"Nggak apa-apa Mas, cuma bosen nunggu kamu, katanya bentar, kan aku kangen." alibi Aya. Dafa tersenyum manis, matanya pun berkedip beberapa kali tak menyangka kalau Aya bisa mengatakan hal seperti itu. "Ciyee_" godanya lalu memeluk kepala sang istri, membantu wanita itu menyembunyikan wajahnya karena malu. Sedangkan empat pasang mata yang hanya memperhatikan, tersenyum meskipun keduanya tak tau apa arti gerakan tangan Aya tadi. "Kalau gini, aku mau belajar bahasa isyarat ah," kata Syifa tiba-tiba. Semua menoleh kearah gadis itu. "Kenapa memang?" saut Tito yang berdiri tak jauh dari posisi gadis itu berdiri. "Biar paham, dan ngerti Mba Aya ngomong apa. Lagian supaya Mba Aya nggak repot-repot lagi kalau ngobrol sama aku," jawabnya. "Benar, Mas setuju. Biar Mba Aya nggak terlalu tergantungan sama ponsel," menoleh pada istrinya Dafa menepuk puncak kepala sang istri. Melirik jam ditangan kirinya Dafa menegakkan tubuhnya menoleh ke Tito disebelahnya. "To, tolong anter adik gue pulan
Sudah semakin sehat, Aya terus terusan merengek minta pulang kepada suaminya, Dafa sendiri tadinya kasih ingin Aya menginap dirumah sakit sampai kondisi sang istri membaik. Namun karena terus memaksa sampai hampir menangis, akhirnya Dafa memberi izin dan mereka pun hari ini kembali kerumah. "Awas, pelan-pelan." melindungi kepala Ayana agar tidak terbentur pinggiran mobilnya, setelah itu merangkul Aya menuju rumah yang sudah disambut Mbo Darmi. "Assalamu'alaikum," salam Dafa tepat saat ia sudah berdiri dihadapan Mbo Darmi."Wa'alaikumsalam, Selamat datang kembali dirumah Mba Aya." kata Mbo Darmi tersenyum senang. "Mba, saya mau minta maaf. Atas kejadian tempo hari Mba Aya masuk rumah sakit." tertuduk lesu, Mbo Darmi merasa bersalah. "Kalau Mas Dafa mau pecat saya, silahkan Mas. Saya tidak apa-apa, Saya memang salah." sambungnya lagi semakin menundukkan kepalanya. "Mbo jangan gitu, saya nggak nyalahin mbo. Dan saya juga nggak akan mecat Mbo." mendongak Mbo Darmi menatap majikannya
Menarik napas panjang lalu dibuangnya secara pelan, pria itu mulai mengeluarkan suaranya. "Syifa, Maafin Mas."Syifa bergeming, tak ada sautan gadis itu sepertinya masih marah pada Tito. "Fa_" panggil Tito lirih, mencoba meraih tangan gadis itu namun Syifa lebih dulu merubah posisinya. "Mas mau ngapain lagi kesini?" tanya Syifa dengan suara dalam. "Mas mau minta maaf, Mas ngaku salah kemarin. Kamu tau kan, Mas itu orangnya gampang marah." melas Tito penuh mohon. "Jangan disini Mas, malu dilihat orang." sewot Syifa lalu berjalan lebih dulu ke mobil pria itu. Dalam hati Tito bersorak kesenangan lalu berlari menyusul Syifa, lalu membukakan pintu untuk gadisnya. Hati Tito sedang berbunga-bunga, senyum manis yang kian menambah ketampanannya diperlihatkan hari ini, sebab seseorang yang sudah dia rindukan akhirnya sudah mau bertemu dan duduk disampingnya. Meskipun gadis itu masih diam dengan raut wajah kesal, paling tidak dia sudah bisa mengurangi rasa rindunya. "Kita ngobrol sambil
"Hah!" teriak Syifa. "Masa sih Mas," bertanya lagi dengan tatapan seolah tak percaya. "Beneranlah. Masa Mas bohong sih," yakin Dafa membuat Tito kian pasrah. "Ya ampun, Ck kasian ya Mang ucup, kelamaan bujang jadi suka galau." kata Syifa pelan. Kening Tito bertaut menatap kakak adik di hadapannya ini. "Tunggu-tunggu, kalian ceritain siapa sih?" menegakkan tubuhnya kembali, ia merasa bingung dengan pembahasan antara Dafa dan Syifa. "Itu loh, Mas. Mang ucup satpam komplek, dia lagi galau soalnya, sudah beberapa hari ini kucing kesayangannya nggak pulang, padahal kucing itu teman Mang Ucup. Sekarang nggak pulang berasa hidup sendiri, setiap malam telepon Mas Dafa curhat soal kucingnya." jelas Syifa begitu detail menceritakan apa yang Dafa ceritakan tadi. Mendengus pada Dafa, Tito bisa bernapas lega. Antara kesal dan berterima kasih pada sahabatnya itu. Ia pikir Dafa benar-benar ingin memberitahu tentang dirinya yang suka menelpon hanya untuk curhat. "Untung aja." gumam Tito mengu
"Gimana sekarang kita jalan-jalan, mumpung Mas nggak ada kerjaan." tawar Tito. "Boleh, kita kemana enaknya?" Tito mengusap dagu berpikir tempat yang pas dan enak untuk di kunjungi. "Nonton mau nggak?""Mau, kebetulan aku pengin banget nonton." jawab Syifa senang. "Oke," segera menjalankan mobilnya, Tito mengarahkan kendaraan itu ke mall besar yang ada di ibu kota. Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah sampai. Seperti biasa Tito turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Syifa tidak lupa melindungi kepala sang gadis dari pinggiran mobil. Menggandeng tangan gadisnya Tito mulai mengajak masuk, hari yang sudah sore membuat para pengunjung mall terlihat ramai, padahal ini bukan hari sabtu atau minggu. Saat asyik berjalan menuju kebioskop, mata coklat milik Syifa tertarik pada sesuatu yang tengah di pajang. Tito mengerutkan kening, lalu ia. menoleh ketika Syifa seperti berhenti berjalan, mengikuti arah pandang gadis itu ia tersenyum. "Kamu mau itu?" Syifa tersentak mendengar bisikan d
Didalam bioskop film sudah diputar sekitar lima belas menit yang lalu, orang-orang pun sudah menonton dengan tenang dan serius, tapi tidak dengan Syifa. Gadis itu tampak gelisah, ia melihat kemana pun asal tidak ke layar besar di hadapannya. Sampai di mana Syifa merapatkan tubuhnya ke pria yang sedari tadi diam menyimak film itu, sadar akan kegelisahan kekasihnya Tito pun berbisik. "Kamu kenapa? nggak nonton?" "Aku kayaknya salah pilih film Mas, aku takut." bisiknya setengah merengek. Tito tak bisa untuk tidak tertawa, ia terkekeh pelan takut menggangu pengujung lain. "Tadi siapa yang minta nonton film ini? Mas kan nurut aja," ujarnya. Syifa memeluk erat lengan Tito menyembunyikan wajahnya di pundak besar itu saat suara menegangkan terdengar begitu nyaring. "Bisa nggak sih Mas, kita pergi aja? aku takut,"Tito celingak-celinguk melihat kondisi didalam bioskop tersebut. "Kayak nggak bisa, yang nonton banyak. Kalau kita berdiri pasti mereka terganggu," "Ah, tapi aku takut. Film
"Menurut lo, gue harus ngomong gimana sama Aya?" melirik sejenak Tito malah menghela napas panjang. "Untuk sekarang gue nggak bisa mikir," jawabnya seraya mendongak menatap langit-langit rumah Dafa. Dafa memiringkan tubuhnya, menatap Tito lekat dengan kerutan di kening. "Kenapa lagi?" tanya Dafa. "Lo berantem lagi sama adik gue?" Tito menoleh cepat lalu menggeleng kuat. "Nggak lah! masa baru baikkan, marahan lagi." sentak Tito tak suka. Kekehan kecil keluar dari mulut Dafa. "Terus ada apa lagi?""Lo tau nggak, tadi waktu gue ngajak Syifa nonton di mall. Gue ketemu lagi sama dia." kata Tito yang enggan menyebutkan nama perempuan itu. "Oh iya? kenapa lo ketemu dia selalu sama Syifa.""Nah itu dia! makannya gue kesal, ini pasti suatu saat nanti gue ketemu lagi. Dan lo tau tadi dia ngapain?!" Dafa menggeleng pelan. "Dia bersujud di hadapan gue, sambil mohon-mohon. Gila, mana banyak orang yang lihat, untung aja Syifa nggak lihat," ujar Tito jengkel. "Kayaknya dia bakal sering temuin
Dua pria tampan yang sedang sarapan dengan dua wanita cantik, tidak pernah melunturkan senyum tanggal berhias di wajahnya. Keduanya sangat senang, bisa sarapan bersama seperti ini, dan sedikit terlihat di benak Dafa jika suatu saat nanti ia bisa bersama kedua orang tuanya juga. Dengan status sang adik yang sudah berbeda bersama sahabatnya. Begitu pun Tito, pria itu menunduk mengigit bibir bawahnya ketika sebuah khayalan melintas di otaknya, di mana ia sudah menikah dengan Syifa dan hidup bersama wanita itu. Ketika sarapan seperti ini ada rasa hangat menjalar di hatinya, secara Tito jarang sekali memiliki momen bersama keluarganya seperti ini, hanya untuk sekedar sarapan bersama saja itu adalah hal langka terjadi. Dafa menoleh pada Aya, tidak lama ia tersedak ketika mengartikan arti gerakan tangan sang istri. "Mas, aku jadi nggak sabar mereka menikah, pasti seru sarapan bersama tiap hari.""Uhuk_ uhuk." Aya panik ia mengambil air minum yang langsung di minum hingga tandas oleh Daf
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m