Malam telah larut, tetapi Istana Ching tetap berdenyut dalam keheningan yang sarat rahasia. Angin dingin berembus melalui lorong-lorong panjang, membawa aroma dupa yang terbakar. Cahaya redup dari lentera-lentera kertas bergetar, menciptakan bayang-bayang yang menari di sepanjang dinding batu yang dingin. Di kejauhan, suara langkah kaki para pelayan terdengar samar, sesekali diiringi bisikan yang menyelinap dalam gelap.Di dalam kediamannya, Xian Ling duduk bersila di atas kasur sutra merah darah. Matanya terpejam, tetapi pikirannya terus berputar, menganalisis setiap detail pertemuannya dengan Pangeran Shang Chi dan Xiao Yin. Apakah perjamuan tadi benar-benar hanya sekadar hiburan, atau ada jebakan yang tersembunyi di balik keramahan itu?Tiba-tiba, suara halus terdengar. Pintu geser kayu meluncur perlahan, nyaris tanpa suara, namun Xian Ling tahu siapa yang datang bahkan sebelum melihatnya.“Sakuntala.”Dari bayangan, seorang pria bertubuh tegap muncul, jubah gelap membalut tubuhnya
Xian Ling mengepalkan tangannya erat, merasakan dinginnya udara yang menyelusup ke dalam kulitnya. Jadi ini rencana mereka. Membuatnya bertarung, membiarkan dirinya terluka, atau lebih buruk… terbunuh di dalam arena. Napasnya tetap stabil, meskipun di dalam dadanya, gelombang amarah dan kewaspadaan saling bertarung.Namun, di wajahnya, tidak ada ketegangan yang terlihat. Sebaliknya, ia menampilkan senyum tipis, seolah tantangan ini hanyalah angin lalu.“Apa Raja Shang Fu mengetahuinya?” tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh kehati-hatian.Di hadapannya, Shang Chi bersandar santai di kursinya, tangannya memainkan cawan emas berisi anggur merah. Ia tersenyum seakan semua ini hanyalah permainan kecil.“Tentu saja... apa kami berani mengujimu kalau belum mendapat persetujuan dari Ayah?” jawabnya dengan nada ringan.Xian Ling menatapnya tajam. Cahaya lilin di ruangan itu memantulkan bayangan samar di matanya yang tajam. Ternyata pamannya yang berpura-pura baik ini sedang menjebaknya di li
Fajar menyingsing di atas Istana Ching, menyelimuti halaman luas yang telah disulap menjadi arena pertarungan. Bendera berkibar, genderang perang ditabuh, dan di atas tribun kehormatan, Raja Shang Fu duduk dengan anggun, didampingi oleh Perdana Menteri Liu Shan dan Pangeran Shang Chi.Xian Ling berdiri di tengah arena, mengenakan jubah tempur berwarna hitam dengan sulaman emas yang melambangkan statusnya. Mata para bangsawan dan rakyat tertuju padanya, sebagian menatap dengan rasa ingin tahu, sebagian lagi dengan harapan ia akan gagal.Di sudut tribun, Liu Mei tersenyum miring, puas melihat Putri Mahkota berdiri di tengah perangkap yang telah ia siapkan.Liu Mei akhirnya mengetahui jelas identitas Xian Ling, yang membuatnya lebih semangat untuk menyingkirkan Putri Mahkota ini."Hari ini akan menjadi akhir dari arogansimu, Xian Ling."Seorang jenderal tua berdiri di tengah arena, mengangkat tangan dan mengumumkan, "Turnamen gladiator kerajaan akan segera dimulai! Pertarungan ini akan m
Malam menyelimuti Istana Ching dengan keheningan yang menegangkan. Xian Ling berdiri di beranda kamarnya, memandang bulan yang menggantung rendah di langit. Hatinya masih berdegup cepat setelah pertarungan siang tadi. Itu bukan sekadar tantangan kekuatan, melainkan percobaan pembunuhan yang dikemas dalam turnamen kerajaan."Sakuntala, kau melihat sesuatu?" Xian Ling bertanya tanpa menoleh.Dari balik bayangan, Sakuntala Dewa muncul dengan langkah ringan. "Aku mengikuti Liu Mei setelah turnamen. Dia bertemu dengan seseorang yang mencurigakan di paviliun belakang. Seorang lelaki bertopeng. Dari cara bicaranya, ia tampak seperti orang yang biasa memberi perintah, bukan menerima."Xian Ling menyipitkan mata. "Itu berarti ada dalang di balik ini semua. Dan aku curiga bukan hanya Liu Mei yang terlibat."Sakuntala mengangguk. "Pangeran Shang Chi juga mencurigakan. Aku melihatnya berbicara diam-diam dengan Perdana Menteri Liu Shan setelah pertandingan. Wajahnya tampak tidak senang."Xian Ling
Xian Ling berdiri tegak, tubuhnya kaku seperti baja, tetapi sorot matanya tetap tenang. Cahaya lentera bergoyang pelan, menyoroti wajahnya yang tak menunjukkan sedikit pun ketakutan. Udara dalam ruang arsip terasa lembap, aroma kertas tua dan tinta memenuhi hidungnya. Di sampingnya, Sakuntala Dewa tampak lebih waspada. Jemarinya yang lentik sudah melingkari gagang belati di balik lengan bajunya, siap menerjang kapan saja. Pintu berderit pelan saat Pangeran Shang Chi melangkah masuk. Gerakannya tenang, nyaris santai, seakan ruangan ini adalah miliknya. Dengan satu gerakan ringan, ia menutup pintu di belakangnya, membiarkan keheningan yang menekan merayap masuk. "Pangeran Shang Chi," Xian Ling menyapa, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. "Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah keluarga istana. Sayangnya, aku menemukan sesuatu yang lebih menarik." Shang Chi tersenyum tipis, senyuman yang sulit dibaca. "Aku selalu mengagumi kecerdasanmu, Putri. Sayang sekali, keingintahuan t
Malam merayap perlahan di atas langit istana, melukis bayangan pekat yang menjalar di lorong-lorong panjang. Udara dingin berbisik melewati celah jendela berukir naga, membawa serta aroma kayu gaharu yang terbakar di lentera-lentera besar. Wangi samar bunga plum yang mulai bermekaran di taman dalam terseret angin malam, bercampur dengan keheningan yang seolah mengandung rahasia.Xian Ling melangkah nyaris tanpa suara di atas lantai batu yang dingin. Jubah sutranya yang panjang menyapu lembut permukaan itu, bergelayut mengikuti setiap gerakan tubuhnya yang luwes. Cahaya remang dari obor di dinding menyoroti siluetnya, menampakkan sorot matanya yang tajam dan penuh kehati-hatian.Di balik salah satu pilar marmer, Sakuntala Dewa bersembunyi, tubuhnya menyatu dengan bayangan yang menari-nari akibat nyala api yang goyah. Mata elangnya mengamati setiap sudut, mencari tanda-tanda bahaya yang mungkin mengintai dalam keheningan. Nafasnya teratur, meskipun ketegangan menggantung di udara. Ia su
Malam masih menyelimuti langit istana dengan pekatnya, sementara keheningan semakin menebal di sekitar halaman bambu tempat Xian Ling, Shang Chi, dan Sakuntala Dewa berdiri berhadapan dengan Jenderal Wu Han. Tatapan tajam Wu Han tak beranjak dari Xian Ling, menimbang kata-kata sang putri yang penuh keberanian. Dalam kegelapan malam, nyala lentera yang redup memantulkan kilatan di mata jenderal itu, mencerminkan pemikiran yang sulit ditebak. "Kau berani," akhirnya Wu Han berkata dengan nada datar. "Tapi keberanian saja tidak cukup. Liu Shan adalah pria licik yang telah lama merancang perebutan kekuasaan ini. Jika kita ingin menjatuhkannya, kita harus lebih licik dari dirinya." Xian Ling mengangguk. "Itulah sebabnya aku membutuhkanmu, Jenderal. Kau lebih mengenalnya daripada siapa pun. Kau tahu kebiasaan dan kelemahannya. Jika kita bergerak dengan tepat, kita bisa membuatnya jatuh ke dalam perangkapnya sendiri." Wu Han terdiam sesaat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit di
Dalam bayang-bayang istana Ching, lorong-lorong panjang menjulang sunyi, diterangi lentera redup yang memancarkan cahaya temaram. Udara dingin merayap di antara pilar-pilar megah, menyusup ke setiap celah seperti desisan ular yang mengintai mangsanya. Suara langkah-langkah halus bergema samar, hampir menyatu dengan hembusan angin malam. Sosok bertudung menyelinap, tubuhnya bergerak lincah di antara bayangan, nyaris tak terlihat.Ia adalah mata-mata Liu Shan, seorang pengawal bayangan yang telah lama menanamkan dirinya di lingkaran kekuasaan. Malam ini, ia bukan sekadar mendengar bisikan biasa—ia telah mencuri percakapan antara Xian Ling, Shang Chi, Wu Han, dan Sakuntala Dewa. Setiap kata yang ia dengar mengukuhkan satu hal: pengkhianatan sedang bersemi di jantung istana.Kembali ke ruang rahasia di kediaman Liu Shan, pengawal itu berlutut di atas lantai kayu yang dingin, napasnya tertahan. Aroma dupa cendana memenuhi ruangan, bercampur dengan hawa tegang yang menggantung di udara.“Yan
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi