Rasa penat yang teramat sangat memaksa Janeta untuk segera beristirahat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit dini hari.
“Kawan, izinkan aku beristirahat barang sejenak. Badanku terasa capek dan meriang.” ucapnya kepada si Hitam sambil meletakkan sepiring nasi ditambah sepotong ikan bakar yang sengaja ia beli tadi di warung makan. Piring itu ia letakkan persis di hadapan si Hitam yang duduk di lantai dengan menyusun kedua kaki depannya dengan rapi. Anjing itu terlihat belum pulih benar. Luka di kepalanya masih dibalut perban yang baru saja di ganti oleh Janeta dengan perban baru.“Guk..guk..!” sahut anjing itu seakan melafazkan kalimat terima kasih.Aroma ikan bakar membuat air liur si Hitam meleleh dan langsung menyantap makanan yang telah di hidangkan Janeta di hadapannya.Janeta beringsut masuk ke dalam kamarnya lalu mencuci muka di kamar mandi. Matanya masih merah dan terasa perih. Selesai mengeringkan wajahnya“Kak Janeta, jika tiba-tiba Fitri tidak ada ditemukan, tolong datangi alamat ini xxxxxxxxxx xxxxxxx xxxxxx”Janeta segera melipat kertas kecil itu kembali dan memasukkan ke dalam kantong celana jeans yang ia pakai lalu dengan setengah berlari Janeta menuju pintu keluar. Namun alangkah terkejutnya Janeta ketika ia tidak bisa membuka pintu itu walau dirinya telah menggunakan kunci yang ia pegang dan ia gunakan tadi untuk membuka pintu tersebut.Sepertinya pintu itu telah di kunci dari luar dengan menggunakan kunci ganda atau kunci tambahan.“Sial! Aku terjebak !” maki Janeta berlarian mencari pintu yang lain.Namun semua pintu kini sudah terkunci, dan Janeta berusaha mencari jendela yang mungkin bisa membantu dirinya keluar dari rumah itu.“Oh, itu ada jendela yang tidak berlapis teralis besi. Aku akan memecahkan kaca jendela itu agar bisa keluar.” bisik hati Janeta sambil menatap jendela kecil yang di lapi
"Sudah terasa baikkan Neng?” sebuah suara menyapa ketika Janeta membuka kelopak matanya perlahan.“Saya ada di mana ?” bukannya menjawab pertanyaan orang asing itu, Janeta malah balik bertanya. Matanya mengitari sebuah ruangan yang tidak terlalu besar namun sangat bersih.“Neng berada di rumah praktek Bidan. Tadi kami menemukan Neng tergeletak di pinggir jalan.” Seorang lelaki menjawab pertanyaan Janeta.Laki-laki itu masih terbilang muda, mungkin umurnya sepantaran dengan Janeta.“Oooh begitu rupanya. Apakah Saya terluka parah ?” tanya Janeta lalu meraba-raba bagian tubuhnya yang terasa sakit.“Tidak begitu parah. Sepertinya tubuh Mbak berbenturan dengan benda tumpul sehingga menimbulkan luka memar saja dan tidak memerlukan jahitan. Hanya saja benda tumpul itu mengenai susunan saraf belakang sehingga membuat Mbak tidak sadarkan diri.” Kali ini yang menjawab adalah seorang perempuan yang dapat di pastikan
“Bener Neng udah merasa baikan?” Setelah di urut Bu Wati Janeta merasa tubuhnya sudah sangat ringan.“Sudah Kang, Saya sudah merasa sehat dan bugar sekarang.” sahut Janeta yang di sambut senyuman oleh Bu Wati dan putranya Cecep.“Alhamdulillah. Kalau boleh Saya tahu Neng kenapa bisa sampai tergeletak di pinggir jalan? Apakah ada mobil atau sepeda motor yang menabrak?” beberapa pertanyaan di ajukan oleh Cecep, dan Janeta tahu bahwa bukan saatnya untuk bicara jujur.“Iya Kang, tadi Saya mau menyeberang jalan tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju kencang lalu menabrak Saya. Saya langsung tidak sadarkan diri.” jawab Janeta berbohong.Bu Wati dan Cecep terlihat mengangguk-angguk prihatin. Wajah mereka sungguh polos dan lugu.“Maafkan aku terpaksa membohongi kalian.” desah Janeta di dalam hati.“Memangnya Neng mau kemana? Ibu tidak pernah melihat Neng di desa ini?” tanya Bu Wati masih te
Jalanan Jakarta yang cukup padat membuat perjalanan Janeta menuju kantor Pengacara Tuan Morat tidak berjalan begitu mulus. Perjalanan membutuhkan waktu dua kali lipat dari biasanya. Tapi syukurlah, pengacara itu telah menyatakan kesediaannya untuk menunggu Janeta.Hampir pukul enam sore barulah Janeta sampai di ambang pintu pengacara yang cukup ternama itu. Setelah mengisi buku tamu, Janeta di antarkan seorang pegawai Tuan Morat menuju ruang kerja pemilik kantor tersebut.“Maaf, Saya benar-benar terlambat.” Langsung saja Janeta meminta maaf karena sudah membuat pengacara besar itu menunggu.“Tidak masalah, silahkan duduk!” jawab Tuan Morat namun sejenak terpana melihat luka lebam di pipi Janeta.“Sepertinya Anda dalam masalah, Nona Janeta?” Tuan Morat bertanya sambil mengiringi Janeta yang sudah terlebih dahulu menghempaskan bokongnya di sofa milik Tuan Morat.“Oh tidak Tuan, hanya kecelakaan kecil saja.” Janet
