Kilatan petir membelah langit, menggetarkan udara dengan suara gemuruh yang menggetarkan dada. Hutan Seribu Petir bersinar dalam cahaya biru dan ungu, menciptakan bayangan bergerak di antara pepohonan yang hitam legam akibat terbakar petir berkali-kali. Udara di sekitar begitu tebal dengan energi listrik hingga bulu kuduk berdiri, dan setiap tarikan napas terasa seperti menyedot api ke dalam paru-paru. Kui Long berdiri di atas batu besar, matanya tajam menatap ke kedalaman hutan yang penuh kilatan cahaya. Di tangannya, tombak pusaka itu bergetar halus, seolah hidup dan merespons setiap guntur yang meledak di angkasa. Ia menggerakkan jari-jarinya di sepanjang gagang tombak, merasakan aliran energi yang mendesir di dalamnya. "Semakin kita melangkah ke dalam, semakin kuat tarikan pusaka ini," gumamnya, suaranya serak oleh udara yang dipenuhi listrik. Di sampingnya, Song Lien Hwa mengangkat kepala, mata elangnya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan. "Aku tidak suka perasaan ini,"
Kilatan petir membelah langit kelam di atas Hutan Seribu Petir, menyingkap sekilas kekacauan yang melanda medan pertempuran. Suara gemuruhnya mengguncang bumi, membuat dedaunan yang basah oleh hujan bergetar ketakutan. Kui Long berdiri di tengah lingkaran, napasnya memburu, tubuhnya bersimbah darah—sebagian miliknya, sebagian lagi bukan. Tombak Dewa Petir dalam genggamannya berpendar seperti bintang yang bersinar sendirian di tengah malam tergelap. Mata Kui Long masih menyala dengan api perjuangan yang tak kunjung padam, meski tubuhnya kian terbebani luka.Di sekelilingnya, para kultivator dari Sekte Langit Mentari dan Sekte Teratai Ungu terus saling serang, suara logam beradu berpadu dengan jeritan perih. Sementara itu, di balik bayangan yang bergerak cepat, para kultivator dari Sekte Bayangan Naga merayap di kegelapan, mencoba mencuri pusaka tanpa menarik perhatian. Aroma besi dari darah bercampur dengan udara yang penuh listrik, menciptakan suasana yang membuat bulu kuduk meremang.
Kui Long menoleh dengan cepat, dan benar saja, sosok transparan Shen Wu Tian muncul di atas altar. Namun kali ini, auranya lebih gelap, lebih dingin. Ada sesuatu yang berbeda."Shen Wu Tian? Kau belum sepenuhnya hilang?" tanya Kui Long, tombaknya terangkat, siap menghadapi kemungkinan terburuk.Shen Wu Tian tersenyum tipis. "Aku adalah bagian dari pusaka ini, Kui Long. Selama kau memegangnya, aku tidak akan pernah benar-benar menghilang. Namun, kau harus tahu satu hal penting. Pusaka ini bukanlah tujuan akhir."Kui Long mengerutkan kening. "Apa maksudmu?""Pintu di depanmu itu adalah kunci menuju rahasia sejati dari Pusaka Dewa Petir," jelas Shen Wu Tian. "Tapi aku harus memperingatkanmu. Begitu kau melewatinya, tidak ada jalan untuk kembali. Dan dunia yang kau kenal akan berubah selamanya."Sebelum Kui Long bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari belakang. Ia berbalik dan melihat para petinggi sekte yang berhasil menyusulnya. Zhao Tianfang Mu Qingxue, dan Han Jue tiba hampi
