Diculik?Hem! Lita berdehem kecil menarik perhatianku dari Zulfa dan Lili. Spontan Aku menoleh. "Oh iya, silakan duduk, Pak." Aku mempersilakan tamu yang belum kutahu siapa namanya itu. Jariku menunjuk meja di depan kasir. "Lit, kamu di sini aja. Temenin saya," ucapku mencegah Lita hendak melangkah meninggalkanku. Aku tidak terbiasa bicara hanya berdua dengan lawan jenis. Kalau tidak ada yang menemani. Biasanya ada Zulfa bersamaku. "Oh ... iya, iya tidak apa-apa," ucap pira itu seolah mengerti pikiranku. "Silakan, Pak." Lagi aku mempersilakannya duduk, karena dari tadi masih saja berdiri. Kuanggukan kepala pada Lita, mengisyaratkan supaya ia juga ikut duduk bersama kami.Aku duduk berdampingan dengan Lita, sementara laki-laki itu duduk di depan kami. "Mmm, begini, Bu?" ucapannya terhenti. "Mila, Pak," balasku mengerti. "Begini, Bu Mila. Saya ini baru buka kafe. Saya berencana mau nambah menu buat kafe saya. Kebetulan beberapa hari yang lalu, Ibu saya mencicipi kue d
Fitnah Ibu dan Iren"Kemarin, saat Ibu pamit keluar, Zulfa memberitahuku, jika neneknya dan wanita yang bernama Iren itu, punya rencana jahat. Mereka ingin melenyapkan Ibu dan membuang jasad Ibu ke jurang." Mataku membulat mendengar penuturan Lita. Pantas saja, kemarin pagi Zulfa mengingatkan supaya aku menjaga diri. Ternyata anakku itu tau rencana busuk Neneknya dan Iren. Ya Tuhan ... tega sekali Ibu berniat melenyapkan ku."Nah ... Zulfa membaca pesan dari Pak Hasan mengajak Ibu bertemu di taman. Zulfa curiga, jika itu rencana, Bu Tuti dan wanita itu."Alisku bertaut, pesan kemarin dari Mas Hasan. Apa mungkin Mas Hasan juga bersekongkol dengan Iren dan Ibu untuk melenyapkanku?Air mata jatuh membayangkan Mas Hasan begitu tega ingin melengmyapkanku. Padahal, jika dia sudah tidak menginginkan diri ini, kenapa tidak melepaskan saja, tanpa harus berbuat dosa dengan membunuhku? "Saya langsung menghubungi Pak Revan. Maaf, Bu, jika aku lancang, tapi aku nggak tau harus minta tolong siap
Kemarahan Mila"Mana mau dia ngomong. Apa kamu nggak lihat, dia pulang diantar siapa? Ya pastilah dari selingkuh. Sampai-sampai anaknya ditinggal sendiri di toko. Benar-benar perempuan jalang." Aku membuang pandang pada Ibu. Aku yakin dia tau apa yang terjadi, tapi bisa-bisanya dia malah memfitnahku."Iya lah, Mas ... apalagi kalau bukan selingkuh. Laki-laki tadi itu yang bertemu dengannya di taman waktu itu. Mereka memang sering jalan berdua kok. Aku pernah lihat malah," ucap Iren mengompori, tapi semua ucapannya fitnah.Kutatap Ibu dan Iren bergantian. "Kalian jangan memfitnahku!" ucapku dengan menekan setiap kata. Ibu mencabik mulutnya."Apa Ibu dan Iren benar-benar tidak tau aku kemana?" tanyaku lagi. Ibu dan Iren spontan saling pandang."Mas, apa kamu lupa dengan pesanmu menyuruhku datang ke taman dekat kantormu?" Mas Hasan mengerutkan kedua alisnya."Apa maksudmu? Mana ada aku mengirimimu pesan. Kemarin ponselku ketinggalan di rumah." Aku menatap Ibu dan Iren. "Jadi benar? I
Kubalikkan badan lalu berlari menuju kamarku. Kali ini hatiku benar-benar hancur. Ternyata selama ini aku di tipu. Pantas saja Iren sangat yakin bisa tinggal selamanya di rumah ini. Ternyata dia juga istri Mas Hasan.Kututup pintu lalu menguncinya. Tubuhku merosot ke lantai. Lutut tidak kuat lagi menopang badan. "Ayah ...." Aku melipat kedua lutut lalu menenggelamkan wajahku diantara keduanya, menangis tanpa suara. Hatiku benar-benar hancur tak berbentuk.Zulfa ....Kuangkat wajah saat teringat Zulfa. Kuusap kasar sisa air mata di kedua pipi. Hatiku hancur begini, bagaimana dengan Zulfa? Ya Tuhan ... jangan sampai anakku mendengar semuanya. Bagaimana perasaannya saat mengetahui, jika Iren adalah Ibu tirinya.Kuangkat badan berdiri. Masuk ke kamar mandi, dan mencuci muka. Setelah selesai, kuseret langka pelan keluar dari kamar mandi.Aku mengambil koper di atas lemari, dan memasukkan semua pakaianku ke dalam koper. Tekatku sudah bulat, malam ini juga aku akan keluar dari rumah ini.
