"Meysa telah tiada, Bu Tari," jelas wali kelas Meysa."Apa!" Jantungku kembali berdegup lemah. Bersamaan dengan itu air mataku seketika luruh di pipi. Lututku bergetar lemah.Perlahan kusingkap selimut yang menutupi wajah seorang yang tertidur di hospital bed. Benar saja, wajah kaku Meysa tertidur di sana."Ya Allah. Meysa! Kenapa ini?" Dadaku bergetar lemah. Kepalaku pusing. Pandangan seketika menghilang. Gelap tak terlihat sedikit pun cahaya di depanku. Bak disambar petir, tubuh lemas dan terkulai tak berdaya.Dalam suasana gelap di depanku."Mama, aku maafkan aku ya. Mama jaga diri baik-baik." Suara Mesya terdengar berbisik di telingaku. Putriku! Mau kemana kamu, Nak?"Meysa! Mey!"Namun, kulihat Meysa terbawa hembusan angin. Putriku terbang ka atas langit, bersama bidadari yang mendampinginya."Mey! Jangan tinggalkan Mama!" Aku berteriak memanggil namanya. Air mataku mengalir deras tak tertahankan. "Meysa... Jangan tinggalkan Mama."Aku memanggilnya lirih. Namun putriku hanya
Rasanya aku tak percaya mendengar penjelasan wali kelas Meysa. Anakku tidak depresi. Meysa baik-baik saja. Aku tahu dan aku yakin itu."Tidak mungkin." Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menepis kalimat penjelasan yang baru saja terdengar."Kami paham jika Bu Tari masih tak percaya, sebab kalau boleh jujur, kami pun sulit untuk percaya dengan semua ini." Salah satu guru menimpali."Tapi saya sangat tahu Mesya. Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu," bantahku lagi. Aku menutup wajah sendu ini dengan sebelah telapak tangan. Nyatanya, air mataku kian menganak sungai di pipi.Tak berhenti sampai di situ, beberapa guru di sekolah Mesya pun turut memberikan penjelasan. Ketika aku menatap wajah mereka satu-persatu, semuanya nampak berduka. Tak ada wajah kepura-puraan yang mereka tampilkan saat ini.Lalu, aku harus percaya pada siapa? Sementara dalam hati sangat yakin kalau Meysa tak mungkin melakukan hal itu.***"Mey! Sarapan dulu, Sayang."Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Aku ingi
Hari berganti hari. Semakin hari, semakin bertambah berat rasa di hati. Aku melalui semuanya sendirian sampai tahlilan ke 40 hari kepergian Meysa.Beberapa kali Bastian sempat mendatangi rumahku dengan dalih berbela sungkawa. Namun aku bersi kukuh menolak tak menerima kedatangan Bastian di rumahku. Aku memutuskan tak mau berhubungan lagi dengan Bu Yunita, termasuk Bastian. Apalagi mengenai Gina, kurasakan wanita itu bukan lagi sahabatku. Gina yang dulu telah lenyap, berganti dengan Gina yang tak lagi kukenal."Bu, makan dulu ya."Suara Mba Sari membangunkanku dari lamunan singkat. Suasana di luar ini tengah gerimis, langit pun nampak berawan sehingga menghalangi cahaya matahari. Aku yang tengah duduk sendirian di kursi yang berada di samping rumahku sampai lupa kalau waktu sudah beranjak siang."Ini jam berapa, Mba?" tanyaku seraya menoleh pada Mba Sari yang masih setia bersamaku."Ini sudah jam sepuluh siang, Bu. Bu Tari belum sarapan, saya sudah siapkan makanan di atas meja," kata M
"Sedang apa kamu di sini?" tanyaku nanar padanya.Selama ini, Gina tak pernah datang untuk berduka cita atas kepergian Meysa. Meski pun aku tak pernah mengharapkan kedatangannya. Lalu, saat ini aku menemukan dirinya tengah menangis sendirian di atas pusara anakku.Seketika Gina sibuk mengusap pipinya. Wajahnya nampak tegang, juga salah tingkah."A-Aku, aku hanya sekedar ziarah saja," jawab Gina singkat. "Aku pamit," sambunya seraya melangkah pergi. Dengan cepat Gina meninggalkan pemakaman. Sejujurnya aku ingin menahannya, akan tetapi lidahku kelu untuk berbicara dengannya. Rasa sakit di hati terasa menyayat setiap kali ingat kejahatan Gina padaku.Tapi, untuk apa Gina meminta maaf pada Meysa? Aku mematung ketika terus saja mengingat ucapan Gina tadi. Sungguh kalimat Gina telah mengganggu pikiranku."Bu, kenapa diam saja?" Mba Sari menegurku."Oh iya, Mba. Maaf." Hingga akhirnya aku terbangun dari lamunan singkat.Segera kutekuk lutut di ada pusara Meysa. Aku mendo'akan putriku dengan