Pintu istana raksasa itu menjulang megah di hadapan Kui Long, seperti gerbang ke dunia lain yang tersembunyi dalam mitos. Relief emas di permukaannya dipenuhi ukiran petir yang tampak hidup, membentuk siluet naga-naga kecil yang berkelok-kelok di antara kilauan cahaya yang terpantul dari permukaannya. Setiap guratan di pintu itu seolah berdenyut, seakan-akan menunggu kehadiran seseorang yang cukup layak untuk melewatinya.Kui Long melangkah mendekat, dan begitu ujung kakinya menyentuh ambang batu hitam, tombak di tangannya bergetar hebat. Pancaran cahaya biru dari pusaka itu semakin terang, membentuk pola listrik yang menjalari batangnya hingga ke ujung. Sensasi panas menjalar ke telapak tangannya, menembus hingga ke tulang, memacu aliran darahnya dengan semangat yang liar. Tiba-tiba, suara Shen Wu Tian bergema di benaknya, suaranya dalam dan penuh wibawa."Untuk memasuki istana ini, kau harus membuktikan kelayakanmu, Kui Long. Ada tiga tantangan yang menunggu. Setiap ujian akan mengu
Tantangan Kedua: Ujian JiwaBegitu Kui Long melangkahkan kaki ke dalam ruangan berikutnya, suhu udara seolah turun drastis. Kehangatan sebelumnya lenyap, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Tidak ada kilatan petir yang menyambar, tidak ada penjaga dengan senjata terhunus. Hanya kegelapan pekat yang merayap dari segala arah, seperti jaring laba-laba yang siap membelenggu.Kemudian, dari dalam bayang-bayang yang berkelindan, suara-suara itu muncul—menggema, mengiris sanubari."Kau membiarkan kami mati, Kui Long..."Suara itu, rendah dan parau, menusuk dadanya seperti belati. Matanya membelalak ketika melihat sosok ayahnya muncul dari kegelapan, wajahnya tirus dan penuh guratan duka. Mata pria tua itu dipenuhi kesedihan yang begitu dalam, membuat jantung Kui Long berdebar keras."Kau meninggalkan kami..."Kini suara lain bergema, lebih lembut tapi tak kalah menyakitkan. Sosok ibunya muncul dengan wajah sendu, sorot matanya penuh luka. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatak
Raja Dewa Petir berdiri dari singgasananya dengan gerakan anggun, namun setiap langkahnya mengguncang ruang singgasana seakan seluruh dimensi tunduk padanya. Dengan tombak petir raksasa di tangannya, ia mengarahkan ujung tombak itu ke Kui Long, dan seketika, langit-langit ruangan yang penuh dengan awan gelap menyala oleh kilatan petir merah menyilaukan."Ayo, Kui Long. Tunjukkan apakah tekadmu cukup kuat untuk menanggung beban ini," ujar Raja Dewa Petir. Suaranya menggema seperti halilintar, memenuhi ruangan dengan getaran energi yang menusuk.Kui Long tidak menjawab. Sebaliknya, ia langsung melesat maju dengan kecepatan luar biasa, tombaknya bersinar dengan cahaya biru pekat. Ia menebaskan tombaknya, menciptakan gelombang petir bercampur energi kegelapan yang berputar bagaikan badai. Suara ledakan menggema, memenuhi ruangan.Namun Raja Dewa Petir hanya mengangkat tangannya. Gelombang petir Kui Long terpecah sebelum mencapai tubuhnya, seperti air yang terbagi oleh karang besar. Ia ber
Kui Long berdiri di tepi tebing Hutan Seribu Petir, memandang ke arah lautan pepohonan yang diselimuti kilatan petir biru dan ungu. Udara di tempat itu terasa berat, penuh dengan energi listrik yang membuat kulitnya bergetar. Kali ini, ia bukan lagi Kui Long yang dulu. Pusaka Dewa Petir kini menyatu dengan tubuhnya, dan kekuatan luar biasa mengalir dalam dirinya.Dari kejauhan, suara pertempuran terdengar. Ledakan, jeritan, dan raungan energi menggema di udara. Kui Long segera mengenali sumbernya. Song Lien Hwa—dia sedang bertarung mati-matian. Lawannya adalah para pemimpin lima sekte besar: Zhao Tianfang dari Sekte Langit Mentari, Mu Qingxue dari Sekte Teratai Ungu, Zhang Long dari Sekte Lembah Iblis, Han Jue dari Sekte Bayangan Naga, dan Tang Shin dari Sekte Pedang Abadi.Kui Long melompat dari tebing tanpa ragu. Tubuhnya melesat turun seperti petir, aura biru yang membara menyelimuti tubuhnya. Tanah di bawahnya bergetar keras saat ia mendarat, meninggalkan kawah kecil yang berasap.
Setelah meninggalkan Hutan Seribu Petir, Kui Long dan Song Lien Hwa melanjutkan perjalanan mereka ke Kota Nirvana, kota terbesar di Negeri Song setelah Kota Kahyangan, tempat para kultivator terkuat berkumpul, termasuk mereka yang pernah mengabdi pada Dewa-Dewa Kuno. Kota itu terkenal karena menara-menara tinggi yang menjulang ke langit, dihiasi dengan lampu-lampu spiritual yang bercahaya di malam hari.Namun, perjalanan ke Kota Nirvana tidak sekadar mencari pengetahuan atau sekutu. Bagi Kui Long, kota itu menyimpan bayang-bayang masa lalunya yang kelam. Sebagai mantan Dewa Iblis Gerbang Neraka, ia pernah membantai sekte-sekte kecil di wilayah tersebut demi mencapai kejayaannya. Ia tahu bahwa jejak langkahnya dulu meninggalkan luka yang dalam, dan banyak yang masih memendam dendam padanya.Setibanya di Kota Nirvana, suasana kota yang ramai dan penuh warna tampak kontras dengan atmosfer hati Kui Long yang diliputi kegelisahan. Song Lien Hwa berjalan di sampingnya, mencoba menyembunyika
Di bawah sinar rembulan yang pucat, Kui Long melangkah dengan penuh keyakinan. Angin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan yang berguguran di sepanjang jalan setapak. Matanya yang tajam menyala dengan semangat yang tak tergoyahkan, mencerminkan tekadnya untuk mencapai Negeri Ming, tanah yang diyakini menyimpan rahasia naga.“Aku bisa merasakan kehadirannya,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara dedaunan yang berbisik diterpa angin.Di Negeri Ming, menurut legenda yang selama ini dikumpulkannya, bersemayam Naga Azteca—makhluk mitos purba yang diyakini memiliki kekuatan regenerasi dan energi primordial. Kekuatan itu konon dapat memulihkan kondisi tubuh ke puncak kultivasi, sesuatu yang sangat ia butuhkan sejak kehilangan sebagian besar energinya. Tubuhnya yang dulu gagah kini mulai melemah, dan ia tidak bisa membiarkan kelemahan itu menjadi penghalang dalam perjalanannya menuju kejayaan.Di sampingnya, Song Lien Hwa berjalan dengan langkah mantap
Kui Long melompat mundur, tubuhnya bergetar akibat hantaman energi yang menggetarkan udara. Namun, Jian Guozhi tidak memberinya ruang untuk bernapas. Dengan tatapan tajam bak kilat yang membelah cakrawala, ia mengayunkan tombaknya. Petir ungu menyambar dari ujung senjata itu, melesat turun seperti hujan kematian, menghantam tanah dengan ledakan yang mengguncang bumi.Kui Long merasakan aliran listrik yang menyengat di kulitnya, tetapi ia tetap teguh. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan Pusaka Dewa Petir. Aura biru menyala dari bilah senjata itu, membentuk perisai energi yang berputar liar mengelilinginya. Hujan petir menabrak perisai itu, menimbulkan letupan beruntun yang menggema ke seluruh dataran, menyilaukan langit malam dengan kilatan api biru dan ungu."Kau kuat, Jian Guozhi," ujar Kui Long dengan nada penuh tantangan. Napasnya sedikit memburu, tetapi matanya tetap bersinar dengan percaya diri. "Tapi kekuatan petirmu tidak akan cukup untuk menjatuhkanku."Jian Guozhi menye
