Berada di toko adalah dunia menyenangkan bagiku. Bermain dengan adonan, adalah sesuatu yang sangat ku gemari. Berawal dari rasa suka, hingga akhirnya terciptalah toko ini. Alhamdulillah.
Menciptakan bermacam-macam kue dan roti tidak hanya butuh keahlian, tapi kita harus mencintainya dulu, baru bisa memberikan hasil yang sempurna. Bagiku membuat kue atau roti bukan hanya profesi tetapi juga sebuah hobi.
"Bu, ini bisa di oven sekarang? tanya Ningsi. Kuamati roti sobek yang berada di dalam pengembang.
"Kayaknya sudah bisa, Ning. Sudah kembang itu," balasku seraya tangan menari bersama adonan.
Hari ini kami hurus berkerja ektra, karena banyak pesanan untuk besok. Berkerja dalam canda sungguh membuat waktu cepat berputar, hingga tak terasa hari sudah menjelang sore.
Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah jam empat sore, sudah waktunya aku dan Zulfa pulang. Karena jika terlambat, pasti Ibu akan mengomel panjang. Untuk saat ini, aku tidak mau membuat Ibu marah, karena wanita yang melahirkan suamiku itu pasti akan melakukannya di depan tamunya. Bukan takut atau apa, tapi aku hanya ingin menjaga hatiku.
Bersiap hendak pulang, kuambil gawai di dalam tas lalu memesan ojek online.
Setengah lima sore aku sampai di rumah. Turun dari ojek lalu membayar ongkos. Kubuka pagar dengan satu tangan, karena tangan yang lainnya sedang menggandeng tangan mungil Zulfa.
"Assalamu'alaikum." salamku seraya memutar gagang pintu. Namun sepi, tidak ada sahutan. Entah kemana dua wanita berbeda generasi itu.
Tidak mendengar jawaban, pelan tangan ini mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Aku berjongkok membuka sepatu Zulfa, meletakan di rak sepatu samping pintu, lalu membuka sepatuku dan meletakkannya di samping sepatu Zulfa.
"Ayo masuk, Sayang. Mandi habis itu istirahat ya." Aku sengaja selalu mengarahkan putri, walaupun tetap masih aku yang melakukannya. Karena nanti di saat Zulfa sudah mengerti, dia sudah tau dan bisa melakukannya sendiri.
Setelah membersihkan tubuh Zulfa, ku tinggalkan putriku itu bermain dengan bonekanya, dan melangkah ke arah pintu. Aku ingin ke kamar untuk membersihkan diri sendiri. Capek seharian bertempur dengan tepung dan teman-temannya, untuk pesanan besok. Mungkin dengan di guyur air lelah akan sedikit berkurang.
Pelan kututup pintu kamar putriku, lalu menyeret langkah pelan menuju kamar. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat pemandangan yang sangat menyesakkan dada. Entah sejak kapan tiga orang itu berada di sana. Di depan mataku, suami dan mertua sedang duduk bercengkrama dengan Iren. Sejenak tatapanku bertemu dengan mata Mas Hasan, hingga pria yang masih memakai baju kerja itu membuang pandangannya ke lantai.
Lama aku memandangi mereka yang diam tanpa kata. Entahlah, kenapa mendadak ketiga manusia itu bungkam. Mungkin tidak mau jika aku mendengar obrolan mereka. Hanya Ibu yang sesekali tersenyum pada tamunya, seraya mengelus lembut tangan wanita itu.
"Mas, makasih ya udah belikan pesanan aku. Aku tuh memang dari kemarin pengen makan ini. Apalagi, seharian ini perutku sakit sekali," ucap Iren manja, yang ditanggapi anggukan kecil oleh Mas Hasan. Wanita itu melirikku sinis. Wajahnya terlihat pucat. Sepertinya virus cinta dalam susu, berkerja dengan baik. Mungkin seharian ini Iren, merasakan sensasinya. Sesaat hatiku tertawa jahat.
Kupandangi kantong plastik transparan di tangan Iren. Entah apa isinya, aku tak tahu tapi yang jelas membuat hatiku bagai di cubit. Bagaimana bisa, laki-laki yang masih sah bergelar suamiku itu, membelikan sesuatu pada Iren saat pulang kerja, sementara padaku dan Zulfa, selama ini tak pernah sekalipun pria itu membawakan oleh-oleh sepulang kerja. Bukan iri, tapi memang seharusnya, aku dan Zulfa lah yang lebih berhak.
Untuk menjaga hatiku, kulanjutkan kembali langkah menuju kamar. Biarlah, apa yang ingin mereka lakukan. Terserah! Selama tidak menyalahi agama, dan Mas Hasan tidak melanggar batasannya, aku mencoba bersikap acuh.
"Lakukanlah apa yang kau inginkan, Mas! Aku akan mencoba bertahan semampuku. Namun jika kau berbuat di luar batas, maka aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali," ucap hati kecilku seiring langkah kaki.
Aku masuk ke kamarku lalu menutup dan mengunci pintu. Setelah meletakkan tas di atas meja rias, aku masuk ke kamar mandi menguyur seluruh tubuh dengan air, agar lelah badan dan pikir terefresh.
Keluar kamar setelah mandi dan berganti pakaian, ku ayunkan langkah menuju dapur untuk memasak. Ini adalah mutlak tugasku setiap hari. Meskipun capek seharian di toko, tapi aku wajib untuk memasak makan malam seisi rumah. Jika aku absen sekali saja, maka Ibu akan mengomel panjang dengan cacian.
Untuk menu makan malam, aku membaut sup bakso dan udang goreng tepung, permintaan putriku. Sementara untuk Ibu dan Mas Hasan, aku akan memasak ikan nila goreng, tahu dan tempa plus sambal terasi. Karena di kulkas memang hanya ada ikan, tahu, dan tempe, sementara daging beku, prosesnya lama, jadi hanya itu yang bisa kusajikan untuk mereka. Sementara Iren, terserah wanita itu mau makan apa, makan angin juga tidak apa-apa.
"Mbak, tadi pagi Mbak nyuci, kenapa baju-baju aku nggak Mbak cuci sekalian sih," ucap Iren dengan nada ketus. Tiba-tiba saja tamu nggak ada akhlak itu sudah berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. Dasar!Spontan kuputar badan menghadap wanita berambut pirang, dengan pakaian kurang bahan itu. Kutatap lekat matanya hingga tamu Ibu itu merasa kikuk.
"Maaf ya, Ren. Kamu 'kan punya tangan. Kenapa nggak kamu cuci sendiri, biar tangan kamu itu ada manfaatnya. Lagian itu 'kan baju kamu, kenapa harus aku yang cuci," balasku, lalu membalikkan kembali badan menghadap kompor.
"Tapi aku 'kan tamu di sini, Mbak! Sudah seharusnya aku di layani! Termasuk mencucikan baju-bajuku!" Dasar tamu nggak punya etika. Seenaknya saja kalau berucap, seperti tidak pernah merasakan bangku sekolah. Dia tau, dia sebagai tamu di sini, kenapa bertingkah seperti ratu.
"Masih tamu 'kan? Bukan raja! Justru karna kamu tamu, makanya kamu harus tau diri," ucapku telak. Kata-kata yang aku tau menusuk sampai ke jantungnya. Entah seperti apa reaksinya mendengar ucapanku.
Kubalikkan kembali badan menghadapnya. "Oh ya, Ren. Harus kamu ingat, saya istri sah di sini bukan pembantu! Jadi jaga sikap kamu. Bersikaplah sebagai tamu, bukan ratu," ucapku lagi tanpa memberi Iren kesempatan membalas.
muka Iren merah bak tomat busuk, antara marah dan malu. Wanita itu mendelik, dengan mengeratkan gigi-giginya. Terlihat sekali jika dia sedang menahan emosi.
"Berani kamu sama aku, Mbak?" tanyanya melotot, biji matanya seakan ingin meloncat keluar dari tempurungnya.
"Kenapa aku harus takut padamu, Ren. Aku diam bukan karena takut padamu. Aku hanya nggak mau ada keributan, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya padaku. Apalagi menggantikan posisiku menjadi ratu di rumah ini. Ingat! Kamu itu hanya tamu! Hanya tamu! Yang suatu saat akhirnya akan pergi."
"Hahaha. Mbak, Mbak, aku tidak akan pergi dari sini. Aku bahkan bisa tinggal selamanya di rumah ini jika aku mau," ucapnya pongah. Wanita itu tertawa sambil memegangi perutnya. Benar-benar tidak tahu diri.
"Apa maksudmu," tanyaku.
"Pikir aja sendiri," ucap Iren dengan senyum mengejek. Sesaat kemudian, wanita itu melenggang pergi meninggalkanku dengan seribu tanda tanya.
Kuelus dada yang tertutup hijab instan. Otakku terus saja mencerna, apa maksud ucapan Iren. Apakah wanita itu berniat tinggal di sini selamanya?
"Astagfirullah ... nggak mungkin," kugelengkan kepala berulang kali, mengusir pikiran jelek yang singgah d otak.
"Ibu dan Mas Hasan, nggak mungkin ngizinin Iren tinggal di sini selamanya," lirihku. Ibu mungkin tidak menyukaiku, tapi aku tau, mertuaku itu tidak akan membiarkan wanita yang bukan muhrim anaknya tinggal lama di rumah ini.
Setelah menyusun semua makanan di atas meja, dan menutupnya dengan tudung saji, kutinggalkan ruang makan. Adzan magrib sudah dari tadi berlalu. Setelah melaksanakan sholat magrib, aku ingin bercengkrama dengan putriku, agar emosi yang di picu Iren tidak masuk ke hati dan merusak segumpal daging yang bernama hati.
Tak perlu memanggil penghuni rumah ini untuk makan, karena kata Ibu, tugasku hanya menyiapkan, tidak perlu memanggil. Mereka akan makan sendiri.
"Tugas kamu itu, hanya masak dan taruh di atas meja! Nggak usah sok-sokan manggil, kami akan makan dengan sendirinya. Oh ya ... jangan keluar dari kamar selagi kami makan." Itulah kalimat dari Ibu, saat di awal-awal aku menginjak rumah ini. Waktu itu setelah memasak, aku memanggilnya dan Mas Hasan yang lagi ngobrol di kamar Ibu untuk makan, tapi bukan terimakasih yang kudapat atau kata 'iya', melainkan ucapan yang merobek hatiku.
"Sudah sholat, Nak," sapaku pada Zulfa saat pintu terbuka. Anakku itu sedang duduk di bibir ranjang bersama Ketty.
"Sudah, Bunda," ucapnya seraya mengangguk-angukkan kepala.
"Wah ... Bunda ketinggalan nih. Ya sudah, Zulfa tunggu dulu ya, Bunda sholat bentar. Aku menutup kembali pintu setelah melihat anggukan Zulfa.
Dengan langkah pelan, aku menyeret kaki menuju kamarku. Langkahku terhenti saat tubuh ini hampir bertabrakan dengan Mas Hasan. Kuangkat kepala menatap pria yang sudah berdiri bak patung di depanku.
"Mau makan, Mas?" tanyaku basa-basi. Terserah mau dijawab atau tidak.
"Hem." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Benar-benar irit bicara. Padahal aku adalah istrinya sendiri. Jika dia mengerti, pasti dia tau betapa banyaknya pahala yang didapat hanya dengan mengajak istri bicara atau bercanda.
"Kusiapin kah, Mas?" tanyaku lagi. Meskipun aku tau apa jawabannya, tapi itu sering aku lakukan. Berharap ada keajaiban. Kenapa tidak? Aku percaya kesabaran itu akan mengalahkan segalanya.
"Nggak usah," balasnya datar, seraya melangkahkan kaki menuju dapur. Kutarik nafas panjang lalu menghelanya, lalu ikut menyambung langkahku. "Kamu kalau jalan pakai mata. Nanti kamu tabrak lagi, itu semua barang dibeli pake uang." Langkahku terhenti, namun ucapan pria itu mencubit hatiku. Perih!
Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'."Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya."Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya."Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara. Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan pir
Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang. Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bah
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu
Mecoba TegarAir mata tak lagi bisa kutahan. Rasa sakit yang Mas Hasan tancapkan di hati ini, menjalar ke seluruh anggota tubuh, hingga air mata terjun bebas berlomba keluar dari tempurungnya. Suami yang selama ini kucintai dan ku pertahankan dengan segenap jiwa, meskipun dia selalu dingin dan tak menganggapku ada. Kini laki-laki itu telah mematahkan hatiku menjadi dua. Menyakitiku tanpa ampun luar dan dalam. Walaupun tak berdarah tapi sakitnya luar biasa."Lantas ... kenapa kau tidak menceraikanku, Mas? Kenapa tidak melepaskanku jika memang aku bukanlah pemilik hatimu." Ku hapus kasar air mata. Meski hatiku hancur, tapi aku harus kuat. Aku hanya sendiri di dunia ini, jika aku tidak kuat, maka mereka akan semena-mena.Mas Hasan menatapku penuh amarah. Ke balas tatapannya dengan raut menantang. "Ceraikan! Ceraikan aku ... maka aku tidak akan butuh penjelasan darimu, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu." Dia menyentak nafasnya kasar. "Belum saat," ucapnya datar, lalu membalikkan bad
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya