Xiu Juan dan Qian Feng berdiri di hadapan Cincin Dimensi, sebuah roda besar bercahaya yang terus berputar perlahan, mengatur keluar masuknya dimensi di seluruh alam. Aura kekuatan dari roda itu begitu besar, membuat udara di sekitarnya terasa berat. Tidak ada lagi jejak Patriark atau Matriark dari Nirvana Surgawi yang mengejar mereka, namun mereka tahu bahwa mereka masih belum sepenuhnya aman. Di hadapan mereka kini berdiri sosok penjaga yang mengerikan, berlapis baju besi emas yang mengeluarkan cahaya menyilaukan. Penjaga itu adalah manifestasi kekuatan Roda Dimensi, sosok abadi yang memiliki kekuatan setara Ranah Prajurit Surgawi.Qian Feng menatap Xiu Juan, sedikit khawatir. "Xiu Juan, kita sudah mengalahkan banyak musuh, tapi dia… energinya berbeda. Terasa seperti langsung tersambung ke Roda Dimensi itu sendiri."Xiu Juan mengangguk, wajahnya serius. “Aku tahu. Tapi tidak ada pilihan lain. Kita harus melewatinya atau kita akan terjebak di sini selamanya.”Penjaga itu memandang mer
Zhou Shen mengikuti langkah Ratu Savitri ke dalam istana, tatapannya terus mengawasi detail-detail di sekelilingnya. Dinding-dinding istana tampak memancarkan cahaya redup, seolah memiliki sumber energi sendiri. Relief naga berukuran besar menghiasi pilar-pilar, matanya tampak hidup, mengawasi setiap orang yang melintas. Zhou Shen merasa energi tempat ini berbeda dari tempat manapun yang pernah ia kunjungi.Saat mereka tiba di sebuah aula besar, seorang pelayan wanita dengan pakaian tradisional kerajaan muncul membawa nampan berisi dua cangkir teh. "Silakan, Tuanku," katanya sambil menunduk dalam kepada Ratu Savitri, lalu memberikan salah satu cangkir kepada Zhou Shen.Ratu Savitri mengambil cangkirnya dan duduk di atas singgasana kecil yang lebih menyerupai kursi berlapis sutra. Zhou Shen tetap berdiri, menjaga sikap sopan. "Silakan duduk, Zhou Shen," kata Savitri, menepuk kursi di hadapannya. "Di sini kita adalah rekan pembicara, bukan raja dan rakyat."Zhou Shen ragu sejenak sebelu
Zhou Shen tidak membiarkan kecurigaan yang muncul di hatinya terlihat. Ia hanya mengangguk ringan kepada Ratu Savitri sebelum mengalihkan pandangannya ke ruangan besar yang mengelilinginya. Kepalanya masih dipenuhi gambaran medan perang yang mengerikan, wajah pembunuh orangtuanya, dan yang paling mengganggunya adalah sosok Savitri yang berbeda dari apa yang ia lihat saat ini.Ratu Savitri tersenyum lembut, namun sorot matanya seperti menembus lapisan pertahanan Zhou Shen. “Istirahatlah, Zhou Shen. Petualanganmu belum dimulai, tapi aku bisa merasakan bahwa jalanmu akan penuh ujian.”Sebelum Zhou Shen sempat menjawab, seorang pelayan lain masuk, membungkuk hormat sebelum berbicara. “Yang Mulia, Panglima Adheswara meminta izin untuk menghadap.”“Suruh dia masuk,” jawab Savitri dengan anggukan kecil.Tak lama, Panglima Adheswara masuk dengan langkah tegas, membawa aura yang berbeda dari saat ia mengawal Savitri sebelumnya. Kali ini, ia tampak lebih serius, bahkan sedikit tergesa. “Yang Mu