Sepulang dari sekolahan Mesya tadi sore, kepalaku terus saja memikirkan cerita pria paruh baya penjual es dawet tadi.Di bawah langit yang sudah gelap, aku berdiri di depan rumah sambil menatap ke atas. Kulihat beberapa bintang bersinar di langit sana."Mey, apa kamu ada di sana?" Aku berbisik sendirian. Andai bisa meminta, aku ingin sekali bertemu dengan Meysa, walau hanya dalam mimpi. "Mey, temui Mama walau dalam mimpi. Sampaikan apa yang ingin kamu sampaikan pada Mama. Tentang apa yang sebenarnya terjadi tanpa sepengetahuan Mama."Tak ada yang menjawab pertanyaanku saat ini. Sekeliling area nampak sunyi, sepi. Tak ada satu pun yang mendekat padaku.Hingga ketika aku membalikan tubuh, hendak masuk ke rumah. Tiba-tiba suara klakson terdengar berbunyi di depan rumahku. Aku menoleh. Kulihat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Mobil yang nampak tak asing dalam pandangan.Seorang pria keluar dari dalam mobil itu, berjalan mendekat padaku. Aku pun menyambutnya malas. Memutar bol
Aku harus kembali ke rumah dalam keadaan isi hati yang kian terluka parah. Betapa teganya Bu Yunita melakukann itu semua. Belum cukupkah aset perusahaan diambilnya dariku.Di samping rumah dekat kolam renang aku duduk sendirian sambil memeluk lututku. Sesekali mengusap pipi yang basah oleh bulir bening yang berhasil menetes di pipi.Ya Tuhan, dosa apakah yang telah aku lakukan, sehingga hidup terasa kian memilukan. Tapi aku kembali menyadarkan diri. Aku terus menguatkan diri. Semua ujian pasti akan terlewati asal ada usaha untuk melaluinya."Permisi, Bu."Hanya suara Mba Sari yang terdengar sopan di telingaku. Aku menoleh pada wanita yang selalu memakai jilbab berwarna abu-abu itu."Ada apa, Mba?""Di depan ada tamu, Bu," jawabnya. "Saya tidak ingin bertemu dengan siapa pun," balasku seraya mengembalikan pandangan."Tapi katanya tamu itu dari jauh, sengaja datang ke sini, Bu. Rasanya tak tega untuk mengusirnya," kata Mba Sari. Begitu kulihat wajahnya nampak serba salah."Memangnya si
Santi masih mengiba. Tatapannya terlihat ikhlas. Apa dia benar-benar tulus?"Tapi, San. Saya sudah tak punya apa-apa. Untuk menghidupi diri sendiri pun saya tengah memutar otak," terangku."Saya menganggap Bu Tari bagaikan orang tua sendiri. Saya ingin berbakti pada Bu Tari. Saya ingin berbalas Budi," tekan Santi.Perbicangan aku dan Santi kala itu cukup lama. Aku memikirkan permintaan Santi dalam beberapa jam. Hingga akhirnya aku menganggukan kepala, menerima permintaannya.Santi menyeringai senang. Tatapannya semakin berbinar ketika aku mengiyakan permintaannya.Kami berpelukan melepas rasa bahagia. Ya Tuhan, terima kasih atas kehadiran Santi. Wanita itu memang pernah menghancurkan hidupku, tapi dia telah berubah dan ingin memperbaiki dirinya. Wanita yang pernah kubenci itu, kini malah menjadi orang terdekatku.Dibantu Santi dan Mba Sari, aku mulai sibuk di dapur tengah membuat aneka kue basah. Santi bersedia menjual kue basah yang aku buat. Dia rela berjualan keliling area sambil m
"Kamu tanya pada Bu Yunita. Beliau sangat tahu jawabannya," tantangku."Kenapa dengan mamaku, Tar?" Bastian nampak terkejut."Kamu tanya sendiri saja. Mungkin, dengan merebut perusahaan, Bu Yunita masih belum puas." Aku tengah menahan amarah di dalam dada."Oh jadi kalian malah reunian di sini!" sentak suara sopran milik Gina turut menimpali perbincanganku dengan Bastian.Serentak aku dan Bastian menoleh secara bersamaan. Masalah lagi. Aku yakin kedatangan Gina hanya akan membawa masalah seperti yang sudah-sudah."Pantas saja aku tunggu kamu dari tadi gak muncul-muncul, Bastian. Rupanya kamu digodain janda di sini," imbuh Gina terdengar menyindir."Cukup, Gin. Tak usah berbicara yang aneh-aneh," tegas Bastian pada istrinya."Loh memang benar 'kan. Janda lusuh ini memang yang selalu mengganggumu," tuduh Gina. Jari telunjuknya menggaris lurus ke wajahku."Selalu saja begitu." Aku memutar bola mata kesal. Bukan tak berani membela diri di hadapan Gina. Namun sudah bisa ditebak seperti yan
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria