Kehadiran Tuan Morat yang tiba-tiba di tengah perbincangan Janeta dengan Tuan Fidel di cafe itu, membuat suasana jadi tidak nyaman untuk meneruskannya.
Tuan Fidel dan Janeta akhirnya mengakhiri pertemuan mereka dan kembali ke kantor. Setelah mengantarkan Janeta kembali ke kantor, Tuan Fidel langsung pergi entah ke mana. Mungkin saja mencari Salma atau menyelesaikan masalah lain, Janeta tidak tahu.Setelah mobil Tuan Fidel berlalu dari pandangannya, gadis detektif itu bergegas mendekati sepeda motornya. Agenda yang telah ia susun semula yaitu mendatangi Cecep untuk menggali lebih dalam informasi tentang dugaan pembunuhan Pak Warno, akan segera ia laksanakan. Rencananya itu sempat tertunda karena kedatangan Tuan Fidel yang mengajaknya berbincang di sebuah cafe yang tidak begitu jauh dari kantor itu.“Belum terlalu siang, aku masih punya waktu untuk mendatangi Kang Cecep.” kata hati Janeta setelah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan"Berbohong? Berbohong apa maksudnya, Kang?Cecep memalingkan wajahnya dari wajah Janeta dan kini ia melempar pandangan keluar jendela.“Neng!”“Sebenarnya ini bukanlah masalah Saya. Tapii...Cecep tidak melanjutkan kata-katanya. Dirinya terlihat dilema. Sedangkan Janeta menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Namun hanya kesunyian yang kini datang menyusupi.“Bilang saja Kang. Maksudnya apa tadi?”“Tidak usah berpura-pura Neng. Saya sudah tahu kalau pemilik baju berdarah itu adalah milik Adik Neng.” Lembut tapi tajam, itulah intonasi perkataan Cecep.“Ternyata Kang Cecep sudah bertanya kepada Bu Bidan. Aku harus cerdas menanggapi semua ini agar kasus kematian Pak Warno cepat terungkap. Aku tidak bisa mengandalkan kesaksian dari si Hitam karena seekor hewan tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan.”Cecep menoleh kepada Janeta yang terdiam.“Jujur sajalah Neng. Siapa
Sementara itu di cafe, sepeninggal Janeta dan Tuan Fidel, Tuan Morat segera menyelesaikan pembicaraannya dengan klien yang tadi ditunggunya.Setelah itu ia lalu bergegas menuju kantornya namun tak lama kemudian dirinya keluar kembali dan selanjutnya menuju kantor polisi tempat Nyonya Shania di tahan.“Harap Nyonya bersedia menandatangani kedua surat ini dan Saya akan pastikan Nyonya segera meninggalkan tempat buruk ini.” Tuan Morat berkata kepada Nyonya Shania begitu mereka bertemu di ruang khusus tempat bertemu tahanan dan tamunya.“Surat apa ini Tuan?” tanya Nyonya Shania sambil menerima dua amplop yang berisi surat yang diserahkan oleh Tuan Morat kepadanya. Tangannya lalu membuka satu persatu amplop“Memberhentikan Tuan Tunio sebagai kuasa hukum dan mengangkat Anda sebagai gantinya?”“Ya, benar sekali Nyonya.” sahut Tuan Morat sambil memperbaiki posisi duduknya yang berhadapan dengan Nyonya Shania.“Lalu... Berapa Saya harus membayar jasa Anda, Tuan?
Pagi harinya di rumah Nyonya Shania.Seperti biasa, pukul delapan pagi Janeta sudah tiba di rumah Nyonya Shania. Beberapa hari sebelumnya rumah itu terlihat kusut dan kotor bahkan tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sana.Namun hari ini suasana sungguh berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Rumah Nyonya Shania kini terlihat bersih dan anggota keluarga lengkap berada di rumah.Kedatangan Janeta telah di sambut oleh Nyonya Shania yang terlihat berolah raga pagi dengan Ricana dan Arkhas. Bik Imah terlihat tengah menyapu bagian belakang halaman rumah dan pekerjaannya juga hampir selesai. Sedangkan Tuan Fidel tengah membersihkan dash board mobilnya dengan sehelai kain tisu.“Kok Nyonya Shania sudah bebas?” bertanya Janeta di dalam hatinya.“Pagi Nyonya! Nyonya terlihat sangat cerah.” sapa Janeta begitu mereka bertemu.“Terima kasih Janet, kamu pandai sekali membuat suasana menjadi lebih cerah.” sahut Nyonya Shania tersenyum. Semua beban yang ia tanggung beberapa har
“Buat apa lagi kamu datang ke sini, Abbas? Aku sudah tidak mau berurusan denganmu.” Salma menyambut kedatangan Abbas di ruang tamu rumahnya dengan wajah masam. Laki-laki itu dua hari yang lalu sudah bertindak sangat kasar kepadanya.“Aku datang untuk menagih janjimu Salma.” ucap Abbas tenang. Ia melipat kedua tangan didadanya dan berjalan perlahan mendekati Salma yang berdiri di tengah ruang tamu rumahnya.“Janji apa lagi yang akan kamu tuntut kepadaku hah..?? Setelah dengan seenaknya kamu berlaku kasar kepadaku.” sahut Salma sambil mengelus pipinya yang ternyata mendapat tamparan tangan Abbas setelah dirinya diseret paksa dari ruang Tuan Fidel dua hari yang lalu.“Aku tidak akan pernah kasar kepadamu Salma, jika kamu tidak membohongi dan mengkhianati aku.” Abbas berhenti dan menatap Salma dengan pandangan setajam pisau.Salma mendengus dan tersenyum miring. Ia duduk di sofa dan juga melipat kedua tangannya di
Siang itu Janeta telah berada di depan rumah Cecep. Setelah mendatangi rumah Fitri tapi gagal bertemu dengannya, akhirnya Janeta memutuskan untuk menyambangi rumah Cecep. Ia ingin mendengar hasil penyelidikan Cecep tentang desas-desus pelaku yang menghabisi nyawa Pak Warno.“Assalamualaikum!” Janeta memberi salam di depan rumah cecep yang pintunya terbuka.“Walaikumsalam...!” Bu Wati tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Janeta.“Eh si Neng, mari masuk Neng!” sambut Bu Wati langsung mempersilahkan Janeta masuk ke rumahnya yang sederhana. Tidak lupa ia menghadiahkan senyum manis kepada Janeta yang sangat ia harap jadi menantunya itu.“Kang Cecep ada Bu?” tanya Janeta setelah duduk di atas tikar yang dibentangkan Bu Wati.“Cecep lagi pergi sama Darna temannya Neng.” sahut Bu Wati semakin girang hatinya.“Hm, sudah bisa dipastikan Neng ini juga suka sama Cecep. Buktinya ia datang lagi untuk me
“Kemana mereka? Hah.. kabuuur..??”“Ratiiiiih.... Fitriiiii......!”Salma bagaikan tersengat arus listrik ribuan watt begitu nenyadari kamar tempat ia mengurung Ratih dan Fitri ternyata telah kosong.“Bagaimana mereka bisa lolos sedangkan jendela dan pintu semuanya terkunci?”Salma segera memeriksa kamar yang biasanya ia jadikan gudang. Di sanalah ia menyembunyikan Ratih lalu disusul fitri lebih dari seminggu yang lalu.Salma bertambah heran ketika memeriksa bagian pintu dan jendela tidak satu pun yang rusak. Ventilasi kamar mandi juga aman-aman saja. Lalu ia menengadah ke atas untuk memeriksa plafon kamar itu, juga tidak ada yang rusak.“Lalu bagaimana mereka bisa keluar? Apakah hantu Lusy atau si Warno yang datang menjelma kemudian membebaskan mereka berdua? Ooh... Tak mungkin. Itu hanya ada dalam cerita novel horor.” Salma berbicara sendiri keheranan.Salma makin penasaran dan juga makin panik. Ia
Di saat yang sama ketika Salma akan berangkat ke rumah Fitri, saat itu pula di halaman rumah Bu Asih, Janeta masih berdiri mematung. Ia bimbang apakah harus segera meninggalkan rumah Bu Asih atau menunggu dan mendengar cerita Ratih. Naluri Janeta berkata bahwa gadis itu banyak mengerahui rahasia Salma jika memang dirinya telah diculik Salma selama ini. Tapi Salma yang mana? Janeta semakin penasaran dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.Ratih yang ketakutan melihat kehadiran orang asing di rumahnya lari terbirit-birit menuju jalan raya. Ia terus berteriak histeris ‘pergiii... Pergiiii..!’.“Pergiiii...! Aku tidak mau diculik lagi... Pergiii...!” Ratih terus berlari membelah kebun kelapa milik Pak Warno yang cukup luas.“Ada apa Ratih...? Kamu kenapa..?” Ratih semakin berlari kencang ketika mendengar suara seorang lelaki bertanya kepadanya. Dirinya makin ketakutan karena menyangka ia sudah dikepung. Pengalaman pahit saat ia diculik anak buah Salma ketika akan pulang
“Kang Cecep sepertinya benar-benar mencurigai aku. Kira-kira Darna ngomong apa ya, ke Kang Cecep?” hati Janeta bertanya-tanya. Cecep tidak juga mengalihkan pandangan darinya. Namun Janeta pura-pura tidak melihat itu. Dirinya fokus kepada Ratih dan ingin menggali keterangan dari gadis manis itu.Janeta berjalan perlahan mendekati Ratih yang masih bersembunyi dibalik tubuh Bu Asih. Di lemparkannya senyuman manis kepada gadis itu.“Ratih, bisakah kamu menceritakan dengan tenang apa yang terjadi padamu? Katakan pada Kakak siapa Salma yang kamu maksud? Kakak janji akan mencari orang itu dan memberikan hukuman kepadanya.”Ratih menatap Janeta ragu lalu beralih kepada Bu Asih. Bu Asih menggelengkan kepalanya perlahan seakan memberi isyarat agar Ratih tidak menceritakan apa pun. Dan tindakan Bu Asih terlihat oleh Cecep.“Biarkan Ratih menceritakan Bi, sebenarnya ada apa dan siapa yang mengurung telah Ratih.” Cecep langsung menimp
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d