Reihan masuk UGD. Di dalam sana dia sedang ditangani oleh dokter-dokter handal. Masker oksigen dipakaikan ke hidungnya, jarum infus ditusukkan ke lengan kirinya. Pakaiannya diganti dengan pakaian khas orang sakit, alias seragam rumah sakit. Zafan dan Adelia duduk di kursi tunggu. Mereka berdua cemas dan panik. Tak menyangka jika Reihan akan masuk ke ruang UGD. Tadi Zafan sempat bertanya kepada suster kenapa Reihan dimasukkan ke UGD, suster belum bisa menjawab.
"Ibunya Reihan sudah tiba di Magelang belum?"
"Katanya sih masih di perjalanan. Setengah jam lagi sampai,"
Jawaban Zafan sukses membuat bibirnya berbentuk huruf O. Adelia beranjak dari tempat duduknya. Dia ingin keliling rumah sakit. Bosan sekali menunggu sesuatu yang belum jelas kepastiannya. Kapan dokter keluar dan sebenarnya Reihan kenapa. Dia sungguh khawatir bahkan sedih temannya seperti itu, tapi kesedihannya lebih parah ketika memorinya mengingat masa lalu yang am
Keadaan Mawar sudah cukup membaik. Dokter memberikannya satu suntikan. Obat penenang dan vitamin diberikan kepadanya. Mawar telah sadar ketika Dokter kembali pulang. Namun bibirnya terkunci rapat-rapat. Matanya hanya memandang Refan yang menunggu di sampingnya. Bola mata nan menyembunyikan penyesalan amat dalam. Emosinya padam. Dewa yang masih di rumahnya tak ditanggapinya. Lengang! Suasana di rumah itu hening. Hanya kaya tatapan-tatapan hampa."Dewa! Lo nggak bawa hape?" Dendi memecah keheningan ruang bambu itu.Pemuda yang sedang pusing karena banyak masalah itu menggeleng lesu."Bagaimana kalau ada sms penting seperti ini?" Dendi menyodorkan hapenya ke wajah Dewa. "Baca! Seharusnya hape itu jangan sampai ketinggalan apalagi nggak dibawa,"_Chika_"Den! Kamu tahu Dewa di mana nggak? Tadi ibunya sms katanya Kak Reihan masuk rumah sakit umum Magelang, kalau kamu tahu dia suruh langsung ke sana.
Reihan masuk UGD. Di dalam sana dia sedang ditangani oleh dokter-dokter handal. Masker oksigen dipakaikan ke hidungnya, jarum infus ditusukkan ke lengan kirinya. Pakaiannya diganti dengan pakaian khas orang sakit, alias seragam rumah sakit. Zafan dan Adelia duduk di kursi tunggu. Mereka berdua cemas dan panik. Tak menyangka jika Reihan akan masuk ke ruang UGD. Tadi Zafan sempat bertanya kepada suster kenapa Reihan dimasukkan ke UGD, suster belum bisa menjawab."Ibunya Reihan sudah tiba di Magelang belum?""Katanya sih masih di perjalanan. Setengah jam lagi sampai,"Jawaban Zafan sukses membuat bibirnya berbentuk huruf O. Adelia beranjak dari tempat duduknya. Dia ingin keliling rumah sakit. Bosan sekali menunggu sesuatu yang belum jelas kepastiannya. Kapan dokter keluar dan sebenarnya Reihan kenapa. Dia sungguh khawatir bahkan sedih temannya seperti itu, tapi kesedihannya lebih parah ketika memorinya mengingat masa lalu yang am
"Benarkah kau Ovan yang tersesat di Borobudur?"Ovan diam tapi isakannya semakin keras."Kak Intan!" seruan Caca dari atas ranjang. Anak itu telah duduk sambil mengucek-ngucek matanya. Dewa langsung melangkah maju. Dia menyambut Caca dengan senyuman indah. Tak diurus masalah Adelia dan Ovan yang sedang mengharu biru. Itu pasti pertemuan dengan kekasih yang telah lama hilang. Begitulah tebaknya. Tapi iyakah? Bukankah umur mereka jauh berbeda. Entahlah, rindunya kepada Caca membuatnya malas mengurusi masalah Ovan dan Adelia."Kak Dewa? Caca mimpikah?" gumam Caca sambil menepuk-nepuk pipinya. Anak itu semakin kelihatan lucu jika seperti itu. Intan berdiri menghampiri Caca. Agus masih tetap dalam posisinya. Matanya tertuju pada gorengan yang berserakan di atas lantai.Ovan mengamati paras Adelia. Wajahnya tak jauh berbeda dari Kak Lia yang dulu. Bedanya kalau dulu masih kelihatan lugu dan lucu. Sekarang Adelia y
Fajar di langit sebentar lagi menampakkan hidupnya. Bintang tak lagi berkelap-kelip. Kabut menyelimuti. Bahkan senyum sabit yang tadi cerah hanya tampak remang-remang di balik kabut. Embun-embun di dedaunan perlahan meneteskan butir-butirnya ke bumi. Malam sebentar lagi berakhir, tapi mengapa waktu tak mengizinkan luka di batin Ovan tersembuhkan. Di tempat itu, berhadapakan dengan tanaman-tanaman. Dia, mengadu perasaannya berteman kabut di langit. Airmatanya menitik satu butir, dua butir, lalu jutaan butir. Di belakangnya berdiri Adelia yang sesenggukannya tak usai pula. Ke dua saudara itu telah terkubur dalam emosi. Saling merindu, namun sepihak menyimpan luka. Ingin memeluk, tapi... apakah iya Ovan mau dipeluk?"Maaf! Maafkan Mama dan Papa yang tidak bisa menemukanmu, tapi kami sudah berusaha, Ovan!" rintih Adelia dengan suara parau."Kami sangat merindukanmu, Ovan..." pelan Adelia menarik lengan Ovan. Dia menggenggam ke dua-duanya.
Kebahagiaan itu harus segera sampai di telinga Papa dan Mama. Mereka pasti akan menangis haru. Setelah perjuangan yang dianggap mereka berdua berhasil nihil, malah berbalik dugaan. Buah hati yang selama ini dicari-cari akan segera mendekap mereka erat-erat. Membayangkan pertemuannya saja sudah sampai ingin menangis darah. Apalagi jika menjadi kenyataan. Keluarga yang dulu pernah retak, akan kembali utuh. Kasih sayang mampu diutarakan seutuhnya tanpa menanti-nanti orang lain menemukan sekeping hati yang telah hilang."Tapi aku ingin memberi kejutan." Ungkap pemuda berambut cepak yang kini telah berpakaian rapi dan bersih. Kaos distro putih serta celana jins hitam. Rambutnya juga ditata menggunakan gatsby. Wajahnya sudah dicuci bersih oleh salon. Ovan! Yah tepat sekali dialah pemuda itu.Sehabis pertengkaran menjelang fajar itu, Adelia mengajak adiknya jalan-jalan. Sejenak dia lupakan masalah kehidupan suram Ovan. Dia tidak ingin bersedih ha
Kondisi Reihan sudah membaik. Meski dia masih lemah tapi setidaknya lebih baik dari kemarin. Bahkan dia juga sudah pindah kamar, tak dirawat di ICU lagi. Nyonya Finda duduk di kursi samping ranjang Reihan. Sedari tadi pagi beliau menangis sesenggukan. Diam dan sama sekali tak mengajak Reihan atau pun Dewa berbicara. Yang membuat Dewa bertanya-tanya kenapa ketika dia tak ada di sisinya sewaktu Reihan sadar dan dipindahkan ke ruang lain, beliau tidak marah. Hanya menatap acuh lalu duduk. Beliau tidak makan dan tidak minum. Setia dengan kesedihan yang tak diceritakannya.Dewa dan Zafan berdiri di samping kanan ranjang Reihan. Adelia sendiri entah kemana. Semenjak kejadian tadi dia tidak datang lagi menjenguk Reihan. Kepala mereka sama-sama tertunduk. Ruang putih ber-AC itu menjadi sunyi. Tiga hati saling bertanya, sebabnya apa dan siapa yang mampu menjawabnya. Tampang Dewa semakin dibuat kusut oleh keadaan itu. Seragamnya juga bertambah lecek."Ken
Kebahagiaan itu harus segera sampai di telinga Papa dan Mama. Mereka pasti akan menangis haru. Setelah perjuangan yang dianggap mereka berdua berhasil nihil, malah berbalik dugaan. Buah hati yang selama ini dicari-cari akan segera mendekap mereka erat-erat. Membayangkan pertemuannya saja sudah sampai ingin menangis darah. Apalagi jika menjadi kenyataan. Keluarga yang dulu pernah retak, akan kembali utuh. Kasih sayang mampu diutarakan seutuhnya tanpa menanti-nanti orang lain menemukan sekeping hati yang telah hilang."Tapi aku ingin memberi kejutan." Ungkap pemuda berambut cepak yang kini telah berpakaian rapi dan bersih. Kaos distro putih serta celana jins hitam. Rambutnya juga ditata menggunakan gatsby. Wajahnya sudah dicuci bersih oleh salon. Ovan! Yah tepat sekali dialah pemuda itu.Sehabis pertengkaran menjelang fajar itu, Adelia mengajak adiknya jalan-jalan. Sejenak dia lupakan masalah kehidupan suram Ovan. Dia tidak ingin bersedih hati ter
Jangan ada kata perpisahan. Jangan ada airmata. Tuhan, bumi memang luas, tapi jangan jauhkan hati yang dari dulu telah berkumpul bersama. Mencari makan di bawah naungan mentari, meneguk dahaga di pinggiran sungai, bercerita dalam luka yang menyelimuti setiap hati, membagi tawa walau batin teriris-iris belati. Jangan....jangan pisahkan kami. Rintih Intan dalam hati. Batinnya perih mendengar Ovan yang baru saja berkata ingin kembali ke dekapan orangtuanya. Itu berarti perpisahan yang tak diindahkan akan segera melintas."Kak, jangan tinggalkan kami," rengek Agus. Dia bersimpuh di depan Ovan. Adelia hanya mematung di mulut pintu. Caca dibopong oleh Intan. Sementara Enggar duduk setengah badan di ranjang. Seharusnya besok adalah hari kebahagiaan untuk mereka semua, karena Enggar sudah diizinkan pulang ke perkampungan kumuh. Itu artinya kondisi Enggar sudah membaik dan siap bekerja mengamen atau mengemis seperti semula. Tapi kebahagiaan itu musnah seketika.
Satu bulan berlalu setelah kejadian itu. Ke enam sahabat sama sekali tidak ada yang keluar rumah bahkan berangkat kuliah. Anak jalanan sering meratap dan menangis di bawah rembulan. Mawar sendiri juga ikut terdiam dengan kesedihannya antara dilema cinta yang pahit. Mengingat kondisi janinnya yang akan terkena HIV AIDS juga, serta keadaan Dewa yang tak kunjung membawa kabar indah.Untunglah waktu berbudi baik, tak mau membuat Dewa terluka berlama-lama. Sebulan penuh dia tersungkur dalam pembaringan. Bangkit dengan sisa keterkejutannya mendengar bahwa Reihan meninggal. Langsung airmatanya terjun. Dadanya sesak dicambuk kepedihan. Dewa menangis di ranjang rumah sakit. Nyonya Finda mendekapnya erat-erat."KAK REIHAAANNN!! KAK REIHAN, BU! KAK REIHAN DI MANA???" jeritnya membuat suasana semakin menyesakkan. Nyonya Finda tak kuasa menahan airmata."Sabar, Nak." Nasihat Nyonya Finda seraya mengelus ubun kepala Reihan.&nb
Satu Minggu berlalu. Mereka sudah sama-sama mendaftar di universitas yang sama, pada tanggal yang sama, waktu yang sama, keberangkatan yang sama, hanya jurusannya saja yang berbeda.Kala itu langit mendung. Nyonya Finda sedang memasak di dapur. Dewa duduk termenung di balkon depan kamarnya. Dia menatap bintang yang tidak tampak. Dia mengingat Chika dengan senyuman manis. Gadis itu membuat hatinya jatuh dalam kegelapan cinta. Suatu saat nanti kalau impiannya sudah tercapai dan kuliahnya selesai. Dia ingin langsung melamar Chika untuk memberi kejutan. Akan sangat menyenangkan masa depannya. Sekali lagi waktu pertegas bahwa mimpinya adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta mencerdaskan anak jalanan. Dia ingin menaunginya. Selamanya. Dan sekarang setidaknya mimpi itu sudah kelihatan berjalan.Praanngg...lamunanya buyar. Suara gelas pecah mencium lantai dari kamar sebelah. Yah kamarnya Reihan. Ada apa? Napas Dewa langsung se