"San ... tadi Ibu sama Iren dari toko roti tempat kerja si Mila ...." ucap Ibu. Spontan aku menoleh padanya yang menggantung ucapan. Aku menatap Ibu dengan alis bertaut, menungggu sambungan dari ucapannya.Ibu melirikku sekilas lalu matanya beralih pada remote yang ada di atas meja. Ih ... lama banget sih Ibu ini! Bikin penasaran aja. Kalau reaksi Ibu sudah begini, pasti ada yang terjadi di sana tadi."Sebenarnya, tadi itu Ibu sama Iren cuma lewat aja di sana. Eh ... pas sampai di parkiran Ibu liat, si Mila itu masuk ke dalam mobil laki-laki yang kemarin itu lho. Jalan berdua, kasian Zulfa, ditinggal. Kayaknya, memang biasa sudah itu si Mila begitu. Pergi-pergi sama laki-laki, berdua."Darahku mendidih mendengar ucapan Ibu. Dalam hati seperti ada kecemburuan mendengar Mila pergi dengan laki-laki lain."Iya, Mas. Ih ... Mbak Mila itu ternyata nggak sebaik jilbabnya. Di depan kita aja sok alim, ternyata kalau di luar." Iren menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya. Istri siriku itu
"Mau kemana, Kamu?" tanya Mas Hasan. Badannya tepat berdiri di depanku."Pergi," jawabku singkat. Dia mengelengkan kepalanya."Tidak! Kamu tidak bisa pergi dari rumah ini! Jika kamu nekat, aku akan mengambil Zulfa!" ancamnya. Aku tertawa dalam hati. Apa dia pikir bisa mengambil Zulfa dariku? Jangan bermimpi!"Lakukanlah, Mas! Tapi aku tidak akan membiarkanmu berhasil," ucapku ingin berlalu, tapi Mas Hasan mencekal tanganku, dan membawaku masuk kembali ke dalam kamar.Saat sampai di dalam kamar, dia mengunci pintu, lalu mengantongi kuncinya."Kamu mau apa, Mas?" tanyaku menatapnya tajam."Layani aku! Maka setelah itu baru kamu bisa pergi!" ucapnya yang membuat mataku melotot.Bukan tidak mau melayaninya, sebab itu memang kewajiban ku, tapi sejak tau hubungannya dengan Iren, rasanya tidak sudi untuk berbagi peluh dengannya lagi. Apalagi caranya meminta sekarang ini, sangat tidak beradab. Memintaku melayaninya sebagai tukaran kebebasanku. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Buka pintunya dan bi
"Nggak apa-apa, Sayang. Sekalian kita cari angin." "Jalan kaki, Bun?" tanya Zulfa lagi seraya membulatkan mata kecilnya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang polos. Lucu sekali."Ya nggak dong, Sayang. Masak jalan kaki. Kita pakai motor yang di samping itu." Zulfa menautkan kedua alisnya heran. Jelas putriku heran. Selama ini, Ibu selalu melarang aku memakai motor itu, padahal motor itu sama sekali tidak ada yang memakainya. Hanya sesekali saja Mas Hasan pakai, itupun hanya sekitar kompleks jika ada yang ingin ia beli. Pernah sekali aku mencoba untuk memakai motor itu dulu, ingin menjadikannya tranportasi dari rumah ke toko."Jangan pernah pakai motor itu. Jika kamu mau kerja, naik ojek aja, atau angkot. Gaya-gayaan mau pakai motor," ucap Ibu waktu itu, dan mulai saat itu, aku tak pernah lagi menyentuh apa-apa di rumah ini untuk kebutuhanku dan Zulfa. Tapi tidak saat ini! Iren aja yang istri siri, bisa berlagak nyonya. Di sini akulah nyonya sebenarnya, jadi aku lebih berhak daripada
"Loh ... perasaan tadi kamu masak Mbak? Kok nggak ada makan di meja. Susu buatku juga nggak ada?" tanya Iren tanpa rasa malu. Mila hanya menatap sejenak lalu melanjutkan langkah menuju wastafel. Setelah meletakkan piring ke dalam wastafel Mila kembali melangkah menuju kamarnya tanpa peduli tatapan kejengkelan Iren karena tidak ditanggapi.Tin!Suara nyaring dari klakson ojek pesan Mila menembus tembok sampai ke indera pendengar Mila. Buru-buru Mila mengambil tasnya lalu keluar dari kamar dan menjemput Zulfa di kamarnya."Ayok, Sayang! Ojeknya sudah sampau itu," ucap Mila menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Zulfa mengangkat badannya berdiri dari bibir ranjang lalu melangkah menghampiri Mila."Dasar menantu sinting!" Mila masih bisa mendengar cacian mertuanya itu. "Tuh ... ada menantu idaman. Suruh aja dia yang masak sarapannya," ucap hati kecil Mila, sembari melanjutkan langkah.Sampai di toko Mila langsung menuju meja kasir, ingin meletakkan tasnya. Zulfa langsung naik ke lantai
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya