kau membutuhkan sesuatu yang baru?” pelayan itu berbisik. Dia bernama Jin Pei. Salah satu informan yang dipekerjakan Shangguan Yan dan menjadi satu-satunya orang yang paling dipercayainya. Dia sangat ahli menyelinap tanpa jejak dan memiliki teknik beladiri yang hebat. Dia memutuskan untuk menyatakan sumpah setia pada Shangguan Yan sejak Shangguan Yan menyelamatkan nyawanya dari jebakan mematikan kelompok seniman beladiri aliran sesat. Orang ini dulunya juga pernah hampir dibunuh Liu Xingsheng, tapi nyawanya selamat setelah Shangguan Yan menyatakan sumpah setia padanya dan bersedia bersembunyi di Balai Opera Jiulu di bawah pengawasan Liu Xingsheng untuk bekerja sama dengannya. Dalam arti, Jin Pei menganggap nyawa yang dimilikinya ini adalah milik Shangguan Yan karena telah diselamatkan dua kali dari kematian.
Xi Feng mengangguk setuju. “Sejak dulu, Shangguan Zhi hanyalah nona keluarga kaya yang manja dan bergantung pada pelayannya. Sedangkan aku dan Liu Xingsheng sudah terbiasa hidup sendiri dan tidak pernah bergantung pada siapa pun, termasuk keluarga.”“Bukankah Tabib Liu itu orang kaya, ya?” Xi Feng juga mengangguk, “Ayahnya bupati di Nanzhou. Liu Yanran, adik Liu Xingsheng dianugerahi gelar Xianzhu (Putri Kabupaten) setelah ayahnya berjasa mempertahankan Heyang dari suku bar-bar di prefektur selatan Nanzhou.” “Tapi Liu Xingsheng sudah tinggal bersama Biksu Baiyuan sejak usianya lima tahun. Dia mempelajari banyak teknik pengobatan, hingga jimat dan ramalan dari Biksu Baiyuan.” “Sementara Biksu Baiyuan mengadopsi seorang anak perempuan yang usianya lebih tua dari Liu Xingsheng. Anak perempuan itu Ye Yunshang. Kudengar dia sudah tidak diasuh Biksu Baiyuan lagi sejak Liu Xingsheng belajar di sana.”“Lalu aku hanya seorang pengembara Dunia Persilatan yang tak memiliki rumah. Biksu Baiyua
Mao Lian mengangguk, “Sepanjang perjalanan, kami berhenti di banyak tempat. Yang pertama kami datangi tepat setelah Ning'er kabur dari Biro Pusat Keamanan adalah Rumah Lianhong.”“Kami mendapatkan kesaksian dari Nona Mu Dan. Yang mengatakan ada seorang pria aneh yang datang tepat saat terjadi kebakaran di Biro Pusat Keamanan.”“Pria itu meminta tolong padanya untuk dipinjamkan surat jalan atas namanya, dia berkata akan pergi ke Tingzhou.” “Lalu kami melakukan perjalanan menuju Tingzhou. Bertemu lima saksi lain yang melihat pria muda, atau wanita paruh baya, bahkan seorang nenek tua yang datang ke tempat-tempat tertentu sesuai perkiraan waktu kami.” “Xi Feng berkata kalau Penyihir Hitam selalu menyamar menjadi orang lain sepanjang jalan. Jadi kami mengikuti petunjuk itu, mencurigai nenek tua, wanita paruh baya, hingga seorang pria muda yang datang di waktu yang sesuai dengan perkiraan kami.”“Ternyata dugaan itu tepat. Nenek tua muncul setelah kami kehilangan wanita paruh baya. Juga
bab 156Tepat setelah rapat pagi dibubarkan, Jing Xuan kembali ke Istana Guanping untuk menemui dua tamu yang sudah ia undang. Di belakangnya, Mao Lian san Xi Feng tampak mengikuti. Masih memakai pakaian ringkas yang nyaman dikenakan saat bepergian. Sepertinya, mereka berdua langsung bertemu Jing Xuan yang dalam perjalanan menuju Aula Pertemuan untuk rapat pagi. Lalu merundingkan hasil perjalanan mereka bersama beberapa menteri yang terlibat. Sebelum itu, Jing Xuan mengutus bawahannya untuk mengirim pesan pada Shangguan Yan dan Shangguan Zhi untuk membicarakan hasil perundingan itu. Setelah mengetahui identitas asli Ning'er, yang merupakan seorang master bela diri tingkat tinggi dari sebuah sekte terpencil yang misterius bernama Ye Yunshang, yang juga sekaligus seorang Penyihir Hitam yang keberadaannya selalu dipertanyakan, Jing Xuan merasa harus melibatkan orang-orang yang terlibat dengan masa lalunya untuk menggali lebih banyak petunjuk. Seperti mengapa Ye Yunshang memiliki den
Matahari telah tenggelam. Kereta kuda itu kembali merangkak di jalanan Ibu Kota. Suasana di dalamnya sangat senyap, Yinlan sibuk memakan kue persik yang dibelinya di kedai itu. “A-Yin.” Jing Xuan memanggilnya dengan suara pelan. Yinlan menjawabnya hanya dengan gumaman. Terlihat sekali tidak ingin diganggu dengan kesenangannya. Jing Xuan menatapnya lamat-lamat. ‘Dia menggemaskan saat sedang lahap makan.’ “Ada apa?” Yinlan balas menatapnya, mulutnya masih penuh dengan kue persik. Jing Xuan mengulas senyum tipis. “Kamu mau pergi ke mana setelah ini?” Yinlan menelan makanannya, “Ke mana lagi? Kita tidak langsung pulang?” “Awalnya memang sepakat pulang setelah matahari tenggelam. Tapi sepanjang sore aku tidak menemanimu keliling ke mana pun. A-Yin, aku minta maaf atas kekacauan yang dibuat adikku. Acara jalan-jalanmu jadi tidak berjalan lancar. Jadi, aku ingin menemanimu di luar lebih lama lagi.” Jing Xuan memasang raut penuh rasa bersalah. Yinlan menyeringai, “Aku sudah puas jalan
Terlihat, Pangeran Chi berdiri dengan kondisi terkejut. Menyentuh pipinya yang merah, menatap pria tiba-tiba datang menamparnya. “Apa-apaan kau!” Pangeran Chi berseru marah. Matanya membulat sempurna begitu menyadari kalau pria ini adalah kakaknya, Kaisar Kekaisaran Jing. “Ka-Kakak …?” Pangeran Chi bungkam seketika. Wanita opera yang duduk di atas paha Pangeran Chi menundukkan kepala, bahunya bergetar, seolah takut diterkam oleh pria yang dipanggil Kakak oleh pria yang bersamanya. Tanpa mengatakan apa pun, dengan raut wajah menahan marah, Jing Xuan menyeret adiknya keluar dari gedung itu. Nyonya Zhao terlihat bingung kenapa pengusaha dari Yangzhou ini keluar lagi sebelum operanya dimulai. Yinlan bergegas menyusul. Jing Xuan memasukkan Pangeran Chi ke dalam kereta kuda, bersiap menginterogasinya di dalam sana. Saat A-Yao hendak membantu Yinlan naik ke dalam, Yinlan mengangkat tangannya, “Biarkan mereka mengobrol dulu, A-Yao. Lebih baik kita berkeliling di dekat sini sambil men
Beruntung, hari ini Balai Opera Jiulu sedang memiliki opera besar. Orang-orang di pinggir jalan membicarakannya. Bahwa itu adalah karangan Guru Bai Hua dari kelompok opera besar di Kota Qingzhou. Bai Hua datang ke Ibu Kota bersama tiga orang muridnya atas undangan Kekaisaran pada saat acara perayaan tahun baru beberapa hari yang lalu. Tapi insiden itu membuat penampilan mereka dibatalkan begitu saja. Ada banyak warga yang menyayangkan kegagalan itu.Jadi, pengelola Balai Opera Jiulu mengundang mereka untuk tampil atas izin pejabat pemerintah. Biaya pun ditanggung pemerintah untuk menebus pembatalan yang tiba-tiba itu. Mereka dijadwalkan akan tampil sore ini hingga malam hari di panggung opera utama Balai Jiulu. Meski banyak yang menyayangkan karena Shangguan Yan tidak berpartisipasi dalam pertunjukan besar ini, mereka tetap menantikannya dengan antusias. Kereta kuda berhenti di depan Balai Opera Jiulu, A-Yao membuka tirai di pintu, kepalanya melongok ke dalam, “Yang Mulia, apakah
Ketika hari semakin siang, hujan salju berhenti, menyisakan kesiur angin yang dingin menusuk kulit dan langit berwarna abu-abu yang suram. Jing Xuan duduk di dekat jendela, Yinlan berada di pangkuannya. Jing Xuan memeluknya dengan erat, mengusir hawa dingin ini. “A-Yin, apakah kau sungguh tidak merindukan orang tuamu?” Jing Xuan tiba-tiba menceletuk. Memilih untuk membahas hal yang selama ini selalu ia hindari. Yinlan tidak memberikan jawaban, menyandarkan kepalanya pada dada bidang Jing Xuan, terlihat menghela napas pelan. “Maksudku adalah, kita akan menikah, tapi kau tidak pernah memintaku untuk datang kepada mereka untuk meminta restu. A-Yin, apakah hubunganmu dengan mereka baik-baik saja?” Jing Xuan bertanya lebih lembut. Ia takut pembahasan ini ternyata melukai hati Yinlan. Jika mengingat hubungan Yinlan dengan Qingyan yang memang tidak pernah akur, Jing Xuan tiba-tiba saja menebak kalau Yinlan memang tidak dekat dengan keluarganya. “Jing Xuan …, kamu mengetahuinya lebih ba