Sementara itu di dalam hutan.
Cecep sudah siap mandi dan tampak segar. Di atas tungku sudah terlihat pula beberapa ekor ikan yang dibakar dan menyebarkan aroma yang membuat usus melilit meminta jatah. Cecep duduk di atas pohon kayu yang rebah dan secangkir kopi menemaninya.Janeta turun dari atas pondok dan bersiap menuju ke sungai. Ia memang sengaja pergi ke sungai agak terlambat karena menunggu Cecep kembali dari sungai itu. Memang Cecep membutuhkan waktu agak lama karena ia menangkap beberapa ekor ikan terlebih dahulu untuk sarapan pagi itu.Janeta langsung memeriksa pakaiannya yang semalam ia jemur. Syukurlah pakaian itu tidak terlalu tebal hingga beberapa jam saja terkena sinar matahari sudah kering.“Neng mau mandi?” Cecep menyapa.“Iya, Kang! Kita harus segera turun ke kota untuk mencari Fitri.” sahut Janeta.Cecep terlihat sedikit melongo.“Apa tidak sebaiknya kita tunggu besok saja Neng. Saya rasa polisi masihSementara itu Ratih dan Darna sedang melaju cukup kencang dengan sepeda motor dari desa menuju arah Jakarta. Cuaca yang sedikit panas tidak dihiraukan mereka berdua. Pikiran mereka hanya fokus untuk mencari Fitri dan menemukan baju berdarah yang diinginkan Salma. Mereka berharap urusan dengan Salma cepat selesai dan mereka bisa menjalani hidup dengan normal kembali.Ratih memeluk pinggang Darna dengan erat. Berbagai pikiran dan perasaan bercampur aduk di dalam pikirannya. Ia teringat pesan Janeta kepadanya ketika akan dibawa oleh polisi.“Ratih, cari Fitri dan temukan baju berdarah itu untuk Kakak!”Hari ini memang ia akan pergi mencari Fitri untuk mendapatkan apa yang diminta oleh Janeta. Namun sayangnya, Ratih sudah tidak lagi berbuat untuk Janeta. Ia melakukan itu untuk Salma. Yah, untuk Salma. Karena Salma sudah berhasil menjadikan mereka sekeluarga menjadi robot permainannya.“Kak Janeta, maafkan Ratih, Kak! Ratih tidak punya pilihan
Sekitar jam tujuh pagi Janeta dan Cecep sampai di tempat kontrakan Fitri yang lama. Rumah itu kini ternyata sudah berganti penghuni baru.“Maaf, Mbak mau cari siapa?” tanya seorang ibu muda yang pastinya adalah penghuni baru rumah petak itu.“Saya mencari Fitri, Bu. Saya tahu dia sudah pindah dari sini. Tapi... Kira-kira ada nggak yang tahu Fitri pindah kemana?” tanya Janeta berharap mendapat petunjuk.“Oh, maaf saya tidak tahu Fitri pindah kemana, Mbak. Cuma saya tahu tempat Fitri biasanya berjualan.” sahut ibu muda itu.Jawaban ibu muda itu tentu saja membuat Janeta senang dan memiliki secercah harapan. Ia bergegas meminta keterangan lebih jelas tentang keberadaan Fitri. Sementara Cecep dan si Hitam menunggu saja di atas sepeda motor.Setelah mendapatkan informasi yang cukup, Janeta meninggalkan rumah petak bekas tempat tinggal Fitri dan Lina ibunya pernah tinggal tersebut lalu bergegas mendekati Cecep yang setia m
Hari ini itu ketika pagi juga mulai menyapa di desa tempat tinggal Bu Asih, ibu paruh baya itu terlihat duduk melamun di atas tikar di ruang gubuknya yang tidak begitu luas. Di depannya ada secangkir teh manis yang masih mengepul asapnya.Mata Bu Asih terlihat sembab dan sedikit bengkak. Semalaman suntuk ia tidak bisa memicingkan matanya memikirkan kepergian Ratih dan Darna siang kemarin. Bu Asih yakin kalau kepergian mereka adalah untuk mencari Fitri guna memenuhi perintah Salma. Bu Asih yakin kalau Salma telah melakukan kejahatan yang sangat besar hingga ia melakukan apa saja untuk menyembunyikan kejahatannya itu dari polisi.Lalu pikiran Bu Asih kini tertuju kepada Janeta. Ia menghela nafas yang sangat berat.“Tak seharus si Neng yang menjadi korban dari semua ini. Si Neng sangat baik dan menyayangiku saat Ratih tidak berada di rumah. Ratih juga sangat menyayangi si Neng kayaknya ia mempunyai seorang Kakak.” gumam hati Bu Asih sedih. Ia menyeruput teh m
“Kak Ratih mau mengembalikan baju itu kepada Kak Salma?” Fitri bertanya kepada Ratih dengan mata terbelalak.“Iya Fit!” jawab Ratih cepat-cepat menganggukkan kepalanya.“Ta..tapi mengapa Kak? Kalau memang benar baju itu adalah bukti kejahatan Kak Salma, mengapa Kak Ratih ingin mengembalikan kepadanya? Ia pasti akan membuang atau membakarnya, Kak!” ujar Fitri tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ratih.Ratih nampak salah tingkah menghadapi Fitri yang ternyata cukup pintar. Fitri bukanlah seperti anak ingusan lain yang sebaya dengannya.“Tapi apa benar baju itu sudah dibuang Ibu kamu, Fitri?” setelah tercenung sesaat Ratih kembali bertanya.“Yaah..!” ujar Fitri masih belum mengerti apa alasan Ratih begitu gigih untuk membantu Salma mendapatkan barang yang sangat penting itu.“Apakah Kak Ratih telah berpihak kepada Kak Salma sekarang? Apakah mereka berteman?” Hati Fitri bertanya-ta
