"San ... tadi Ibu sama Iren dari toko roti tempat kerja si Mila ...." ucap Ibu. Spontan aku menoleh padanya yang menggantung ucapan. Aku menatap Ibu dengan alis bertaut, menungggu sambungan dari ucapannya.Ibu melirikku sekilas lalu matanya beralih pada remote yang ada di atas meja. Ih ... lama banget sih Ibu ini! Bikin penasaran aja. Kalau reaksi Ibu sudah begini, pasti ada yang terjadi di sana tadi."Sebenarnya, tadi itu Ibu sama Iren cuma lewat aja di sana. Eh ... pas sampai di parkiran Ibu liat, si Mila itu masuk ke dalam mobil laki-laki yang kemarin itu lho. Jalan berdua, kasian Zulfa, ditinggal. Kayaknya, memang biasa sudah itu si Mila begitu. Pergi-pergi sama laki-laki, berdua."Darahku mendidih mendengar ucapan Ibu. Dalam hati seperti ada kecemburuan mendengar Mila pergi dengan laki-laki lain."Iya, Mas. Ih ... Mbak Mila itu ternyata nggak sebaik jilbabnya. Di depan kita aja sok alim, ternyata kalau di luar." Iren menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya. Istri siriku itu
"Mau kemana, Kamu?" tanya Mas Hasan. Badannya tepat berdiri di depanku."Pergi," jawabku singkat. Dia mengelengkan kepalanya."Tidak! Kamu tidak bisa pergi dari rumah ini! Jika kamu nekat, aku akan mengambil Zulfa!" ancamnya. Aku tertawa dalam hati. Apa dia pikir bisa mengambil Zulfa dariku? Jangan bermimpi!"Lakukanlah, Mas! Tapi aku tidak akan membiarkanmu berhasil," ucapku ingin berlalu, tapi Mas Hasan mencekal tanganku, dan membawaku masuk kembali ke dalam kamar.Saat sampai di dalam kamar, dia mengunci pintu, lalu mengantongi kuncinya."Kamu mau apa, Mas?" tanyaku menatapnya tajam."Layani aku! Maka setelah itu baru kamu bisa pergi!" ucapnya yang membuat mataku melotot.Bukan tidak mau melayaninya, sebab itu memang kewajiban ku, tapi sejak tau hubungannya dengan Iren, rasanya tidak sudi untuk berbagi peluh dengannya lagi. Apalagi caranya meminta sekarang ini, sangat tidak beradab. Memintaku melayaninya sebagai tukaran kebebasanku. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Buka pintunya dan bi
"Nggak apa-apa, Sayang. Sekalian kita cari angin." "Jalan kaki, Bun?" tanya Zulfa lagi seraya membulatkan mata kecilnya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang polos. Lucu sekali."Ya nggak dong, Sayang. Masak jalan kaki. Kita pakai motor yang di samping itu." Zulfa menautkan kedua alisnya heran. Jelas putriku heran. Selama ini, Ibu selalu melarang aku memakai motor itu, padahal motor itu sama sekali tidak ada yang memakainya. Hanya sesekali saja Mas Hasan pakai, itupun hanya sekitar kompleks jika ada yang ingin ia beli. Pernah sekali aku mencoba untuk memakai motor itu dulu, ingin menjadikannya tranportasi dari rumah ke toko."Jangan pernah pakai motor itu. Jika kamu mau kerja, naik ojek aja, atau angkot. Gaya-gayaan mau pakai motor," ucap Ibu waktu itu, dan mulai saat itu, aku tak pernah lagi menyentuh apa-apa di rumah ini untuk kebutuhanku dan Zulfa. Tapi tidak saat ini! Iren aja yang istri siri, bisa berlagak nyonya. Di sini akulah nyonya sebenarnya, jadi aku lebih berhak daripada
"Loh ... perasaan tadi kamu masak Mbak? Kok nggak ada makan di meja. Susu buatku juga nggak ada?" tanya Iren tanpa rasa malu. Mila hanya menatap sejenak lalu melanjutkan langkah menuju wastafel. Setelah meletakkan piring ke dalam wastafel Mila kembali melangkah menuju kamarnya tanpa peduli tatapan kejengkelan Iren karena tidak ditanggapi.Tin!Suara nyaring dari klakson ojek pesan Mila menembus tembok sampai ke indera pendengar Mila. Buru-buru Mila mengambil tasnya lalu keluar dari kamar dan menjemput Zulfa di kamarnya."Ayok, Sayang! Ojeknya sudah sampau itu," ucap Mila menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Zulfa mengangkat badannya berdiri dari bibir ranjang lalu melangkah menghampiri Mila."Dasar menantu sinting!" Mila masih bisa mendengar cacian mertuanya itu. "Tuh ... ada menantu idaman. Suruh aja dia yang masak sarapannya," ucap hati kecil Mila, sembari melanjutkan langkah.Sampai di toko Mila langsung menuju meja kasir, ingin meletakkan tasnya. Zulfa langsung naik ke lantai
"Aku memang bisa bawa mobil, Bu. Dari dulu." Mataku melirik Iren yang menghampiri Mas Hasan. Maduku itu menggandeng tangan Mas Hasan. Terang-terangan, tidak lagi menutupi. Aku menarik sebelah ujung bibir. Maaf, meskipun kalian jungkir–balik di depanku, aku tidak peduli. Tidak akan ada rasa cemburu lagi, ambil lah Mas Hasan untukmu. Aku tidak sudi lagi!Kuputar badan berbalik lalu melangkah menuju kamar."Bu, yang tadi gimana?" Aku masih bisa mendengar ucapan Iren pada Ibu, hingga akhirnya Ibu berteriak."Tunggu, Mila," teriak Ibu. Kuhentikan langkah lalu membalik badan menghadapnya."Ada apa, Bu?" "Kenapa baju Ibu sama Iren nggak kamu cuci? Gara-gara kamu, acara Ibu sama Iren batal!" bentaknya. Aku menautkan kedua alisku."Baju yang mana?" tanyaku pura-pura. Padahal dalam hati, aku tau apa yang di maksud Ibu. Pasti baju yang aku rendam tadi."Nggak usah pura-pura deh, Mbak!" ucap Iren ikut membentak. Kugelengkan kepala. Dasar orang tidak punya otak, kepalanya saja yang besar!"Loh .
"Kamu tuli ya!" bentaknya. Kuangkat kepala menatap Ibu. Dia berdiri diapit oleh anak dan menantunya."Memangnya apa yang salah, Bu? Bukan kah aku memang nyonya di rumah ini. Aku istri sah, jadi aku memang nyonya! Lagian apa salahnya kalau aku dan Zulfa makan di sini, toh aku yang memasak semuanya. Kalau kalian mau ikut makan ... ayo, silakan.," ucapku panjang lebar membuat Ibu membulatkan matanya."Yang salah itu, kamu makan di sini. Bukan kah selama ini, kamu sama anakmu makan setelah kami selesai makan. Memang kamu yang memasak, tapi semua bahan makanan ini dibeli pake uang Hasan. Bukan uangmu!"Kuletakkan sendok ke atas piring lalu meneguk air putih. Kebetulan makanan di piringku sudah habis, begitupun Zulfa."Itu dulu, tapi tidak lagi sekarang. Jadi, Ibu harus membiasakan diri makan bersamaku di sini. Satu lagi, Bu. Wajar jika Mas Hasan yang membeli semua ini, karena nafkah aku dan Zulfa memang tanggung jawabnya."Kuangkat badan berdiri dari atas kursi. "Sudah selesai, Sayang?" t
"Tante ...." teriak suara dari seberang sana. Bibirku melengkung mengukir sebuah senyum. Aku tau siapa pemilik suara itu."Wa'alaikumsalam, Nak," ucapku membalas salamku sendiri. Suara di seberang sana terkekeh."Maaf, Tante. Habisnya aku lagi senang, makanya lupa ucap salam," ucapnya dengan nada manja. "Iya, nggak pa-pa, Sayang. Ada apa?""Tante ... besok Lili bisa nggak ke rumah Tante? Soalnya besok Papah mau ke luar kota, pulangnya malam berangkatnya pagi-pagi. Jadi aku sendirian di rumah. Soalnya nenek ke tempat keluarga, ada yang kawinan. Aku diajak sih, sama Papah, tapi aku nggak mau ikut, soalnya capek," ucapnya panjang lebar. Gemes rasanya, mendengar dia dari tadi terus bicara."Bisa nggak, Tan?" tanyanya lagi saat tidak mendapat jawabanku."Boleh, Sayang. Nanti Tante jemput atau gimana? Tapi Tante nggak tau rumahnya." "Kata Papah, nanti diantar aja ke rumah Tante," balasnya cepat. Aku memang sudah akrab dengan Lili. Sebab dia sering datang ke toko, tapi tidak dengan Papahnya
"Sayang, badan kamu panas. Kita ke rumah sakit ya, Nak." Aku mengangkat tubuh Zulfa duduk di bibir tempat tidur, lalu mengambil jaket di dalam lemari. Anakku itu sudah membuka matanya.Saat baru saja menginjak ruang tamu, ponsel di tanganku menjerit nyaring."Halo, Assalamu'alaikum," salamku. Aku sudah tau siapa yang menelpon. Nomer yang semalam menelponku. Meskipun aku tidak menyimpan nomernya, tapi aku hapal nomer terakhir." Tante, Lili sudah di depan rumah," ucapnya terdengar riang."Iya, Sayang. Tunggu bentar ya."Aku menggendong Zulfa, bertepatan dengan Mas Hasan dan Iren keluar dari kamar tamu."Loh ... kenapa Zulfa," tanyanya. Aku menatapnya sejenak."Lah kan aku tadi udah bilang, Mas. Udah biarin aja." Iren menjawab pertanyaan suaminya. Aku menggelengkan kepala. Percuma meladeni kedua manusia tidak punya hati ini. Buang-buang waktu, lebih baik aku mengurus anakku. Bukankah aku sudah bilang kalau Zulfa sakit. Pura-pura saja!Aku mendudukkan Zulfa di kursi teras, lalu melangk
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya