Langit di atas Gunung Bayangan Jiwa mulai berubah, rona oranye dari matahari terbenam meresap melalui celah kabut tebal. Kui Long berdiri di puncak pertama jalur pendakian, tempat di mana bayangan dirinya telah hancur. Namun, gunung ini tidak memberi waktu untuk istirahat. Angin dingin menyapu tubuhnya, membawa bisikan yang menggema seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap.Ia melihat jalan di depannya—jalur batu yang sempit dengan jurang menganga di kedua sisi. Batu-batu hitam yang berserakan tampak bergerak samar, seperti menyimpan nyawa mereka sendiri. Meskipun kakinya terasa berat, ia melangkah maju dengan tekad."Ketua, berhenti di situ!" Sebuah suara menggema dari belakang. Kui Long menoleh dan melihat Zhang Yue berlari mendekat, napasnya terengah. Guru Xian mengikuti dari belakang, lebih tenang tetapi dengan ekspresi waspada."Kau tidak seharusnya ikut," kata Kui Long tajam. "Ini bukan perjalanan yang bisa dilalui oleh siapa pun tanpa persiapan."Zhang Yue berdiri tegak, men
Langit di atas Gunung Bayangan Jiwa menggantung suram, seperti tirai hitam yang melingkupi dunia. Kilau bulan tersembunyi di balik awan kelabu, hanya menyisakan semburat cahaya redup yang sulit menembus kabut tebal. Jalan setapak semakin terjal, licin oleh lumut dan tanah basah. Udara yang dingin membawa bau lembap yang menusuk, membuat napas mereka terlihat seperti uap putih di kegelapan malam.Kui Long memimpin perjalanan, langkahnya mantap meskipun bahunya tampak tegang. Pedang di pinggangnya berayun perlahan, berkilat samar saat cahaya bulan mencapainya. Di belakangnya, Zhang Yue menghela napas, berusaha menjaga keseimbangan di jalanan curam, sementara Guru Xian berjalan dengan tenang, matanya menyapu sekitar seperti seekor burung hantu yang mengintai mangsa.Ketenangan malam itu buyar ketika suara langkah berat terdengar dari semak belukar. Ranting-ranting kering berderak, dan bayangan hitam bermunculan, menutup jalan setapak. Mereka adalah bandit—lima pria bersenjata dengan seny
Kui Long, Zhang Yue, dan Guru Xian beristirahat sejenak di dalam gua. Hembusan angin dingin menyelinap melalui celah-celah batu, membuat api kecil yang mereka nyalakan berkedip-kedip. Gua itu gelap dan sempit, tetapi untuk sementara waktu, mereka merasa aman dari bahaya yang mengintai di luar.Zhang Yue memecah keheningan, suaranya lirih tapi penuh rasa ingin tahu. "Ketua, mengapa bandit itu terlihat begitu percaya diri? Mereka tahu siapa kita, tapi tetap menyerang."Kui Long, yang sedang menyeka darah dari pedangnya dengan kain lusuh, mengangkat pandangannya. "Bukan soal siapa kita. Gunung ini menarik kekuatan gelap, bukan hanya makhluk-makhluk buas, tapi juga manusia yang ingin mengambil keuntungan dari kekacauan."Guru Xian menambahkan dengan nada serius, "Gunung Bayangan Jiwa bukanlah tempat biasa. Ada sesuatu di sini yang memanipulasi hati dan pikiran mereka. Ketamakan, kebencian, semua itu diperbesar oleh aura gunung ini."Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari kegelapan
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Kui Long, Zhang Yue, dan Guru Xian akhirnya tiba di kaki Gunung Bayangan Jiwa. Kabut tebal menyelimuti lereng gunung, menciptakan suasana misterius yang membuat bulu kuduk meremang. Angin berhembus lembut, membawa aroma pinus dan tanah basah, sementara suara gemerisik dedaunan menambah kesan angker di sekitar mereka. "Inilah dia, Gunung Bayangan Jiwa," ujar Guru Xian dengan nada penuh hormat. "Di puncaknya tersembunyi Kitab Cahaya Abadi, yang berisi jurus Langkah Jiwa Cahaya Abadi. Jurus ini adalah satu-satunya harapan kita untuk menutup Gerbang Dimensi Akhir jika pria bertopeng itu berhasil membukanya." Mereka mulai mendaki, melewati jalan setapak yang terjal dan licin. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah gunung itu sendiri menantang keberanian mereka. Di tengah perjalanan, mereka tiba di sebuah dataran luas dengan batu-batu besar yang tersusun rapi membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran itu, terdapat sebuah prasasti kuno de
Angin di Lembah Pedang Kultivator menghembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang dipenuhi lumut hitam. Lembah itu dipenuhi kabut tebal, menyelimuti jalanan berbatu yang berliku. Di sepanjang dinding lembah, reruntuhan kuno terpahat dengan simbol-simbol kultivasi kegelapan, bercahaya samar dalam gelap. Di sini, tidak ada suara burung atau binatang kecil—hanya desis halus, seperti napas sesuatu yang tak kasat mata.Kui Long berdiri di puncak jalan masuk lembah, memandang ke dalam jurang yang gelap gulita. Ia menggenggam pedangnya erat, napasnya teratur, tetapi pikirannya waspada. "Lembah ini menyimpan rahasia yang tidak pernah dijamah manusia selama ratusan tahun," gumamnya, menatap ke bawah. "Namun, aku harus mendapatkannya. Pedang Kultivasi Kegelapan adalah kunci untuk menyempurnakan kekuatanku."Sambil melangkah ke dalam lembah, ia merasakan tekanan spiritual yang segera menyelimuti tubuhnya. Setiap langkah seolah semakin berat, seperti tanah itu sendiri menolak kehadirannya
Kui Long melangkah keluar dari Lembah Pedang Kultivator dengan langkah tertatih-tatih, tubuhnya penuh luka yang menganga, namun sorot matanya tidak lagi menunjukkan kelemahan. Angin malam berhembus, dingin menusuk tulang, tetapi ia berdiri tegak, menghadapi dunia yang kini terasa berbeda. Udara di sekitarnya seolah bergetar, menyesuaikan diri dengan auranya yang lebih pekat dan murni. Pedang Kultivasi Kegelapan di punggungnya mengeluarkan suara denting lembut, seperti bisikan halus dari jiwa yang baru bangkit. Setiap langkahnya meninggalkan jejak energi gelap yang meresap ke tanah, membentuk pola-pola rumit yang memudar perlahan. Dunia tampak terdiam, seolah takut menyentuh kekuatan yang baru saja terbangun dalam dirinya.Dari kejauhan, Negeri Song terbentang di bawah sinar bulan pucat. Tanah kelahirannya itu kini menjadi sarang musuh bebuyutannya, Song Kui, yang dengan kejam telah merampas tubuh aslinya. Kui Long mengepalkan tinjunya, merasakan aliran kekuatan baru yang membakar urat
Song Kui melangkah maju dengan tatapan penuh kebencian, tangannya terangkat tinggi saat ia mengumpulkan energi merah menyala yang berdenyut seperti jantung yang marah. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan gelombang energi yang memancar seperti badai api ke arah Kui Long. Ledakan itu menghancurkan tiang-tiang kuil yang sudah rapuh, mengirimkan pecahan batu yang beterbangan ke segala arah. Lantai batu di bawah mereka retak, menciptakan jurang kecil di tengah aula. Namun, Kui Long tidak bergeming.Ia mencabut Pedang Kultivasi Kegelapan dari punggungnya, bilahnya berkilauan dalam rona hitam pekat. Dengan ayunan tunggal yang cepat dan presisi, ia membelah gelombang energi itu menjadi dua, memisahkannya seolah hanya sekedar kain tipis. Angin dari serangan itu menerpa wajahnya, tetapi Kui Long tetap berdiri kokoh, matanya memancarkan determinasi yang tak tergoyahkan.“Aku bukan bayanganmu, Song Kui,” ucap Kui Long dengan suara rendah yang membawa kekuatan. Ia mengangkat pedangnya lagi, k
Makhluk itu menjulang di hadapan mereka, tubuhnya terdiri dari asap hitam pekat yang bergerak seperti ombak liar. Matanya, dua bulan merah menyala, memancarkan intimidasi yang menusuk. Suaranya bergema seperti ribuan suara berbicara serentak, menciptakan atmosfer yang mengguncang jiwa. “Selamat datang di Ruang Kekekalan,” katanya. “Aku adalah Shen Wu Hei, Penjaga Dimensi Kegelapan. Tidak ada yang meninggalkan tempat ini hidup-hidup.”Kui Long dan Song Kui saling melirik, wajah mereka sama-sama serius. Meski mereka saling bermusuhan, keberadaan Shen Wu Hei adalah ancaman yang lebih mendesak. Keduanya mengambil posisi bertahan, tubuh mereka tegang seperti busur yang ditarik penuh.Dengan gerakan yang cepat dan bertenaga, Shen Wu Hei mengangkat salah satu cakar raksasanya dan menghantam mereka. Serangan itu cukup kuat untuk membuat ruang gelap di sekitar mereka berguncang hebat. Kui Long melompat ke samping, menghindari cakar yang menghantam lantai hingga retak dan hancur berkeping-kepin
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi
—Dua kekuatan kuno bertabrakan di langit dunia—Langit seolah mendidih. Darah para bintang menetes ke bumi dalam bentuk kilatan energi liar yang tak terbendung.Naga Wrath, makhluk dari reruntuhan abadi dan badai abadi, meraung liar, memekakkan setiap jiwa yang masih tersisa di medan perang. Petir hitam di tubuhnya kini menebal, menciptakan badai magnetik raksasa yang menghisap segala bentuk energi spiritual di sekitarnya. Ia menggulung udara menjadi tombak-tombak listrik yang melesat ke segala arah. Salah satunya menghantam dada Azteca, meledak menjadi gelombang plasma yang membelah awan.Azteca mengerang, tapi tidak mundur.Matanya yang bersinar biru kehijauan kini berubah menjadi merah darah. Simbol-simbol kuno di tubuhnya menyala lebih terang, berdenyut seperti jantung dunia itu sendiri. Dari sela-sela sisiknya, muncul kilatan emas—bukan emas biasa, melainkan “Ollin”, esensi gerak semesta.“Tlazohcamati, Huehuecoyotl... berikan aku tarian terakhir dari para dewa.”Azteca terangkat
Ledakan terakhir dari serangan pusaran hitam yang menelan Lin Feng masih membekas di langit, membelah awan menjadi dua. Debu dan puing dari tanah yang terkoyak beterbangan, sementara api dan es beradu di udara, menciptakan pelangi berdarah di cakrawala. Namun di tengah kekacauan itu, medan perang belum berhenti berdetak.***Di atas langit merah, Naga Azteca menggila. Sisiknya yang bersinar dengan pola kuno berkedip cepat, menandakan amarah yang tak lagi bisa dibendung. Naga Wrath meraung menantang, tubuhnya yang berbalut petir hitam meluncur dengan kecepatan meteor, membentur perisai spiritual Azteca hingga ruang di sekitarnya retak seperti kaca.Namun kali ini, Azteca membuka mulutnya, mengeluarkan suara bernada rendah, nyaris seperti nyanyian ritual. “Hezkani... teotl tlatoani...”—dan tiba-tiba, ribuan simbol kuno terpancar dari tubuhnya, membentuk lingkaran sihir raksasa di langit.Ritual Leluhur Azteca—Sumpah Darah Langit Ketujuh.Ritual itu bukan sekadar serangan. Ia adalah wari
Di bawah langit yang muram, dua sosok bertarung dengan intensitas yang mengguncang alam semesta. Kui Long dan Lin Feng saling berhadapan, energi mereka bertabrakan dan menciptakan gelombang dahsyat yang meremukkan segala yang ada di sekeliling.Lin Feng, dengan Pedang Surgawi yang memancarkan cahaya keemasan, melesat seperti kilat. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya yang membelah udara, menembus kegelapan yang menyelimuti Kui Long. Namun, Dewa Iblis Gerbang Neraka itu tidak tinggal diam. Dengan senyum sinis, ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan yang berputar ganas, menyerap sebagian besar serangan Lin Feng."Tidak buruk, Lin Feng," suara Kui Long bergema, berat dan penuh kekuatan. "Tapi kau harus berusaha lebih keras untuk mengalahkanku!"Dengan gerakan cepat, Kui Long membentuk tombak hitam raksasa yang berputar liar, dipenuhi energi destruktif. Tombak itu melesat menuju Lin Feng dengan kecepatan yang hampir tak terjangkau oleh mata manusia.Lin Fe