Keesokan harinya dia mengkopi surat yang ditulisnya itu. Dia lalu mengirimkannya ke sekolahan SD ketika berangkat ke perkampungan kumuh. Setiap didapati sekolahan, dia berhenti dan menitipkan surat itu kepada satpam agar disampaikan ke Kepala Sekolah dengan segera. Setiap mengulurkan surat itu, dia berkata keras-keras SEGERA. SEGERA PAK. NGGAK PAKAI LAMA! Satpam pun hanya menggeleng-geleng.Dewa memang anak yang bertekad baja. Keinginannya tidak pernah bisa diganggugugat. Apalagi jika ada yang sampai bisa mengalahkan watak keras kepalanya. MUSTAHIL. Ada yang pernah mencoba tapi selalu gagal.Sampai di perkampungan kumuh alias perumahan kardus. Mata Dewa berkedip-kedip. Anak-anak jalanan sudah tertata rapi dan belajar seperti kemarin. Mereka malah tampak lebih semangat. Sesekali terdengar suara tawa yang menggelegar karena banyolan Den...eih itu siapa? Den? Dendi??"SUPRAISE!!!" jerit Chika dan ketiga kawannya, Edvin, Rivani, Y
Pagi menguning di ufuk Timur. Senyumnya telah mengembun di dedaunan. Burung ikut menyambut semarak hari dengan berhening cipta di kabel listrik yang mengular sepanjang jalan, terpikir mereka sedang bersyukur dengan kekuasaan Tuhan. Hari itu usai salat shubuh berjamaah bersama Reihan dan Nyonya Finda. Kejadian yang dialami mereka menyadarkan mereka semua tentang makna ketuhanan. Selama ini mereka telah melangkah dalam jalan yang gelap, walhasil hidup pun tak pernah lelap. Ada saja masalah hingga membuat hidup susah. Bagaikan tidur di springbed lembut tapi mata terjemput mimpi buruk, itulah mengapa hidup tak pernah lelap. Dewa langsung loncat dari ranjang tidurnya bergegas mandi, sarapan dan melesat menenteng tasnya, tak lupa dia membungkuskan nasi serta sayur dan lauk pauknya. Kamera canonnya dikalungkan di leher."Mau ke mana?" sapa Reihan yang tengah duduk di meja makan. Tangan kirinya memegang gelas berisi air putih, sementara yang kanan memegang kapsul obat.&nb
Perjuangan menahan sakit, begadang setiap malam ternyata tak berujung kesia-siaan. Chika dan kawannya yang sering main ke rumah sakit untuk mengajari Dewa, ternyata semuanya masuk sepuluh besar. Dan apakah Anda tahu? Dewa yang jarang masuk sekolah dan tidak pernah ikut les, masuk dalam kategori tiga besar. Chika si gadis menggemaskan itu meraih peringkat pertama, Rivani ke dua, Dewa ke tiga, Dendi ke empat, Edvin ke lima, sementara Ogi mendapat peringkat ke dua dalam urutan kelas IPAnya. Oh menakjubkan! Senang sekali ketika perjuangan mereka membuahkan hasil, terutama bagi Dewa. Kau tahu? Nyonya Finda amat bangga mendengar kabar menggembirakan itu. Selama ini Nyonya Finda tidak pernah yakin kalau Dewa akan lulus. Bagaimana tidak? Dia saja jarang sekolah, mbolos kerjaannya. Detik-detik akhir ujian malah harus rawat inap, bagaikan mukjizat yang turun dari langit kesuksesan Dewa bagi beliau.Akhirnya hari selanjutnya setelah pengumuman kelulusan. Nyonya Finda mengada
Dewa berdiri di depan jendela. Ke dua lensanya menatap lurus ke angkasa. Pijaran gumintang di sana begitu menawan. Rembulan membentuk pisang dan tersenyum kepadanya. Cerah. Melintir kehangatan pada gulita dalam penerangan. Hari itu adalah menit terakhir Dewa belajar menyambut ujian Nasional. Mulai besok dia sudah akan bertempur dengan segala macam soal-soal ujian. Bahasa Indonesia, Matematika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris. Jantungnya berdegup kencang membelah keheningan malam. Akan sanggupkah besok? Dia baru belajar selama satu minggu. Jam menunjukkan pukul dua belas pagi. Pergantian tanggal dan hari, tinggal menunggu beberapa jam lagi, Dewa akan dihadapkan dengan soal ujian esok nanti.Keadaannya cukup membaik. Hanya tampak masih lemas. Itu karena beban pikirannya selama ini. Walau sudah berusaha fokus terhadap pelajaran, tetap saja bayang anak jalanan yang menderita di keheningan malam, dalam balutan gerimis langit, serta panasnya mentari kala siang menje
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka