Kui Long menoleh dengan cepat, dan benar saja, sosok transparan Shen Wu Tian muncul di atas altar. Namun kali ini, auranya lebih gelap, lebih dingin. Ada sesuatu yang berbeda."Shen Wu Tian? Kau belum sepenuhnya hilang?" tanya Kui Long, tombaknya terangkat, siap menghadapi kemungkinan terburuk.Shen Wu Tian tersenyum tipis. "Aku adalah bagian dari pusaka ini, Kui Long. Selama kau memegangnya, aku tidak akan pernah benar-benar menghilang. Namun, kau harus tahu satu hal penting. Pusaka ini bukanlah tujuan akhir."Kui Long mengerutkan kening. "Apa maksudmu?""Pintu di depanmu itu adalah kunci menuju rahasia sejati dari Pusaka Dewa Petir," jelas Shen Wu Tian. "Tapi aku harus memperingatkanmu. Begitu kau melewatinya, tidak ada jalan untuk kembali. Dan dunia yang kau kenal akan berubah selamanya."Sebelum Kui Long bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari belakang. Ia berbalik dan melihat para petinggi sekte yang berhasil menyusulnya. Zhao Tianfang Mu Qingxue, dan Han Jue tiba hampi
Pintu istana raksasa itu menjulang megah di hadapan Kui Long, seperti gerbang ke dunia lain yang tersembunyi dalam mitos. Relief emas di permukaannya dipenuhi ukiran petir yang tampak hidup, membentuk siluet naga-naga kecil yang berkelok-kelok di antara kilauan cahaya yang terpantul dari permukaannya. Setiap guratan di pintu itu seolah berdenyut, seakan-akan menunggu kehadiran seseorang yang cukup layak untuk melewatinya.Kui Long melangkah mendekat, dan begitu ujung kakinya menyentuh ambang batu hitam, tombak di tangannya bergetar hebat. Pancaran cahaya biru dari pusaka itu semakin terang, membentuk pola listrik yang menjalari batangnya hingga ke ujung. Sensasi panas menjalar ke telapak tangannya, menembus hingga ke tulang, memacu aliran darahnya dengan semangat yang liar. Tiba-tiba, suara Shen Wu Tian bergema di benaknya, suaranya dalam dan penuh wibawa."Untuk memasuki istana ini, kau harus membuktikan kelayakanmu, Kui Long. Ada tiga tantangan yang menunggu. Setiap ujian akan mengu
Tantangan Kedua: Ujian JiwaBegitu Kui Long melangkahkan kaki ke dalam ruangan berikutnya, suhu udara seolah turun drastis. Kehangatan sebelumnya lenyap, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Tidak ada kilatan petir yang menyambar, tidak ada penjaga dengan senjata terhunus. Hanya kegelapan pekat yang merayap dari segala arah, seperti jaring laba-laba yang siap membelenggu.Kemudian, dari dalam bayang-bayang yang berkelindan, suara-suara itu muncul—menggema, mengiris sanubari."Kau membiarkan kami mati, Kui Long..."Suara itu, rendah dan parau, menusuk dadanya seperti belati. Matanya membelalak ketika melihat sosok ayahnya muncul dari kegelapan, wajahnya tirus dan penuh guratan duka. Mata pria tua itu dipenuhi kesedihan yang begitu dalam, membuat jantung Kui Long berdebar keras."Kau meninggalkan kami..."Kini suara lain bergema, lebih lembut tapi tak kalah menyakitkan. Sosok ibunya muncul dengan wajah sendu, sorot matanya penuh luka. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatak
Raja Dewa Petir berdiri dari singgasananya dengan gerakan anggun, namun setiap langkahnya mengguncang ruang singgasana seakan seluruh dimensi tunduk padanya. Dengan tombak petir raksasa di tangannya, ia mengarahkan ujung tombak itu ke Kui Long, dan seketika, langit-langit ruangan yang penuh dengan awan gelap menyala oleh kilatan petir merah menyilaukan."Ayo, Kui Long. Tunjukkan apakah tekadmu cukup kuat untuk menanggung beban ini," ujar Raja Dewa Petir. Suaranya menggema seperti halilintar, memenuhi ruangan dengan getaran energi yang menusuk.Kui Long tidak menjawab. Sebaliknya, ia langsung melesat maju dengan kecepatan luar biasa, tombaknya bersinar dengan cahaya biru pekat. Ia menebaskan tombaknya, menciptakan gelombang petir bercampur energi kegelapan yang berputar bagaikan badai. Suara ledakan menggema, memenuhi ruangan.Namun Raja Dewa Petir hanya mengangkat tangannya. Gelombang petir Kui Long terpecah sebelum mencapai tubuhnya, seperti air yang terbagi oleh karang besar. Ia ber
Kui Long berdiri di tepi tebing Hutan Seribu Petir, memandang ke arah lautan pepohonan yang diselimuti kilatan petir biru dan ungu. Udara di tempat itu terasa berat, penuh dengan energi listrik yang membuat kulitnya bergetar. Kali ini, ia bukan lagi Kui Long yang dulu. Pusaka Dewa Petir kini menyatu dengan tubuhnya, dan kekuatan luar biasa mengalir dalam dirinya.Dari kejauhan, suara pertempuran terdengar. Ledakan, jeritan, dan raungan energi menggema di udara. Kui Long segera mengenali sumbernya. Song Lien Hwa—dia sedang bertarung mati-matian. Lawannya adalah para pemimpin lima sekte besar: Zhao Tianfang dari Sekte Langit Mentari, Mu Qingxue dari Sekte Teratai Ungu, Zhang Long dari Sekte Lembah Iblis, Han Jue dari Sekte Bayangan Naga, dan Tang Shin dari Sekte Pedang Abadi.Kui Long melompat dari tebing tanpa ragu. Tubuhnya melesat turun seperti petir, aura biru yang membara menyelimuti tubuhnya. Tanah di bawahnya bergetar keras saat ia mendarat, meninggalkan kawah kecil yang berasap.
Setelah meninggalkan Hutan Seribu Petir, Kui Long dan Song Lien Hwa melanjutkan perjalanan mereka ke Kota Nirvana, kota terbesar di Negeri Song setelah Kota Kahyangan, tempat para kultivator terkuat berkumpul, termasuk mereka yang pernah mengabdi pada Dewa-Dewa Kuno. Kota itu terkenal karena menara-menara tinggi yang menjulang ke langit, dihiasi dengan lampu-lampu spiritual yang bercahaya di malam hari.Namun, perjalanan ke Kota Nirvana tidak sekadar mencari pengetahuan atau sekutu. Bagi Kui Long, kota itu menyimpan bayang-bayang masa lalunya yang kelam. Sebagai mantan Dewa Iblis Gerbang Neraka, ia pernah membantai sekte-sekte kecil di wilayah tersebut demi mencapai kejayaannya. Ia tahu bahwa jejak langkahnya dulu meninggalkan luka yang dalam, dan banyak yang masih memendam dendam padanya.Setibanya di Kota Nirvana, suasana kota yang ramai dan penuh warna tampak kontras dengan atmosfer hati Kui Long yang diliputi kegelisahan. Song Lien Hwa berjalan di sampingnya, mencoba menyembunyika
Serangan itu datang dengan cepat, nyaris membutakan siapa pun yang melihatnya. Namun, sebelum bisa menyentuh targetnya, seorang wanita muda meloncat keluar dari kerumunan. Dengan gerakan anggun namun penuh tenaga, ia menghunuskan pedang kecilnya, menghalangi serangan tersebut. Mata wanita itu memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. "Hentikan, kakek!" serunya lantang, suaranya menggema di udara yang penuh ketegangan. "Ini tidak akan membawa kita ke mana-mana! Jika kau membunuhnya, apakah keluargamu akan kembali?" Pria tua itu terhenti, seolah kata-kata wanita muda itu menusuk lebih dalam daripada pedangnya sendiri. Napasnya memburu, tangan yang menggenggam senjata itu gemetar. Sementara itu, wanita muda tersebut berbalik, menatap langsung ke arah Kui Long dengan tatapan tajam namun penuh arti. "Aku tidak tahu apakah kau benar-benar berubah atau tidak," ucapnya, nada suaranya rendah namun tegas. "Tapi kalau kau benar-benar ingin menebus dosa-dosamu, kau harus membuktikannya. Bukan
Cahaya bulan yang biasanya menerangi Kota Nirvana kini tampak meredup, seolah-olah ditelan kabut hitam yang merambat perlahan dari tubuh Hei Mo. Udara yang tadinya sejuk mendadak terasa berat, dipenuhi aroma besi dan tanah lembap. Sosok berjubah hitam itu melangkah maju, dan dengan setiap langkahnya, bayangan seakan menggeliat, hidup, dan menyebar seperti tinta dalam air. Senyumnya merekah, namun bukan kehangatan yang terpancar darinya, melainkan kegelapan yang mencekam. Sepasang matanya berkilat seperti bara api yang tertutup abu hitam, penuh dengan rasa percaya diri yang mengerikan. "Kui Long," suaranya bergema, dalam dan dingin seperti angin yang berembus dari lorong-lorong kematian. "Kau bisa mencoba melarikan diri dari masa lalu, tapi bayang-bayang kegelapanmu akan selalu menemukanmu. Hari ini, aku akan mengingatkanmu siapa kau sebenarnya!" Kui Long berdiri tegak, tidak ada keraguan sedikit pun dalam posturnya. Pusaka Dewa Petir tergenggam erat di tangannya, dan saat ia menghe
Negeri Han bersinar bak permata di tengah dunia kultivator, seolah menantang kegelapan masa lalu. Sejak runtuhnya Dewa Iblis Gerbang Neraka—yang kejatuhannya bukan semata karena kehebatan Immortal dan kultivator Negeri Han, melainkan akibat fitnah licik dari Kaisar Han yang cemas akan bayang-bayang Shin Kui Long—kemenangan itu pun menyelimuti setiap sudut negeri.Pagoda megah yang pernah menjadi saksi bisu pengorbanan dan kejatuhan Dewa Iblis Gerbang Neraka kini telah dibersihkan dengan teliti, setiap ukiran batu di dalamnya memantulkan sinar mentari pagi yang lembut. Suara angin yang berdesir di antara celah-celah pagoda seakan menyanyikan lagu kemenangan, menambah kesan agung yang terpancar dari bangunan tersebut.Namun, di balik kemegahan istana dan semangat yang berkobar, Kaisar Han yang tengah menikmati kejayaannya belum menyadari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Suatu pagi, ruangan rapat yang biasanya dipenuhi sorak-sorai kini berubah sunyi dan dingin. Udara terasa
Di tengah Lembah Kabut Iblis, kabut kelam berputar semakin padat, menciptakan suasana mencekam yang membuat udara terasa berat dan lembap. Kui Long dan Naga Azteca melangkah mantap, tatapan mereka tajam menatap siluet pria bertopeng yang berdiri di puncak reruntuhan kuil kuno."Kalian akhirnya datang," suara pria bertopeng itu bergema, penuh kekuatan yang menusuk sanubari. "Namun, kalian sudah terlambat. Segel telah dilepaskan, dan kini aku telah mencapai wujud asliku."Tiba-tiba, langit menggelegar, dan tubuh pria bertopeng itu mulai bergetar. Kabut pekat melesat menyelubungi tubuhnya, sementara raungan mengerikan menggema dari dalam dirinya. Topengnya retak, memperlihatkan mata berwarna merah menyala yang bersinar penuh kebencian. Dalam sekejap, tubuhnya berubah, membesar, kulitnya menghitam dan bersisik, tanduk-tanduk tajam mencuat dari kepalanya."Naga Iblis...!" seru Naga Azteca, matanya membelalak melihat sosok mengerikan yang kini berdiri di hadapan mereka.Dari tubuh pria bert
Di balik reruntuhan kuil tua, pria bertopeng itu berdiri tegak, siluetnya samar tertutup kabut senja. Matanya yang tajam menatap medan pertempuran yang kini sunyi, hanya menyisakan bekas darah dan tubuh-tubuh yang terkapar. Klan Naga Kembar telah gagal, tubuh mereka tergeletak tanpa daya, sementara angin malam membawa bisikan kehancuran."Menarik..." gumam pria bertopeng itu, suaranya dingin bak embun beku. "Mereka lebih tangguh dari yang kuduga."Ia berbalik, menatap tiga sosok bayangan yang berdiri tegap di belakangnya. Masing-masing memiliki aura mengerikan yang bergetar di udara."Kita harus mempersiapkan rencana berikutnya," lanjutnya. "Pastikan mereka tidak melangkah lebih jauh. Aku tidak ingin ada gangguan lagi."Ketiga bayangan itu hanya mengangguk sebelum menghilang dalam sekelebat kabut gelap.*****Di sisi lain, Kui Long, Naga Azteca, dan para sekutu mereka melangkah dengan hati-hati menuju Lembah Kabut Iblis. Suasana semakin mencekam seiring mendung yang bergelayut di lang
Di tengah malam yang pekat, Kui Long dan Naga Azteca menyusuri lorong-lorong sempit kota yang diselimuti bayangan. Mereka tidak menyadari bahwa setiap langkah mereka diawasi oleh mata-mata dari Klan Naga Kembar yang bersembunyi di kegelapan. Saat mereka tiba di sebuah alun-alun yang sunyi, bayangan-bayangan mulai bergerak, menampakkan sosok-sosok dengan senjata terhunus yang mengepung mereka.Salah satu dari mereka, dengan suara sedingin es, berkata, "Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Pria bertopeng itu adalah milik kami."Kui Long dan Naga Azteca saling bertukar pandang, kemudian mengangguk. Mereka merasakan energi chi mengalir deras dalam tubuh mereka, mempersiapkan diri untuk pertempuran yang tak terelakkan. Denting senjata beradu segera memenuhi udara, menandakan dimulainya pertarungan sengit. Meskipun keterampilan mereka luar biasa, jumlah musuh yang banyak mulai membuat mereka kewalahan.Klan Naga Kmbar memiliki petarung-petarung tangguh yang sangat menyulitkan mereka berdua.
Kui Long melangkah cepat melalui lorong-lorong sempit yang berliku, bayangan malam menyelimuti setiap sudut kota. Aroma rempah-rempah dan asap dupa bercampur dengan bau lembap dari dinding batu tua. Telinganya menangkap setiap suara—bisikan pedagang yang masih bertransaksi, langkah kaki terburu-buru, dan desahan angin yang menyusup melalui celah-celah bangunan.Tiba-tiba, sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya, menariknya ke dalam kegelapan sebuah gang sempit. Kui Long hampir saja bereaksi dengan serangan, namun matanya segera mengenali wajah yang familiar."Naga Azteca," bisiknya, melepaskan diri dari cengkeraman itu. "Apa yang kau temukan? Kau bisa berubah jadi manusia juga?"Naga Azteca menganggukan kepala, dengan mata emasnya yang tajam, menatapnya serius. "Pria bertopeng itu bukan orang sembarangan. Gerakannya terlatih, dan dia tahu persis apa yang dia cari."Kui Long mengangguk, mengingat kilatan koin berkilauan yang diambil pria itu. "Itu adalah lambang sekte rahasia. Jika
Kui Long tetap mempertahankan senyumannya, seolah menikmati permainan ini. Namun, jauh di dalam dadanya, jantungnya berdetak dengan ritme yang terukur, menandakan kewaspadaan yang tajam. Ia sudah menyiapkan seribu cara untuk meloloskan diri jika situasi berbalik melawannya. Tatapan pria bertato naga di hadapannya masih mengunci dirinya, dingin dan penuh selidik, seakan hendak menerobos lapisan pikirannya yang terdalam.Di kejauhan, di antara bayangan yang menari di lorong-lorong sempit pasar, Naga Azteca bergerak seperti angin. Langkahnya ringan, nyaris tak berjejak, napasnya teratur seperti predator yang mengintai mangsanya. Matanya yang berwarna emas menyapu setiap sudut, menangkap detail sekecil apa pun. Aroma logam dari senjata tersembunyi yang dibawa para penjaga klan bercampur dengan harum manis buah-buahan yang dijajakan di pasar. Sorot matanya menyipit ketika melihat sosok mencurigakan bersembunyi di antara keramaian.Tiba-tiba, suara dentingan logam beradu merobek kesunyian y
Angin dingin berhembus dari arah laut, membawa serta aroma asin yang bercampur dengan harum rempah-rempah dari pasar terdekat. Di bawah sinar matahari yang keemasan, permukaan lautan berkilauan, memantulkan bayangan kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan Kota Naga Biru. Kota yang merupakan kota tersibuk dan terpadat di Negeri Ming, Dunia Naga.Di kejauhan, gunung-gunung es menjulang dengan megah, puncaknya berkilauan seperti kristal yang tertimpa cahaya. Gunung es abadi yang menyimpan misteri tentang artefak kuno dari kejayaan naga di jaman dahulu yang bisa berubah menjadi manusia dan menjadi kultivator sejati.Namun sekarang, Negeri Ming banyak dikuasai Klan Naga dan juga Naga yang memiliki kecerdasan tinggi seperti Naga Iblis.Kui Long berjalan perlahan di antara kerumunan, jubah pedagangnya berkibar diterpa angin. Benang emas yang menghiasi kainnya menangkap cahaya, menambah kesan bahwa dirinya bukan pedagang biasa. Senyum ramahnya menyembunyikan kehati-hatian yang terlatih,
Perahu kecil itu berlayar perlahan di bawah langit yang dipenuhi kabut keemasan. Ombak di sekitar Pulau Naga Langit bergulung dengan gelombang yang tak biasa, seolah merasakan kehadiran para pendekar. Dewa Mabuk Kong Ming, Song Lien Hwa, Dewa Pedang Wei Bu, dan Yin Yin berdiri di haluan, mata mereka menatap lurus ke arah daratan yang mulai tampak di kejauhan. Di atas mereka, Rajawali Emas mengepakkan sayapnya, menyelinap di antara awan, mengawasi dari ketinggian.Saat mereka mendarat, suara gemuruh bergema dari tengah pulau. Kilatan cahaya perak dan emas membelah udara, lalu sesosok wanita berbalut jubah sutra hijau zamrud melayang di atas mereka. Itu adalah Dewi Naga Shiu Ling, penguasa Pulau Naga Langit. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tatapan matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kegelapan, bibirnya melengkung dalam senyum dingin.“Kong Ming, Wei Bu… Kalian berani datang ke wilayahku?” Suaranya bergema seperti angin yang menusuk tulang."Shiu Ling! Kenapa kau bisa berubah sepert
Rubah Hitam Ekor Sembilan Yin Yin melompat ke udara dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Tubuhnya bergerak lincah, setiap ekornya menyapu udara dan menciptakan gelombang energi gelap yang menggetarkan ruang. Mata merahnya bersinar kejam saat ia menatap Song Lien Hwa, yang sudah bersiap dengan pedangnya."Song Lien Hwa, kau bukan tandinganku lagi!" suara Yin Yin bergema, dipenuhi kekuatan kegelapan yang menakutkan. Dengan satu kibasan ekornya, angin hitam melesat menuju Song Lien Hwa, membawa aura kehancuran.Song Lien Hwa segera menangkis dengan jurus Pedang Langit Menyapu Awan. Ia melompat ke atas, bilah pedangnya berputar membentuk pusaran angin yang membelah gelombang kegelapan Yin Yin. Namun, Yin Yin tidak memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat dalam bayangan, muncul di belakang Song Lien Hwa dan meluncurkan cakar tajamnya."Cepat sekali!" Song Lien Hwa hampir terlambat menghindar, namun dengan reflek luar biasa, ia membalikkan pedangnya dan menangkis serangan itu. Dentingan