Langit semakin gelap, awan hitam bergulung seperti naga yang mengamuk, seolah turut meratapi pertarungan yang mengguncang dunia. Petir sesekali menyambar cakrawala, menerangi medan perang yang penuh kehancuran. Di tengah reruntuhan, Lin Feng berdiri tegak, Pedang Surgawi terangkat tinggi, memancarkan cahaya emas yang menembus kelamnya kabut hitam yang menyelimuti Kui Long.Pria berjuluk "Dewa Iblis Gerbang Neraka" itu menyeringai. Bukan tanpa alasan ia mendapatkan nama tersebut—bukan karena ia benar-benar iblis, melainkan karena kultivasi kegelapannya yang telah mencapai tingkat yang hanya bisa ditakuti. Tubuhnya, yang diselubungi energi hitam pekat, tampak semakin kokoh. Udara di sekelilingnya bergetar, dipenuhi aura kematian yang mengerikan."Lin Feng," suara Kui Long terdengar serak namun penuh percaya diri. "Kau sudah menunjukkan segalanya. Kini, biarkan aku menunjukkan kekuatan sejati kultivasi kegelapan!"Dengan satu hentakan kaki, tanah di bawahnya merekah, suara retakan mengge
Kui Long mengerahkan seluruh kekuatan gelapnya, tubuhnya mulai diselimuti oleh kabut pekat yang berdenyut dengan energi iblis. Rantai api neraka yang sebelumnya melesat kini berputar liar di sekelilingnya, membentuk lingkaran kehancuran yang siap melumat apa pun yang mendekat. Matanya berkilat merah menyala, suara tawa penuh amarah bergema di tengah pertempuran yang semakin kacau."Lin Feng! Kau pikir dirimu tak terkalahkan? Aku akan menunjukkan kekuatan sejati seorang dewa iblis!" teriak Kui Long dengan suara bergemuruh.Tiba-tiba, tanah di bawahnya merekah lebih dalam, dan dari celah-celahnya muncul ribuan pedang hitam yang seolah hidup merangkak dari dunia bawah. Pedang-pedang itu bergerak cepat, berputar udara, berusaha mengurung Lin Feng yang melayang di udara. Namun, bukannya mundur, Lin Feng justru melesat maju, menerjang ke arah Kui Long dengan kecepatan yang melampaui pandangan manusia biasa."Jika itu kekuatan terbesarmu, maka ini akhir perjalananmu!" Suara Lin Feng beresona
Lin Feng melayang di udara, tubuhnya berputar dengan kelincahan luar biasa, menghindari rantai api neraka yang melesat cepat, nyaris membakar ujung jubahnya. Udara di sekitarnya mendesis panas, membawa aroma belerang yang menusuk. Matanya berkilat tajam, penuh tekad yang tak tergoyahkan. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan Pedang Surgawi, menghunuskan bilahnya ke bawah. Gelombang energi berdesing, membelah udara dengan suara nyaring, lalu menghantam tanah dengan kekuatan dahsyat. Sebuah jurang raksasa tercipta, batu-batu beterbangan ke segala arah.Kui Long melompat ke belakang, matanya membelalak menyaksikan kehancuran yang baru saja terjadi. Namun, Lin Feng tak memberinya kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, ia sudah berada tepat di hadapan Kui Long, pedangnya berpendar dengan cahaya suci yang berkobar. Ia menebaskan senjatanya dengan kekuatan yang cukup untuk meratakan gunung."Aku tidak perlu percaya diri, Kui Long," suara Lin Feng bergema di tengah pertempuran yang men
Langit di atas Negeri Han berubah menjadi lautan petir dan api, memancarkan gelombang energi yang mengguncang seluruh daratan. Raungan naga, ledakan kekuatan spiritual, serta dentingan senjata bercampur dalam simfoni kehancuran.Di pusat medan perang, Lin Feng dan Kui Long bertarung dengan kecepatan yang bahkan mata manusia biasa tak mampu menangkapnya. Setiap tebasan Pedang Surgawi Lin Feng menciptakan gelombang energi yang bisa membelah gunung, sementara setiap pukulan tinju Kui Long membelah udara dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan kota."Kau terlalu percaya diri, Lin Feng!" Kui Long menggeram, tubuhnya dikelilingi oleh aura hitam yang pekat. Dengan satu gerakan tangan, ia memanggil rantai api neraka yang berputar-putar di sekelilingnya sebelum melesat ke arah Lin Feng.Lin Feng melompat ke udara, menghindari serangan itu dengan kelincahan luar biasa. Ia membalas dengan serangan pedangnya yang berkilauan seperti bintang jatuh. Namun, Kui Long memutar tubuhnya dan menang