Langit di atas Benteng Gunung Langit terbakar merah, seolah api dari dunia lain tengah mengamuk di cakrawala. Kabut tipis yang bergelayut di puncak gunung berputar pelan, seperti tarian hantu yang menyambut malapetaka. Hawa di tempat itu berubah; lebih berat, lebih suram, seolah alam pun menahan napas di hadapan sesuatu yang tak terelakkan.Kui Long berdiri di tepi tebing, jubahnya yang hitam keunguan berkibar diterpa angin yang mengandung jejak petir. Dari keempat penjuru, ia bisa merasakan tekanan energi yang mendekat, masing-masing membawa kekuatan yang mampu menghancurkan dunia. Udara dipenuhi dengan getaran aneh, seolah tanah sendiri gentar menyambut kedatangan mereka."Dewa Tanah Lao Shi, Dewa Air Qiang Chen, Dewa Es Chao Duyi, dan Dewa Naga Jiao Long." Suara Kui Long rendah, tapi penuh kepastian. Matanya yang tajam berkilat menembus kegelapan, menangkap bayangan samar yang mulai muncul dari gerbang besar benteng. "Mereka akhirnya datang."Di sisinya, Song Lien Hwa menggenggam t
Guntur menggelegar di langit kelam, menciptakan gema yang mengguncang udara. Angin bertiup kencang, membawa debu dan serpihan batu beterbangan di antara reruntuhan benteng. Lao Shi adalah yang pertama bergerak. Otot-otot lengannya menegang saat ia mengangkat palu raksasanya tinggi ke udara, wajahnya penuh tekad. Dengan raungan menggema, ia menghantam tanah sekuat tenaga. "Haaah!" Tanah bergetar dahsyat. Retakan-retakan besar terbentuk, dan dari dalamnya, gelombang batu runcing bermunculan, melesat seperti tombak yang diarahkan tepat ke tubuh Kui Long. Namun, pria itu hanya menyeringai tipis. Dengan satu ayunan tombaknya yang berselimut petir, batu-batu itu hancur seketika menjadi serpihan kecil yang beterbangan di udara, menghilang dalam kilatan cahaya. Dari sisi lain, Qiang Chen tidak tinggal diam. Ia menggenggam guci berukir naga dengan erat, lalu menuangkan isinya ke tanah. Air yang keluar berpendar kebiruan, berputar dan membentuk sesosok naga raksasa yang berkelebat ke arah Ku
Langit di atas dataran tandus Negeri Dewa menghitam seketika, seolah malam telah melahap siang tanpa peringatan. Awan-awan tebal menggulung, membentuk pusaran yang mengerikan di angkasa, sementara kilatan petir ungu merobek kegelapan dengan cahaya menyilaukan. Suara gemuruhnya menggema, bergetar di udara seperti peringatan ilahi bagi siapa saja yang berani menantang kekuatan tertinggi. Kui Long berdiri tegap di tepi tebing curam. Pusaka Dewa Petir di tangannya bergetar hebat, seakan bereaksi terhadap energi dahsyat yang baru saja menyelimuti tempat itu. Angin kencang menerpa wajahnya, membawa aroma udara yang pekat dan menusuk hidung. Di belakangnya, Song Lien Hwa berdiri dengan tatapan tajam, tombak emasnya berkilauan samar di tengah gelap yang merayap.Fenomena alam ini seakan menunjukkan adanya kekuatan Dewa yang mengendalikannya. Dari balik kabut pekat yang melayang di atas tanah, sesosok bayangan perlahan muncul. Langkah-langkahnya mantap, setiap gerakannya membawa aura mendomi
Kui Long melompat mundur, tubuhnya bergetar akibat hantaman energi yang menggetarkan udara. Namun, Jian Guozhi tidak memberinya ruang untuk bernapas. Dengan tatapan tajam bak kilat yang membelah cakrawala, ia mengayunkan tombaknya. Petir ungu menyambar dari ujung senjata itu, melesat turun seperti hujan kematian, menghantam tanah dengan ledakan yang mengguncang bumi.Kui Long merasakan aliran listrik yang menyengat di kulitnya, tetapi ia tetap teguh. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan Pusaka Dewa Petir. Aura biru menyala dari bilah senjata itu, membentuk perisai energi yang berputar liar mengelilinginya. Hujan petir menabrak perisai itu, menimbulkan letupan beruntun yang menggema ke seluruh dataran, menyilaukan langit malam dengan kilatan api biru dan ungu."Kau kuat, Jian Guozhi," ujar Kui Long dengan nada penuh tantangan. Napasnya sedikit memburu, tetapi matanya tetap bersinar dengan percaya diri. "Tapi kekuatan petirmu tidak akan cukup untuk menjatuhkanku."Jian Guozhi menye
Di bawah sinar rembulan yang pucat, Kui Long melangkah dengan penuh keyakinan. Angin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan yang berguguran di sepanjang jalan setapak. Matanya yang tajam menyala dengan semangat yang tak tergoyahkan, mencerminkan tekadnya untuk mencapai Negeri Ming, tanah yang diyakini menyimpan rahasia naga.“Aku bisa merasakan kehadirannya,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara dedaunan yang berbisik diterpa angin.Di Negeri Ming, menurut legenda yang selama ini dikumpulkannya, bersemayam Naga Azteca—makhluk mitos purba yang diyakini memiliki kekuatan regenerasi dan energi primordial. Kekuatan itu konon dapat memulihkan kondisi tubuh ke puncak kultivasi, sesuatu yang sangat ia butuhkan sejak kehilangan sebagian besar energinya. Tubuhnya yang dulu gagah kini mulai melemah, dan ia tidak bisa membiarkan kelemahan itu menjadi penghalang dalam perjalanannya menuju kejayaan.Di sampingnya, Song Lien Hwa berjalan dengan langkah mantap
Langkah Kui Long menggema di dalam kuil yang remang-remang, setiap jejaknya memantul di antara dinding batu yang dipenuhi ukiran kuno. Udara di dalam terasa berat, seolah dipenuhi bisikan arwah dari masa lalu. Aroma tanah lembab bercampur dengan dupa yang terbakar samar memenuhi hidungnya, membangkitkan rasa gelisah yang menggantung di udara.Di belakangnya, Song Lien Hwa melangkah dengan hati-hati. Jemarinya menggenggam gagang pedang dengan kuat, matanya awas menelusuri bayangan yang menari di dinding. Cahaya biru yang memancar dari jantung kuil semakin kuat, membentuk pusaran energi yang berdenyut seirama dengan detak jantung mereka."Rasanya seperti... sesuatu sedang mengawasi kita," bisik Song Lien Hwa, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.Kui Long berhenti di tengah aula utama. Tepat di hadapannya, sebuah patung naga raksasa terpahat dari obsidian hitam, mata safirnya berkilau seolah memiliki nyawa. Ia melangkah lebih dekat, merasakan hawa dingin yang merambat di kulitnya.
Kui Long menatap mata Naga Azteca yang bersinar tajam. Nafasnya masih berat setelah melewati ujian berat yang hampir meremukkan jiwanya. Namun, ia tahu bahwa apa yang akan ia minta jauh lebih sulit dari apa pun yang telah ia hadapi."Naga Azteca," suara Kui Long bergema di aula suci. "Aku meminta sesuatu yang besar darimu. Aku ingin kau mengikutiku. Bergabung denganku."Song Lien Hwa menahan napasnya. Permintaan itu tak hanya berani—ia nyaris terdengar seperti penghinaan bagi makhluk agung seperti Naga Azteca.Naga itu mendesis rendah, tubuhnya berkilauan dalam cahaya mistis. "Manusia fana, kau ingin aku tunduk padamu? Apakah kau pikir aku hanyalah pedang yang bisa kau hunus sesukamu?"Angin bertiup kencang. Kui Long tetap berdiri tegak. "Bukan tunduk. Aku ingin kita menjadi satu kekuatan. Kita memiliki tujuan yang sama—menghancurkan mereka yang ingin mengeksploitasi kekuatan naga. Aku butuh kekuatanmu, dan kau butuh seseorang yang bisa berjalan di antara manusia untuk mencegah traged