Bayangan pekat yang mendekat dari kejauhan kini mulai menunjukkan bentuk mereka. Dari kegelapan itu, muncul sosok-sosok dengan tubuh tinggi, berselimut jubah hitam yang berkibar seperti kabut. Mata merah menyala tampak di balik tudung mereka, memancarkan ancaman yang membuat para prajurit Heaven Eden menggenggam senjata mereka lebih erat. Di belakang barisan bayangan itu, naga-naga kelam berlapis sisik hitam legam muncul, mengepakkan sayap besar mereka, menciptakan badai kecil di sekitar mereka.Ratu Savitri berdiri di depan pasukannya dengan tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut. Ia mengangkat tangannya, sebuah tongkat sihir tipis dengan permata biru berkilau di puncaknya muncul dari udara. Cahaya biru yang memancar dari tongkat itu menyebar seperti riak, memberikan ketenangan dan keberanian kepada setiap prajurit yang melihatnya.“Pasukan Heaven Eden!” seru Savitri, suaranya menggelegar meski ia tidak berteriak. “Hari ini kita tidak hanya mempertahankan tanah ini, tetapi
Zhou Shen merasa energinya terkuras hanya dengan berdiri di bawah lingkaran itu. Ia menyadari ini adalah teknik tingkat tinggi, dan jika tidak dihentikan, seluruh medan perang bisa berubah menjadi kekacauan.“Savitri,” katanya tegas, “Aku akan menghadapinya.”Ratu Savitri menoleh padanya, sorot matanya penuh pertimbangan. “Baiyan adalah lawan yang berbahaya. Kau yakin?”Zhou Shen menghunus pedangnya, auranya memancar lebih kuat dari sebelumnya. “Jika dia punya jawaban atas misteriku, aku tidak punya pilihan selain melawannya.”Savitri mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan mendukungmu dari sini. Tapi hati-hati, Zhou Shen. Dia tidak hanya membawa bayangan. Dia membawa kehancuran.”Zhou Shen tidak menjawab, hanya melangkah maju menuju Baiyan. Pedangnya bersinar terang, seperti cahaya terakhir di tengah kegelapan. Di dalam hatinya, ia tahu ini bukan hanya pertempuran antara dua kekuatan—ini adalah langkahnya menuju kebenaran yang telah lama ia cari. Dan ia tidak akan mundur.Zhou Shen mela
Langit di atas medan perang berubah menjadi lautan hitam berpendar merah, naga bayangan yang dipanggil Baiyan melilit langit seperti dewa kehancuran. Suara raungan naga itu bergema, mengguncang tanah hingga retak lebih dalam. Angin yang dihasilkan dari energi kegelapan membuat debu dan serpihan bebatuan terlempar ke segala arah, menciptakan badai kecil yang mengaburkan pandangan.Zhou Shen melesat ke udara, tubuhnya seperti sebuah meteor bercahaya yang menembus kegelapan. Qi biru menyala dari pedangnya menciptakan jejak terang di belakangnya, melawan aura gelap yang hampir menelan seluruh medan perang. Ia merasakan tekanan luar biasa, tubuhnya seakan ditindih ribuan beban, tetapi ia menggertakkan gigi dan memaksa tubuhnya terus maju.Ketika naga bayangan itu membuka mulutnya, rentetan energi hitam keluar seperti angin badai, berputar ganas menuju Zhou Shen. Suara bisingnya menyerupai ribuan jeritan dari dunia bawah, membuat udara bergetar dan menusuk gendang telinga. Zhou Shen menyila
Langit mulai kembali tenang, meski jejak pertarungan masih terasa di udara. Bau debu bercampur hangus menguar, menandai bekas-bekas serangan dahsyat. Zhou Shen berdiri tegap di tengah medan perang, tubuhnya dihiasi luka-luka kecil yang kini mulai sembuh berkat energi Savitri. Namun, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Savitri mendekatinya dengan langkah ringan, tongkatnya bersinar redup, seperti menenangkan alam yang baru saja bergejolak. "Zhou Shen," panggilnya pelan. "Apa kau yakin dengan langkahmu selanjutnya? Baiyan bukan sekadar musuh kuat; ia adalah utusan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Jika kau terus mengejar kegelapan ini, kau mungkin akan kehilangan lebih banyak." Zhou Shen menghela napas panjang. Tatapannya tetap tertuju ke cakrawala yang berwarna jingga, seolah mencari jawaban di baliknya. "Aku sudah kehilangan segalanya, Savitri. Keluargaku, rumahku... Semua itu direnggut dariku. Jika aku berhenti sekarang, maka semua pengorbanan mereka akan sia-sia. Aku tak
Zhou Shen dan Savitri memutuskan untuk meninggalkan medan perang yang telah hancur, melangkah menuju gunung di utara, tempat di mana Savitri merasa energi yang aneh dan kuat berasal. Keduanya bergerak dalam diam, angin malam berembus lembut, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di tengah perjalanan, Savitri menghentikan langkahnya. Ia memandang sekeliling dengan alis mengerut. "Zhou Shen, ada sesuatu yang aneh," bisiknya. Zhou Shen segera memperhatikan. Ia merasakan keheningan yang tidak wajar; tidak ada suara jangkrik, burung, atau binatang malam lainnya. Ia meraih gagang pedangnya dengan waspada. "Ada sesuatu yang mengawasi kita," katanya lirih. Dari balik bayang-bayang pepohonan, suara langkah berat terdengar, diiringi gema tawa rendah yang menghantui. Sebuah sosok tinggi muncul, wajahnya tersembunyi di balik topeng kayu berbentuk tengkorak. Jubah hitamnya berkibar pelan, dan di tangannya terdapat sebatang tombak dengan bilah berbentuk melengkung yang berkilau seper
Kemenangan besar yang diraih Negeri Ming tidak serta merta membuat negeri ini aman. Raja Dunia Persilatan yang mulai melihat kelemahan Negeri Ming mulai bergerak untuk menguasai Negeri Ming sehingga Negeri Ming akhirnya terbagi menjadi lima daerah kekuasaan yaitu :Dewa Racun Utara/Zhao Yun : Raja Dunia Persilatan Distrik Utara MingPendekar Pedang Barat/Chen Tian : Raja Dunia Persilatan Distrik Barat MingDewi Naga Timur/Liu Yin : Ratu Dunia Persilatan Distrik Timur MingPendekar Mabuk Selatan/Zhao Long : Raja Dunia Persilatan Distrik Selatan MingKaisar Bela Diri Pusat/Huang Ming : Raja Dunia Persilatan Distrik Pusat MingZhou Shen yang akhirnya memilih Sasha untuk menjadi pasangan hidupnya, kembali ke Eternity Nirvana bersama cinta sejatinya, membawa dendam membara di hati Dewi Naga Emas.Kepergian Zhou Shen ke Eternity Nirvana inilah yang membuat Negeri Ming terbagi menjadi lima kekuasaan besar yang dipimpin oleh masing-masing Raja Dunia Persilatan.Putri Qian Feng akhirnya memaafk
Kekalahan Naga Shankar adalah pukulan telak bagi Khan Agung. Sang raja Mongol, yang dikenal sebagai penguasa tak terkalahkan, berdiri di atas medan perang yang kini mulai berbalik melawan dirinya. Namun, amarahnya tidak surut. Dengan tatapan penuh kebencian, dia mengangkat tangannya ke langit, melafalkan mantra kuno yang menggema seperti gemuruh badai."Aku tidak akan kalah di tangan kalian, manusia lemah!" serunya, suaranya mengguncang bumi. Dari balik langit yang mulai memerah, aura hitam pekat berkumpul di sekeliling tubuh Khan Agung. Di kejauhan, sosok naga berwarna hitam legam dengan mata merah membara muncul dari balik awan.“Naga Hitam Tiamat!” seru Sasha dengan kengerian di wajahnya.Semua pasukan Ming dan Eternity Nirvana terpaku, termasuk Zhou Shen. Naga itu tidak hanya besar tapi ia adalah legenda, makhluk purba yang dianggap sebagai perwujudan kehancuran.“Zhou Shen, kita harus menghentikannya sebelum dia menghancurkan semuanya!” seru Kalindra, pedangnya menyala dengan kek
Saat pertarungan memuncak, medan perang menjadi ajang pertunjukan kekuatan yang melampaui batas manusia. Naga Shankar, raksasa hitam yang kini mengamuk, menyerang pasukan Ming tanpa henti. Kepakan sayapnya menciptakan badai yang menggulingkan barisan pertahanan, sementara api birunya membakar segala yang disentuhnya.Zhou Shen berdiri di hadapan Zhang Ming. Nafas mereka berat, masing-masing menggenggam senjata dengan penuh kebencian. "Kau mengkhianati segalanya, Zhang Ming. Aku akan memastikan kau tidak melangkah lebih jauh!""Pengkhianatan?" Zhang Ming terkekeh, suaranya penuh ejekan. "Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk bertahan hidup. Kau hanya anak kecil yang terjebak dalam masa lalu. Lihatlah siapa yang menjadi pemenang sekarang!"Zhang Ming meluncur ke depan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Pedangnya, yang berselimut aura kegelapan, menebas ke arah Zhou Shen. Namun, Zhou Shen, dengan reflek yang terlatih selama bertahun-tahun, menangkis serangan itu denga
Di tengah kemegahan Istana Mongol, Khan Agung duduk di atas takhta emasnya, wajahnya gelap seperti badai yang mengancam. Suara dentang lonceng perang bergema di seluruh aula, menandakan bahwa amarah sang raja telah mencapai puncaknya.“Shanxi tidak boleh berdiri setelah ini!” bentak Khan Agung, suaranya menggema keras. “Aku tidak akan membiarkan Negeri Ming memandang rendah kekaisaranku. Siapkan Naga Shankar. Kita akan menyapu Shanxi hingga menjadi abu!”Di hadapan Khan Agung, Ryu Zhen berdiri dengan kepala tertunduk, meskipun matanya memancarkan api dendam. Kekalahan di Shanxi telah menghancurkan egonya, tetapi itu juga membakar tekadnya untuk membuktikan bahwa ia adalah pendekar sejati.“Aku akan menuntaskan semuanya,” katanya lirih namun penuh keyakinan. “Aku akan menghancurkan Zhou Shen dan saudara kembarku. Dendam lama ini akan berakhir di medan perang berikutnya.”*****Kota Shanxi kembali dilanda kekacauan saat ribuan pasukan Mongol menyerbu di bawah naungan malam. Namun, yang
“Aku tidak akan lupa penghinaan ini, Ryu Zhin,” gumamnya dengan nada berapi-api, matanya membara penuh tekad. “Kita akan bertemu lagi, dan kali itu kau tidak akan selamat!”Di sisi lain, kemenangan ini tidak dirayakan dengan gegap gempita. Zhou Shen memimpin para pasukan naga yang masih utuh untuk mengevakuasi Shanxi dari kerusakan lebih lanjut. Sasha dan Kalindra, meskipun memimpin dengan karisma luar biasa, menyadari bahwa medan perang ini hanya sebagian kecil dari ancaman besar yang sedang berkembang.Zhou Shen berjalan mendekati Zixuan yang kini duduk di punggung Meraharani yang terluka. Naga merah itu mengerang pelan, napasnya berat, namun tatapannya tetap tajam. Zixuan memandang Zhou Shen dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.“Kau datang tepat waktu, seperti biasanya,” ujar Zixuan, mencoba tersenyum meski wajahnya memucat.“Kau bertahan lebih lama dari yang kuduga,” balas Zhou Shen, suaranya tenang namun penuh penghargaan. “Tidak mudah melawan naga emas dan Ryu Zhen.”Zixuan me
Setelah berhasil mendapatkan Nagarium dan menyegel perjanjian damai antara Heaven Eden dan Eternity Nirvana, Queen Savitri merasa utangnya kepada Zhou Shen tak akan terbalas dengan mudah. Di dalam hati, dia tahu ada rasa yang lebih dalam—sebuah cinta yang perlahan tumbuh terhadap Pendekar Naga Putih itu.Namun, Zhou Shen tetap memandang lurus pada tujuannya. Dia harus menemukan Paman Zhang, pria yang kini terungkap sebagai pembunuh orang tuanya. Kebencian yang membara di dalam dirinya membuatnya menolak untuk menyerah pada perasaan apa pun, termasuk cinta.Di aula besar kerajaan, Queen Savitri memanggil Zhou Shen dan menyerahkan Artefak Naga Waktu, sebuah artefak kuno yang mampu membuka portal waktu dan mengembalikan Zhou Shen ke masanya. "Dengan ini," ujar Savitri, suaranya bergetar, "kau bisa kembali dan menghadapi takdirmu di masa depan. Aku ingin kau tahu, Zhou Shen, aku akan selalu mendukungmu."Namun, Zhou Shen mengejutkan semua orang dengan keputusannya. "Aku tak bisa kembali s
