"Sudah terasa baikkan Neng?” sebuah suara menyapa ketika Janeta membuka kelopak matanya perlahan.
“Saya ada di mana ?” bukannya menjawab pertanyaan orang asing itu, Janeta malah balik bertanya. Matanya mengitari sebuah ruangan yang tidak terlalu besar namun sangat bersih.“Neng berada di rumah praktek Bidan. Tadi kami menemukan Neng tergeletak di pinggir jalan.” Seorang lelaki menjawab pertanyaan Janeta.Laki-laki itu masih terbilang muda, mungkin umurnya sepantaran dengan Janeta.“Oooh begitu rupanya. Apakah Saya terluka parah ?” tanya Janeta lalu meraba-raba bagian tubuhnya yang terasa sakit.“Tidak begitu parah. Sepertinya tubuh Mbak berbenturan dengan benda tumpul sehingga menimbulkan luka memar saja dan tidak memerlukan jahitan. Hanya saja benda tumpul itu mengenai susunan saraf belakang sehingga membuat Mbak tidak sadarkan diri.” Kali ini yang menjawab adalah seorang perempuan yang dapat di pastikan“Bener Neng udah merasa baikan?” Setelah di urut Bu Wati Janeta merasa tubuhnya sudah sangat ringan.“Sudah Kang, Saya sudah merasa sehat dan bugar sekarang.” sahut Janeta yang di sambut senyuman oleh Bu Wati dan putranya Cecep.“Alhamdulillah. Kalau boleh Saya tahu Neng kenapa bisa sampai tergeletak di pinggir jalan? Apakah ada mobil atau sepeda motor yang menabrak?” beberapa pertanyaan di ajukan oleh Cecep, dan Janeta tahu bahwa bukan saatnya untuk bicara jujur.“Iya Kang, tadi Saya mau menyeberang jalan tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju kencang lalu menabrak Saya. Saya langsung tidak sadarkan diri.” jawab Janeta berbohong.Bu Wati dan Cecep terlihat mengangguk-angguk prihatin. Wajah mereka sungguh polos dan lugu.“Maafkan aku terpaksa membohongi kalian.” desah Janeta di dalam hati.“Memangnya Neng mau kemana? Ibu tidak pernah melihat Neng di desa ini?” tanya Bu Wati masih te
Jalanan Jakarta yang cukup padat membuat perjalanan Janeta menuju kantor Pengacara Tuan Morat tidak berjalan begitu mulus. Perjalanan membutuhkan waktu dua kali lipat dari biasanya. Tapi syukurlah, pengacara itu telah menyatakan kesediaannya untuk menunggu Janeta.Hampir pukul enam sore barulah Janeta sampai di ambang pintu pengacara yang cukup ternama itu. Setelah mengisi buku tamu, Janeta di antarkan seorang pegawai Tuan Morat menuju ruang kerja pemilik kantor tersebut.“Maaf, Saya benar-benar terlambat.” Langsung saja Janeta meminta maaf karena sudah membuat pengacara besar itu menunggu.“Tidak masalah, silahkan duduk!” jawab Tuan Morat namun sejenak terpana melihat luka lebam di pipi Janeta.“Sepertinya Anda dalam masalah, Nona Janeta?” Tuan Morat bertanya sambil mengiringi Janeta yang sudah terlebih dahulu menghempaskan bokongnya di sofa milik Tuan Morat.“Oh tidak Tuan, hanya kecelakaan kecil saja.” Janet
Malam beranjak semakin dalam. Sinar bulan mulai menampakkan cahayanya yang benderang. Seorang lelaki duduk di pelataran rumahnya yang dikelilingi rerimbunan pepohonan. Lelaki itu tak lain adalah Cecep. Sejak bertemu dengan Janeta, angan dan pikirannya tidak pernah lepas dari gadis itu.“Duh si Eneng, gelius pisan!” gumamnya sambil memandangi rembulan seakan Janeta berada di depan matanya dan tersenyum.Dengan memeluk kedua lututnya, Cecep mengurai kembali kenangan bersama gadis berpenampilan tomboy yang siang tadi tanpa sengaja ia temukan tergeletak di balik semak di pinggir jalan.Saat itu Cecep bermaksud untuk pergi ke warung membeli rokok. Ia sangat terkejut ketika dari jarak agak jauh ia melihat sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya.Cecep segera menghentikan sepeda motornya dan memeriksa keadaan gadis yang ternyata sedang pingsan itu. Lalu dengan bantuan beberapa warga yang lain, Cecep membawa Janeta ke rumah Bidan yang tidak begitu jauh dari
Sementara itu di sebuah rumah tempat seorang bidan desa membuka praktek, Cecep terlihat duduk menunggu di atas bangku panjang. Malam itu pasien Bu Bidan cukup banyak. Kebanyakan dari mereka yang datang adalah ibu-ibu hamil dan beberapa orang pasien anak-anak yang menderita batuk pilek serta demam.Tempat praktek Bu Bidan adalah satu-satunya pelayanan kesehatan terdekat di desa itu. Ada juga sebuah puskesmas, namun tempatnya agak jauh sekitar 3km dari desa yang posisinya agak berjauhan dari desa yang lainnya. Jadi untuk penyakit ringan seperti luka yang tidak terlalu parah dan demam, penduduk desa itu tua mau pun muda, semua datang meminta pertolongan pertama kepada sang Bidan. Ibu Bidan yang juga adalah asli penduduk desa tersebut, selalu melayani pasiennya dengan sabar dan ramah.Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Cecep agak gelisah karena ia tahu biasanya jam sepuluh malam Bu Bidan itu sudah menutup pintu tempat prakteknya dan hanya membukanya bagi p