Malam beranjak semakin dalam. Sinar bulan mulai menampakkan cahayanya yang benderang. Seorang lelaki duduk di pelataran rumahnya yang dikelilingi rerimbunan pepohonan. Lelaki itu tak lain adalah Cecep. Sejak bertemu dengan Janeta, angan dan pikirannya tidak pernah lepas dari gadis itu.“Duh si Eneng, gelius pisan!” gumamnya sambil memandangi rembulan seakan Janeta berada di depan matanya dan tersenyum.Dengan memeluk kedua lututnya, Cecep mengurai kembali kenangan bersama gadis berpenampilan tomboy yang siang tadi tanpa sengaja ia temukan tergeletak di balik semak di pinggir jalan.Saat itu Cecep bermaksud untuk pergi ke warung membeli rokok. Ia sangat terkejut ketika dari jarak agak jauh ia melihat sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya.Cecep segera menghentikan sepeda motornya dan memeriksa keadaan gadis yang ternyata sedang pingsan itu. Lalu dengan bantuan beberapa warga yang lain, Cecep membawa Janeta ke rumah Bidan yang tidak begitu jauh dari
Sementara itu di sebuah rumah tempat seorang bidan desa membuka praktek, Cecep terlihat duduk menunggu di atas bangku panjang. Malam itu pasien Bu Bidan cukup banyak. Kebanyakan dari mereka yang datang adalah ibu-ibu hamil dan beberapa orang pasien anak-anak yang menderita batuk pilek serta demam.Tempat praktek Bu Bidan adalah satu-satunya pelayanan kesehatan terdekat di desa itu. Ada juga sebuah puskesmas, namun tempatnya agak jauh sekitar 3km dari desa yang posisinya agak berjauhan dari desa yang lainnya. Jadi untuk penyakit ringan seperti luka yang tidak terlalu parah dan demam, penduduk desa itu tua mau pun muda, semua datang meminta pertolongan pertama kepada sang Bidan. Ibu Bidan yang juga adalah asli penduduk desa tersebut, selalu melayani pasiennya dengan sabar dan ramah.Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Cecep agak gelisah karena ia tahu biasanya jam sepuluh malam Bu Bidan itu sudah menutup pintu tempat prakteknya dan hanya membukanya bagi p
Menjelang tengah malam, Janeta baru sampai di rumah. Suara si Hitam yang menyalak riuh rendah menyambutnya. Anjing itu terlihat mondar-mandir di dekat pintu seperti tidak sabar bertemu dengan Janeta yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi.KreeekPintu dibuka Janeta dan...Wuuss...Di Hitam segera menghambur ke tubuh Janeta hingga gadis itu terjajar ke samping beberapa langkah.“Mengapa kamu terlihat marah dan gelisah kawan?” Janeta bertanya sambil berjongkok di lantai dan membiarkan si Hitam memegang pipinya yang lebam dengan sebelah kaki depannya yang berkuku panjang.“Oh, kamu pasti mengkhawatirkan aku, kawan. Tenang saja, aku tidak kenapa-kenapa kok.” ucap Janeta mengelus kepala si Hitam perlahan lalu bangkit dari jongkoknya dan menuju kamar kemudian membuka jaketnya.Plastik yang berisi pakaian berdarah tadi, diletakkan Janeta di atas meja rias lalu bergegas ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sekuju
Berpacu dengan waktu, berkejaran dengan kesempatan, Janeta menyalip puluhan kendaraan yang menghalangi jalannya. Ia harus segera sampai di kantor sepagi mungkin sebelum Shania dan Tuan Fidel sampai di kantor itu. Sebuah rencana yang telah ia susun rapi di benaknya, harus ia laksanakan dengan sebaik mungkin.Hampir pukul setengah sembilan pagi, barulah Janeta sampai di halaman kantor PT. Rafidel Diamon Jaya. Abang sekuriti berkumis tebal yang menggoda Janeta seminggu yang lalu, kini tidak berani lagi menatapnya lama apalagi menggodanya. Ia kini tahu kalau gadis yang pernah ditaksirnya itu adalah pemegang mandat kuasa terkuat di perusahaan tempat ia bekerja.“Pagi Bu!” sapa Abang sekuriti memberi hormat ketika sepeda motor Janeta sampai di pintu gerbang kantor yang cukup besar itu.“Pagi juga Bang!” sahut Janeta ramah lalu memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir.Mata Janeta mencari-cari mobil Tuan Fidel di halaman parkir itu.&ld