Darna memacu sepeda motornya menuju desa tempat tinggal mereka. Ratih di belakang berboncengan dengan manja. Hati kedua calon pengantin baru itu sedang berbunga-bunga. Hari bahagia mereka sudah di depan mata. Sekali-kali terlihat mereka bercanda dengan mesra.Hampir tiga jam menempuh perjalanan, mereka sampai di perbatasan desa mereka. Dan beberapa puluh menit kemudian mereka tiba di jalan di depan rumah Ratih ketika mata hari sudah condong ke barat.Darna mengantarkan Ratih ke rumahnya. Di tangan kanannya ia menenteng plastik berisi belanjaan mereka tadi. Sedangkan Ratih membawa sebuah plastik kecil berisi makanan kesukaan ibunya. Dengan riang mereka berjalan beriringan di atas pematang sawah.Ibuuu...! Ratih pulang Buu..!” seru Ratih memanggil Bu Asih ketika mereka berdua sudah sampai di sudut pekarangan. Ia berharap agar segera bertemu dengan Ibunya. Namun tidak ada terdengar sahutan dari dalam rumah. Rumah sangat sederhana itu terlihat sangat s
Sementara itu di sebuah rumah sakit.Salma masih tergolek lemah dengan perban terlihat melilit di kaki kanannya yang baru saja di amputasi.Kaki kanan Salma remuk dan Dokter segera mengambil tindakan dengan memotong kaki kanan Salma guna untuk menghindari resiko pembusukan.Seorang lelaki paruh baya terduduk lemah di atas sebuah kursi roda tidak jauh dari tempat tidur Salma. Ia tiada hentinya menangisi Salma yang ternyata adalah putrinya.“Papa...!!”Suara Salma lirih memanggil lelaki yang sudah terlihat tua dari umurnya yang sebenarnya. Di wajahnya tergambar penderitaan yang begitu sarat.Kreet..kreet...Terdengar bunyi kursi roda mendekati tempat tidur Salma. Lelaki yang di panggil Papa oleh Salma tersebut meraih tangan kanan Salma dengan kedua tangannya, lalu ia bawa ke wajahnya dan lelaki itu menangis tersedu-sedu.“Mengapa harus terjadi seperti, Nak. Kamu harus kehilangan sebelah kakimu huhuhu...” ratapnya se
“Mau ke mana kita Morat? Dengan pakaian begini pula!” Rusmidi memprotes Tuan Morat yang membawanya menuju sebuah gang yang sempit. Rusmidi risih dengan penampilan barunya. Memakai wig rambut panjang dan topi koboi. Kaca mata hitam dan stelan jas lengkap.Woow.. ini model busana tahun berapa? Tak ada kesempatan untuk bertanya. Tuan Morat yang mengatur semuanya entah untuk misi apa.Tuan Morat memarkir mobilnya agak jauh dari sebuah deretan rumah petak, lalu Tuan Morat mengajak Rusmidi berjalan agak mengendap-endap mendekati rumah kontrakan yang ternyata dihuni oleh Fitri dan Lina serta Hasan. Rusmidi makin kebingungan mengikuti aksi konyol sahabatnya itu.“Sssttt.. Kau ikut sajalah Midi. Aku pernah menguntit seorang wanita yang masuk ke rumah ini. Wanita itu masih muda berumur kira-kira tiga puluhan tahun.” jawab Tuan Morat sembari meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. Ia menoleh kepada Rusmidi yang berjalan agak membungkuk di
“Itu seperti mobilnya Tuan Morat? Tapi mengapa rambutnya jadi panjang dan bertopi koboi kayak gitu?” Hati Janeta bertanya-tanya ketika ia dan Cecep melintasi sebuah mobil mewah yang terparkir di bawah sebatang pohon yang rindang. Dua orang lelaki berpakaian jas dan bertopi koboi dengan rambut panjang sebahu, terlihat akan memasuki mobil itu. Satu orang di sebelah kanan, dan satu lagi masuk dari pintu sebelah kiri.“Berhenti, Kang!” seru Janeta kepada Cecep yang tengah mengendarai sepeda motor sambil menyentuh bahu lelaki itu.Cecep segera memenuhi permintaan Janeta dan berhenti di pinggir jalan kira-kira sepuluh meter dari mobil yang diawasi Janeta.Janeta terus mengamati kedua lelaki yang kini telah masuk ke dalam mobil dan bergerak meninggalkan tempat itu. Janeta memperhatikan bagian belakang kendaraan yang mereka gunakan lalu ia tertawa sendiri.“Hahaha...”“Ada apa, Neng? Kok Neng malah tertawa?” tanya Cece
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d