Langit Shanxi memerah oleh api dan energi yang melesat dari pertarungan sengit antara naga merah Meraharani dan naga emas yang dikendarai Ryu Zhen. Namun, kekuatan gabungan naga Mongolia dan kehebatan Ryu Zhen perlahan memukul mundur para penjaga Shanxi. Meraharani terluka parah, sayapnya compang-camping, dan Arlang terempas ke tanah dengan raungan lemah.Zixuan berdiri di punggung Meraharani yang limbung, darah mengalir dari luka di lengannya. Napasnya berat, namun matanya tetap menatap Ryu Zhen yang bersiap mengakhiri perlawanan mereka."Ini akhirnya, Putri Zixuan," ujar Ryu Zhen, mengangkat pedangnya yang bercahaya emas. "Shanxi akan jatuh, dan kau akan menyaksikan kehancurannya!"Namun, sebelum pedangnya terayun, langit mendadak terbelah oleh kilatan cahaya putih. Dari celah dimensi yang terbuka di tengah angkasa, seekor naga putih raksasa muncul. Ia bergerak dengan kecepatan luar biasa, seperti bayangan yang tak dapat dilacak. Dengan raungan yang mengguncang bumi, naga itu mengha
Pemanah menarik busur mereka, api membara di ujung panah. Ketika pasukan musuh mendekat, aba-aba diberikan, dan panah-panah itu dilepaskan, melesat seperti hujan meteor ke arah barisan depan Mongolia. Suara panah menghantam perisai dan tubuh terdengar nyaring, namun pasukan musuh terus maju, tidak terhentikan.Di sisi lain, Zixuan mengeluarkan sesuatu dari kantong kecil di ikat pinggangnya—sebuah kristal berwarna biru kehijauan. Itu adalah Artefak Jiwa Langit, peninggalan kuno yang mampu memanggil kekuatan besar, tetapi dengan harga yang mahal."Aku tidak punya pilihan lain," gumamnya. Ia mengangkat kristal itu tinggi-tinggi, memusatkan energinya. Angin di sekitar Zixuan berputar kencang, rambutnya melayang, dan suara gemuruh datang dari dalam kristal itu. Cahaya biru terang meledak, menarik perhatian semua orang, termasuk Darjikhun.Di kejauhan, salah satu naga penjaga, seekor naga putih dengan tubuh yang ramping dan gerakan anggun, mendekati Zixuan. Namanya Arlang, naga angin yang d
Pertarungan di langit Shanxi dimulai dengan ledakan besar. Meraharani menerjang dengan kekuatan yang luar biasa, mulutnya terbuka, menyemburkan api merah menyala yang menembus langit kelabu. Naga hitam Mongolia menghindar dengan manuver tajam, sayapnya yang besar menciptakan pusaran angin yang membuat debu dan batu kecil beterbangan di bawah. Raungan mereka menggema, memenuhi udara dengan ketegangan dan kengerian.Di atas tembok kota, para pemanah Shanxi bersiap, busur mereka terangkat, ujung panah mengarah ke naga Mongolia. Perwira yang memimpin mereka, seorang pria dengan wajah keras dan mata tajam, berteriak, "Tunggu aba-aba dari Tuan Putri! Jangan tembak sebelum waktunya!"Di alun-alun, Zixuan memejamkan matanya sesaat, menghubungkan pikirannya dengan Meraharani. Ia tidak hanya memanggil naga itu, tetapi juga menyatukan tekad mereka. Suara Meraharani menggema dalam benaknya, tenang namun penuh kekuatan."Aku bersamamu, Zixuan. Kita tidak akan kalah."Di langit, naga hitam meluncur