"Selamat pagi," sapa dokter yang masuk kekamar Aya bersama suster di belakangnya. "Pagi Dok," balas Dafa menggeser posisinya, memberi ruang pada dokter tersebut untuk memeriksa keadaan istrinya. "Bagaimana dok?" tanya Dafa setelah dokter itu selesai memeriksa. Ada senyum yang terlihat dari sudut bibir sang dokter. "Alhamdulillah, kondisinya sudah stabil dan semakin membaik, tapi tetap kita masih harus menunggu sampai Bu Aya siuman. Agar tau apa yang di rasakan oleh istri anda.""Alhamdulillah," gumam Dafa meraup wajahnya, ada rasa lega meskipun harus menunggu lagi. "Baiklah, kalau gitu saya permisi dulu, masih ada pasien lain yang harus saya periksa.""Iya Dok, terima kasih." dokter itu mengulas senyum dan mulai keluar dari ruangan itu. Dafa membungkuk, memberikan kecupan di kening Aya lama, memandangi wajah damai istrinya yang sangat cantik. "Cepat bangun sayang, aku kangen." gumam Dafa di sisi kanan perempuan itu, ia mengusap pipinya dengan lembut sangat berharap Aya segera me
Berada di di kantor polisi berjam-jam cukup membosankan dan melelahkan, banyak pertanyaan yang di ajukan oleh pihak kepolisian untuk mencari informasi tentang Rama. "Belum selesai juga?" kata Tito saat Dafa keluar dari ruangan. "Belum, masih di suruh nunggu." katanya begitu lesu, ia duduk di samping Tito menyandarkan kepalanya di dinding. Melihat sahabatnya yang begitu lelah, Tito pun ikut menghela napas lelahnya, jujur. Dirinya pun lelah menunggu Dafa di ruang tunggu sangat membosankan, untung saja Syifa mau menemaninya lewat pesan singkat, dan tadi sempat video call'an. "Gue capek,""Sama." saut Tito cepat. Dafa menolehkan kepalanya, menghadap ke Tito. "Sorry ya To, gue selalu nyusahin lo. Gue tau selama ini, gue yang banyak minta bantuan lo, kalau nggak ada lo, gue nggak tau bakal seperti apa.""Emang lo nyusahin, Makanya lo harus baik-baik sama gue." ujarnya lalu terkekeh pelan. "Canda. Gue nggak masalah selagi gue bisa bantu pasti, gue bantu."Dafa tersenyum, merangkul punda
"Mau ngapain lagi sih tuh orang minta ketemu Aya, terus lo izinin?" cerocos Tito dengan nada jengkel. Dafa yang duduk di jok penumpang hanya diam mencoba berpikir. "Woy! kampret. Gue ngomong sama lo!' bentak Tito yang kesal karena diabaikan oleh sahabatnya itu. "Apaan sih. Berisi lo!" sungut Dafa yang tak kalah kesal. "Lah. Kok ngegas, gue nanya lo kacangin.""CK, gue lagi mikir. Gimana caranya Aya ketemu dia? kondisinya aja belum berubah," ucap Dafa nads rendah. "Lo jangan pesimis gini dong, harus semangat. Gue yakin Aya cepat bangun dan sehat lagi, bayi lo juga pasti kuat.""Amin," balas Dafa menunduk. Membuang napas kasar Dafa menyandarkan kepalanya dijok mobil. "Tapi gimana caranya? bawa Aya ketemu Rama." gumam Dafa menaruh ujung jarinya di bibir. "Nah itu dia yang gue pikirin juga dari tadi," ujar Tito setengah jengkel. "Tauah, yang penting sekarang kesehatan Aya. Gue nggak bisa tenang kalau belum lihat Aya buka matanya." Tito hanya mengangguk lalu mempercepat kendaraannya
"Tito." mendengar namanya disebut, membuat pria itu menoleh senyuman diwajah tampannya perlahan memudar. Diganti dengan raut wajah datar, dan marah. "Apa kabar?" sapa seorang perempuan. Tito melengos mengabaikan perempuan itu, ia berjalan cepat kearah Syifa. "Tito, dengerin penjelasan aku dulu. Kumohon aku bisa jelasin semuanya," kata perempuan itu mengikutinya dari belakang. Meraih tangan Syifa, ia ingin membawa gadis itu pergi. "Syifa maaf makan es krimnya lain kali aja, sekarang kita pergi." meskipun dalam keadaan bingung, terlebih perempuan itu terus memohon pada kekasihnya, membuatnya bertanya-tanya. Meskipun dalam keadaan kesal, Tito tetap membukakan pintu melindungi kepala Syifa agar tidak terbentur, melihat bagaimana perhatian Tito kepada gadis itu, membuat raut wajah perempuan tadi begitu sedih, air matanya semakin deras mengalir. "Tito, maafin aku." gumam perempuan itu menangis pilu memandang kepergian pria itu. Didalam mobil, Syifa sesekali melirik Tito, terlihat jela
Hanya ada berdua diruangan itu, membuat Aya gugup, bukan karena apa-apa. Dafa sedari tadi hanya diam memandang kearahnya dengan senyum manis. "Mas, jangan lihatin aku terus," tergur Aya. Dafa semakin melebarkan senyumannya, ia meraih tangan Aya lalu dicium begitu lembut dan lama. "Memang kenapa?" kata Dafa memiringkan kepalanya dengan tangan Aya berada disisi pipinya. "Aku gugup Mas," aku Aya tanpa ragu. Pria itu tergelak sedikit mencubit pipi sang istri. "Aku lagi senang sayang, akhirnya doa aku, supaya kamu cepat sadar dan anak kita baik-baik aja. Didengar sama Allah, aku sangat berharap anak kita bisa bertahan."Aya ikut tersenyum, mengucapkan syukur dalam hatinya. Mengingat kejadian itu hanya membuat jantungnya berdetak cukup kencang, dia ingat saat mata mereka bertemu, ditambah senyum yang diberikan oleh pria, seketika tubuhnya meremang. Bagaimana bisa, orang itu ada disana, dan bagaimana bisa pria itu tau dia tinggal dimana. Padahal ia sudah berharap ketika pindah dia tak
"Daf, gue mau nikahin adik lo." Dafa hampir saja menyemburkan kopi yang sedang ia minum. "Hah?" beo Dafa dengan wajah cengo. "Gue mau nikahin adik lo!" ulang Tito lebih tegas. "Kok tiba-tiba, Jangan-jangan lo_""Ehh_ nggak. Gue nggak ngapain-ngapain adek lo." ralat Tito menggeleng kuat saat tau kemana arah pikiran Dafa. "Terus kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu?" ucap Dafa tak santai. Menghela napas berat, Tito menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia binggung harus bicara mulai dari mana. "Woy! di tanyain malah bengong. Maksud lo apa mau nikahin adik gue cepat banget gini, lo tau kan dia masih kuliah," menatap intens Dafa terus meminta penjelasan. "Iya gue tau, tapi gue mau secepatnya aja miliki adik lo." kerutan dikening Dafa kian dalam. "Lo beneran nggak macam-macam sama adik gue kan? kenapa lo mau buru-buru nikahin dia, biarin Syifa fokus sama pendidikannya dulu." menghela napas sejenak Dafa menepuk pundak Tito. "Kalau kalian jodoh, kapan pun kalian nikah pasti juga akan nik
"Nggak apa-apa Mas, cuma bosen nunggu kamu, katanya bentar, kan aku kangen." alibi Aya. Dafa tersenyum manis, matanya pun berkedip beberapa kali tak menyangka kalau Aya bisa mengatakan hal seperti itu. "Ciyee_" godanya lalu memeluk kepala sang istri, membantu wanita itu menyembunyikan wajahnya karena malu. Sedangkan empat pasang mata yang hanya memperhatikan, tersenyum meskipun keduanya tak tau apa arti gerakan tangan Aya tadi. "Kalau gini, aku mau belajar bahasa isyarat ah," kata Syifa tiba-tiba. Semua menoleh kearah gadis itu. "Kenapa memang?" saut Tito yang berdiri tak jauh dari posisi gadis itu berdiri. "Biar paham, dan ngerti Mba Aya ngomong apa. Lagian supaya Mba Aya nggak repot-repot lagi kalau ngobrol sama aku," jawabnya. "Benar, Mas setuju. Biar Mba Aya nggak terlalu tergantungan sama ponsel," menoleh pada istrinya Dafa menepuk puncak kepala sang istri. Melirik jam ditangan kirinya Dafa menegakkan tubuhnya menoleh ke Tito disebelahnya. "To, tolong anter adik gue pulan
Sudah semakin sehat, Aya terus terusan merengek minta pulang kepada suaminya, Dafa sendiri tadinya kasih ingin Aya menginap dirumah sakit sampai kondisi sang istri membaik. Namun karena terus memaksa sampai hampir menangis, akhirnya Dafa memberi izin dan mereka pun hari ini kembali kerumah. "Awas, pelan-pelan." melindungi kepala Ayana agar tidak terbentur pinggiran mobilnya, setelah itu merangkul Aya menuju rumah yang sudah disambut Mbo Darmi. "Assalamu'alaikum," salam Dafa tepat saat ia sudah berdiri dihadapan Mbo Darmi."Wa'alaikumsalam, Selamat datang kembali dirumah Mba Aya." kata Mbo Darmi tersenyum senang. "Mba, saya mau minta maaf. Atas kejadian tempo hari Mba Aya masuk rumah sakit." tertuduk lesu, Mbo Darmi merasa bersalah. "Kalau Mas Dafa mau pecat saya, silahkan Mas. Saya tidak apa-apa, Saya memang salah." sambungnya lagi semakin menundukkan kepalanya. "Mbo jangan gitu, saya nggak nyalahin mbo. Dan saya juga nggak akan mecat Mbo." mendongak Mbo Darmi menatap majikannya
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m