Menjelang tengah malam, Janeta baru sampai di rumah. Suara si Hitam yang menyalak riuh rendah menyambutnya. Anjing itu terlihat mondar-mandir di dekat pintu seperti tidak sabar bertemu dengan Janeta yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi.KreeekPintu dibuka Janeta dan...Wuuss...Di Hitam segera menghambur ke tubuh Janeta hingga gadis itu terjajar ke samping beberapa langkah.“Mengapa kamu terlihat marah dan gelisah kawan?” Janeta bertanya sambil berjongkok di lantai dan membiarkan si Hitam memegang pipinya yang lebam dengan sebelah kaki depannya yang berkuku panjang.“Oh, kamu pasti mengkhawatirkan aku, kawan. Tenang saja, aku tidak kenapa-kenapa kok.” ucap Janeta mengelus kepala si Hitam perlahan lalu bangkit dari jongkoknya dan menuju kamar kemudian membuka jaketnya.Plastik yang berisi pakaian berdarah tadi, diletakkan Janeta di atas meja rias lalu bergegas ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan sekuju
Berpacu dengan waktu, berkejaran dengan kesempatan, Janeta menyalip puluhan kendaraan yang menghalangi jalannya. Ia harus segera sampai di kantor sepagi mungkin sebelum Shania dan Tuan Fidel sampai di kantor itu. Sebuah rencana yang telah ia susun rapi di benaknya, harus ia laksanakan dengan sebaik mungkin.Hampir pukul setengah sembilan pagi, barulah Janeta sampai di halaman kantor PT. Rafidel Diamon Jaya. Abang sekuriti berkumis tebal yang menggoda Janeta seminggu yang lalu, kini tidak berani lagi menatapnya lama apalagi menggodanya. Ia kini tahu kalau gadis yang pernah ditaksirnya itu adalah pemegang mandat kuasa terkuat di perusahaan tempat ia bekerja.“Pagi Bu!” sapa Abang sekuriti memberi hormat ketika sepeda motor Janeta sampai di pintu gerbang kantor yang cukup besar itu.“Pagi juga Bang!” sahut Janeta ramah lalu memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir.Mata Janeta mencari-cari mobil Tuan Fidel di halaman parkir itu.&ld
“Sepertinya hampir sampai kepada sebuah kesimpulan. Yess..! Pemuda dengan luka gigitan anjing di tangan kirinya. Yaa... Dialah orang yang berada di sekitar rumah Pak Warno pada malam kematian lelaki tua itu.” Janeta tersenyum sendiri lalu meninggalkan ruang kerja Tuan Fidel. Sebuah senyuman miring Janeta hadiahkan kepada Tuan Fidel yang berdiri mematung dengan wajah pias.“Mengapa si tukang kebun itu senyum-senyum? Apakah dia mencurigai Abbas? Aduh gawat, bagaimana ini?” kata hati Tuan Fidel sambil melirik kepergian Janeta.Sementara itu Janeta kembali ke ruangannya namun tak lama kemudian gadis detektif itu keluar lagi. Ternyata dia hanya mengambil beberapa keperluan dari ruang kerjanya itu lalu mengunci pintu dan bergegas menuju halaman parkir. Namun baru saja ia akan menyentuh sepeda motornya, Tuan Fidel telah berada di sana seakan menghalanginya.“Janeta!” Tuan Fidel memanggil namanya.“Hm, tumben lelaki ini memanggil
Mata Tuan Fidel semakin lembab lalu kemudian basah. Ia terlihat benar-benar sedih dan berduka.“Kalau saja Lusy bisa memberikan saya keturunan, Saya tidak mungkin tega menduakannya.” ucap Tuan Fidel menerawang menatap ke arah tak tentu. Seakan ia teringat dan merindui istri tuanya itu. Dua tetes air mata gugur membasahi pipinya, lalu segera ia seka dengan punggung tangannya.Janeta hanya menatap Tuan Fidel dengan prihatin.“Alangkah pembohongnya kamu Tuan Tua, kamu bahkan mentigakan Nyonya Lusy di saat beliau masih hidup.” kutuk Janeta dalam hati begitu ia terbayang sebuah foto Salma dan Tuan Fidel yang terlihat begitu mesra, lalu terngiang kembali percakapan Pak Warno dengan Shania sebelum Pak Warno meninggal dunia.“Hmmm...” suara lelaki itu mendehem.“Sebulan sebelum meninggal, Lusy datang kemari. Ia mengatakan kalau ia pernah melihat suami kalian pergi ke hotel dengan seorang wanita muda.” ucap lelaki itu
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d