Langit di atas dataran tandus Negeri Dewa menghitam seketika, seolah malam telah melahap siang tanpa peringatan. Awan-awan tebal menggulung, membentuk pusaran yang mengerikan di angkasa, sementara kilatan petir ungu merobek kegelapan dengan cahaya menyilaukan. Suara gemuruhnya menggema, bergetar di udara seperti peringatan ilahi bagi siapa saja yang berani menantang kekuatan tertinggi. Kui Long berdiri tegap di tepi tebing curam. Pusaka Dewa Petir di tangannya bergetar hebat, seakan bereaksi terhadap energi dahsyat yang baru saja menyelimuti tempat itu. Angin kencang menerpa wajahnya, membawa aroma udara yang pekat dan menusuk hidung. Di belakangnya, Song Lien Hwa berdiri dengan tatapan tajam, tombak emasnya berkilauan samar di tengah gelap yang merayap.Fenomena alam ini seakan menunjukkan adanya kekuatan Dewa yang mengendalikannya. Dari balik kabut pekat yang melayang di atas tanah, sesosok bayangan perlahan muncul. Langkah-langkahnya mantap, setiap gerakannya membawa aura mendomi
Guntur menggelegar di langit kelam, menciptakan gema yang mengguncang udara. Angin bertiup kencang, membawa debu dan serpihan batu beterbangan di antara reruntuhan benteng. Lao Shi adalah yang pertama bergerak. Otot-otot lengannya menegang saat ia mengangkat palu raksasanya tinggi ke udara, wajahnya penuh tekad. Dengan raungan menggema, ia menghantam tanah sekuat tenaga. "Haaah!" Tanah bergetar dahsyat. Retakan-retakan besar terbentuk, dan dari dalamnya, gelombang batu runcing bermunculan, melesat seperti tombak yang diarahkan tepat ke tubuh Kui Long. Namun, pria itu hanya menyeringai tipis. Dengan satu ayunan tombaknya yang berselimut petir, batu-batu itu hancur seketika menjadi serpihan kecil yang beterbangan di udara, menghilang dalam kilatan cahaya. Dari sisi lain, Qiang Chen tidak tinggal diam. Ia menggenggam guci berukir naga dengan erat, lalu menuangkan isinya ke tanah. Air yang keluar berpendar kebiruan, berputar dan membentuk sesosok naga raksasa yang berkelebat ke arah Ku
Langit di atas Benteng Gunung Langit terbakar merah, seolah api dari dunia lain tengah mengamuk di cakrawala. Kabut tipis yang bergelayut di puncak gunung berputar pelan, seperti tarian hantu yang menyambut malapetaka. Hawa di tempat itu berubah; lebih berat, lebih suram, seolah alam pun menahan napas di hadapan sesuatu yang tak terelakkan.Kui Long berdiri di tepi tebing, jubahnya yang hitam keunguan berkibar diterpa angin yang mengandung jejak petir. Dari keempat penjuru, ia bisa merasakan tekanan energi yang mendekat, masing-masing membawa kekuatan yang mampu menghancurkan dunia. Udara dipenuhi dengan getaran aneh, seolah tanah sendiri gentar menyambut kedatangan mereka."Dewa Tanah Lao Shi, Dewa Air Qiang Chen, Dewa Es Chao Duyi, dan Dewa Naga Jiao Long." Suara Kui Long rendah, tapi penuh kepastian. Matanya yang tajam berkilat menembus kegelapan, menangkap bayangan samar yang mulai muncul dari gerbang besar benteng. "Mereka akhirnya datang."Di sisinya, Song Lien Hwa menggenggam t
Langit di atas Kota Nirvana memancarkan warna ungu tua, pertanda senja telah tiba. Di atas menara tertinggi kota, Kui Long berdiri mengamati hamparan luas cakrawala, tubuhnya berselimut kilatan petir samar yang menyisakan keheningan tegang di udara. Luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh setelah pertarungan melawan Han Zhu, namun tatapan matanya tetap penuh dengan tekad.Song Lien Hwa berdiri di belakangnya, diam namun waspada. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi jemarinya yang dengan lembut menggenggam gagang tombak menunjukkan bahwa ia bersiap untuk apa pun yang akan datang.Angin dingin berembus, membawa aroma darah dan asap dari reruntuhan yang masih mengepul di Kota Nirvana. Suara gemerisik langkah kaki membuyarkan keheningan. Dari bawah, seorang pria tua berjubah abu-abu muncul, membawa kabar buruk yang segera mengubah atmosfer menjadi tegang."Kui Long," katanya dengan suara rendah, penuh kecemasan. "Han Zhu mungkin telah kalah, tetapi Enam Dewa Langit lainnya kini berku
Kota Nirvana berdiri megah di puncak dataran tinggi, dihiasi menara-menara emas yang memancarkan cahaya keemasan di bawah langit senja. Namun, di balik keindahannya, suasana mencekam menyelimuti seluruh kota. Penduduk setempat telah mendengar desas-desus bahwa salah satu Dewa dari Tujuh Dewa Langit, Han Zhu, telah tiba di kota tersebut. Kedatangannya bukan tanpa alasan—ia datang untuk memburu Dewa Iblis Gerbang Neraka, sosok yang kini dikenal sebagai Kui Long.Kui Long berdiri di tengah alun-alun kota yang kini kosong, hanya ditemani oleh Song Lien Hwa yang bersiap siaga di sisinya. Angin berhembus pelan, membawa aroma kematian yang samar. Di hadapan mereka, sosok Han Zhu melayang anggun, tubuhnya diselimuti nyala api emas yang berderak seperti lautan magma."Dewa Iblis Gerbang Neraka," suara Han Zhu menggema, berat namun penuh ketenangan yang mematikan. "Aku telah mencarimu selama bertahun-tahun. Akhirnya, kita bertemu. Hari ini, aku akan menuntaskan tanggung jawabku sebagai salah sa
Hei Mo berdiri di atas reruntuhan kuil tua, matanya menyala dengan kebencian yang mendidih. Ia menyadari bahwa Kui Long bukan lawan sembarangan—serangan biasa tak akan cukup untuk menjatuhkannya. Nafasnya menghangatkan udara dingin di sekelilingnya saat ia mengangkat kedua tangannya perlahan, menciptakan bayangan yang merayap dari kegelapan malam. Bayangan-bayangan itu menggumpal, berubah menjadi monster iblis berwujud mengerikan. Mata mereka menyala merah seperti bara api, dan cakar besar mereka berkilauan, dipenuhi aura kematian yang menyengat seperti racun. "Kui Long, kau tidak akan mampu melawan ini semua!" Hei Mo berseru, suaranya menggema di antara puing-puing. Angin berdesir kencang, membawa aroma besi yang pekat—bau darah dari pertempuran sebelumnya. Namun, Kui Long tetap tegap. Ia memutar Pusaka Dewa Petir di tangannya, dan dari senjata itu, energi listrik mulai mengalir deras, menari-nari di udara seperti ular-ular cahaya yang berdesis marah. Langit di atas mereka bergetar
Cahaya bulan yang biasanya menerangi Kota Nirvana kini tampak meredup, seolah-olah ditelan kabut hitam yang merambat perlahan dari tubuh Hei Mo. Udara yang tadinya sejuk mendadak terasa berat, dipenuhi aroma besi dan tanah lembap. Sosok berjubah hitam itu melangkah maju, dan dengan setiap langkahnya, bayangan seakan menggeliat, hidup, dan menyebar seperti tinta dalam air. Senyumnya merekah, namun bukan kehangatan yang terpancar darinya, melainkan kegelapan yang mencekam. Sepasang matanya berkilat seperti bara api yang tertutup abu hitam, penuh dengan rasa percaya diri yang mengerikan. "Kui Long," suaranya bergema, dalam dan dingin seperti angin yang berembus dari lorong-lorong kematian. "Kau bisa mencoba melarikan diri dari masa lalu, tapi bayang-bayang kegelapanmu akan selalu menemukanmu. Hari ini, aku akan mengingatkanmu siapa kau sebenarnya!" Kui Long berdiri tegak, tidak ada keraguan sedikit pun dalam posturnya. Pusaka Dewa Petir tergenggam erat di tangannya, dan saat ia menghe