Kilatan cahaya hijau yang menyelimuti ruangan dengan tajam seolah membuka tirai misteri, tiba-tiba digantikan oleh semburan api biru kehijauan yang menyembur dari tubuh Naga Azteca. Sinar api itu menari liar, menghanguskan sebagian anggota Sekte Penakluk Surgawi, seolah menandakan dimulainya pertumpahan darah yang tak terhindarkan. Meski api mengamuk, para penyintas tetap berdiri dengan gagah; mata mereka menyala merah, dan senyum sinis terukir di wajah mereka, seakan menantang nasib. Dari balik jubah hitam yang menyelimuti tubuh mereka, bayangan-bayangan hitam merayap keluar perlahan, menyusun sosok-sosok iblis yang mengelilingi Kui Long dan Song Lien Hwa dalam keremangan yang mencekam.Di tengah kekacauan itu, Song Lien Hwa menggenggam pedangnya sekuat tenaga sambil menggumam,"Mereka telah terperangkap dalam kegelapan sepenuhnya…"suara pedangnya bergesekan lembut dengan kulit, menambah intensitas setiap kata yang diucapkannya.Tak lama kemudian, seorang pemimpin sekte—seorang pria
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi
—Dua kekuatan kuno bertabrakan di langit dunia—Langit seolah mendidih. Darah para bintang menetes ke bumi dalam bentuk kilatan energi liar yang tak terbendung.Naga Wrath, makhluk dari reruntuhan abadi dan badai abadi, meraung liar, memekakkan setiap jiwa yang masih tersisa di medan perang. Petir hitam di tubuhnya kini menebal, menciptakan badai magnetik raksasa yang menghisap segala bentuk energi spiritual di sekitarnya. Ia menggulung udara menjadi tombak-tombak listrik yang melesat ke segala arah. Salah satunya menghantam dada Azteca, meledak menjadi gelombang plasma yang membelah awan.Azteca mengerang, tapi tidak mundur.Matanya yang bersinar biru kehijauan kini berubah menjadi merah darah. Simbol-simbol kuno di tubuhnya menyala lebih terang, berdenyut seperti jantung dunia itu sendiri. Dari sela-sela sisiknya, muncul kilatan emas—bukan emas biasa, melainkan “Ollin”, esensi gerak semesta.“Tlazohcamati, Huehuecoyotl... berikan aku tarian terakhir dari para dewa.”Azteca terangkat
Ledakan terakhir dari serangan pusaran hitam yang menelan Lin Feng masih membekas di langit, membelah awan menjadi dua. Debu dan puing dari tanah yang terkoyak beterbangan, sementara api dan es beradu di udara, menciptakan pelangi berdarah di cakrawala. Namun di tengah kekacauan itu, medan perang belum berhenti berdetak.***Di atas langit merah, Naga Azteca menggila. Sisiknya yang bersinar dengan pola kuno berkedip cepat, menandakan amarah yang tak lagi bisa dibendung. Naga Wrath meraung menantang, tubuhnya yang berbalut petir hitam meluncur dengan kecepatan meteor, membentur perisai spiritual Azteca hingga ruang di sekitarnya retak seperti kaca.Namun kali ini, Azteca membuka mulutnya, mengeluarkan suara bernada rendah, nyaris seperti nyanyian ritual. “Hezkani... teotl tlatoani...”—dan tiba-tiba, ribuan simbol kuno terpancar dari tubuhnya, membentuk lingkaran sihir raksasa di langit.Ritual Leluhur Azteca—Sumpah Darah Langit Ketujuh.Ritual itu bukan sekadar serangan. Ia adalah wari
Di bawah langit yang muram, dua sosok bertarung dengan intensitas yang mengguncang alam semesta. Kui Long dan Lin Feng saling berhadapan, energi mereka bertabrakan dan menciptakan gelombang dahsyat yang meremukkan segala yang ada di sekeliling.Lin Feng, dengan Pedang Surgawi yang memancarkan cahaya keemasan, melesat seperti kilat. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya yang membelah udara, menembus kegelapan yang menyelimuti Kui Long. Namun, Dewa Iblis Gerbang Neraka itu tidak tinggal diam. Dengan senyum sinis, ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan yang berputar ganas, menyerap sebagian besar serangan Lin Feng."Tidak buruk, Lin Feng," suara Kui Long bergema, berat dan penuh kekuatan. "Tapi kau harus berusaha lebih keras untuk mengalahkanku!"Dengan gerakan cepat, Kui Long membentuk tombak hitam raksasa yang berputar liar, dipenuhi energi destruktif. Tombak itu melesat menuju Lin Feng dengan kecepatan yang hampir tak terjangkau oleh mata manusia.Lin Fe
Langit semakin gelap, awan hitam bergulung seperti naga yang mengamuk, seolah turut meratapi pertarungan yang mengguncang dunia. Petir sesekali menyambar cakrawala, menerangi medan perang yang penuh kehancuran. Di tengah reruntuhan, Lin Feng berdiri tegak, Pedang Surgawi terangkat tinggi, memancarkan cahaya emas yang menembus kelamnya kabut hitam yang menyelimuti Kui Long.Pria berjuluk "Dewa Iblis Gerbang Neraka" itu menyeringai. Bukan tanpa alasan ia mendapatkan nama tersebut—bukan karena ia benar-benar iblis, melainkan karena kultivasi kegelapannya yang telah mencapai tingkat yang hanya bisa ditakuti. Tubuhnya, yang diselubungi energi hitam pekat, tampak semakin kokoh. Udara di sekelilingnya bergetar, dipenuhi aura kematian yang mengerikan."Lin Feng," suara Kui Long terdengar serak namun penuh percaya diri. "Kau sudah menunjukkan segalanya. Kini, biarkan aku menunjukkan kekuatan sejati kultivasi kegelapan!"Dengan satu hentakan kaki, tanah di bawahnya merekah, suara retakan mengge
Kui Long mengerahkan seluruh kekuatan gelapnya, tubuhnya mulai diselimuti oleh kabut pekat yang berdenyut dengan energi iblis. Rantai api neraka yang sebelumnya melesat kini berputar liar di sekelilingnya, membentuk lingkaran kehancuran yang siap melumat apa pun yang mendekat. Matanya berkilat merah menyala, suara tawa penuh amarah bergema di tengah pertempuran yang semakin kacau."Lin Feng! Kau pikir dirimu tak terkalahkan? Aku akan menunjukkan kekuatan sejati seorang dewa iblis!" teriak Kui Long dengan suara bergemuruh.Tiba-tiba, tanah di bawahnya merekah lebih dalam, dan dari celah-celahnya muncul ribuan pedang hitam yang seolah hidup merangkak dari dunia bawah. Pedang-pedang itu bergerak cepat, berputar udara, berusaha mengurung Lin Feng yang melayang di udara. Namun, bukannya mundur, Lin Feng justru melesat maju, menerjang ke arah Kui Long dengan kecepatan yang melampaui pandangan manusia biasa."Jika itu kekuatan terbesarmu, maka ini akhir perjalananmu!" Suara Lin Feng beresona
Lin Feng melayang di udara, tubuhnya berputar dengan kelincahan luar biasa, menghindari rantai api neraka yang melesat cepat, nyaris membakar ujung jubahnya. Udara di sekitarnya mendesis panas, membawa aroma belerang yang menusuk. Matanya berkilat tajam, penuh tekad yang tak tergoyahkan. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan Pedang Surgawi, menghunuskan bilahnya ke bawah. Gelombang energi berdesing, membelah udara dengan suara nyaring, lalu menghantam tanah dengan kekuatan dahsyat. Sebuah jurang raksasa tercipta, batu-batu beterbangan ke segala arah.Kui Long melompat ke belakang, matanya membelalak menyaksikan kehancuran yang baru saja terjadi. Namun, Lin Feng tak memberinya kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, ia sudah berada tepat di hadapan Kui Long, pedangnya berpendar dengan cahaya suci yang berkobar. Ia menebaskan senjatanya dengan kekuatan yang cukup untuk meratakan gunung."Aku tidak perlu percaya diri, Kui Long," suara Lin Feng bergema di tengah pertempuran yang men