"Sayang, badan kamu panas. Kita ke rumah sakit ya, Nak." Aku mengangkat tubuh Zulfa duduk di bibir tempat tidur, lalu mengambil jaket di dalam lemari. Anakku itu sudah membuka matanya.Saat baru saja menginjak ruang tamu, ponsel di tanganku menjerit nyaring."Halo, Assalamu'alaikum," salamku. Aku sudah tau siapa yang menelpon. Nomer yang semalam menelponku. Meskipun aku tidak menyimpan nomernya, tapi aku hapal nomer terakhir." Tante, Lili sudah di depan rumah," ucapnya terdengar riang."Iya, Sayang. Tunggu bentar ya."Aku menggendong Zulfa, bertepatan dengan Mas Hasan dan Iren keluar dari kamar tamu."Loh ... kenapa Zulfa," tanyanya. Aku menatapnya sejenak."Lah kan aku tadi udah bilang, Mas. Udah biarin aja." Iren menjawab pertanyaan suaminya. Aku menggelengkan kepala. Percuma meladeni kedua manusia tidak punya hati ini. Buang-buang waktu, lebih baik aku mengurus anakku. Bukankah aku sudah bilang kalau Zulfa sakit. Pura-pura saja!Aku mendudukkan Zulfa di kursi teras, lalu melangk
"Kalau begitu jatuhkan talakmu." Mas Hasan menatapku tajam. Bola matanya seakan ingin melompat keluar."Mudah sekali kamu meminta talak, Mila!""Itu kerana, sudah tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari rumah tangga ini! Selama ini aku bertahan. Bahkan aku pernah menjatuhkan harga diriku, mengemis cintamu, tapi apa yang kamu bilang, Mas? Aku hanya istri diatas kertas!""Karena laki-laki itu 'kan? Karena dia kamu ngotot minta cerai? Dasar perempuan murahan!"Aku menautkan semua gigi karena geram. Bisa-bisanya dia lempar batu sembunyi tangan. Dia yang berselingkuh, malah memutar balikkan fakta!"Kamu dengar baik-baik Hasan Alfarizi. Aku bukan wanita murah seperti yang kamu bilang. Ini adalah kali kedua aku dan Pak Revan jalan, dan itu pun semua karena kamu! Kamu, Mas! Tadi pagi aku sudah meminta tolong padamu, untuk membawa Zulfa ke rumah sakit, tapi apa? Kamu lebih memilih menemani Iren dibanding membawa Zulfa ke rumah sakit. Seharusnya, kamu berterimakasih pada Pak Revan, karena s
Ibu memajukan kepalanya mendekat padaku. "Sebenarnya ...." Ucapannya tergantung. Sekali lagi matanya liar mengitari seluruh ruangan."Emang ada apa sih, Bu? Kenapa Ibu kayak takut begitu," tanyaku lagi. Aku semakin penasaran melihat Ibu yang seperti ragu-ragu. Ingin mengatakan sesuatu, tetapi was-was. "Sebenarnya, ada rahasia yang membuat Hasan tidak bisa menceraikan Mila," ucap Ibu berbisik pelan. Rahasia? "Apa, Bu? Apa yang membuat Mas Hasan tidak bisa nyerein Mbak Mila?"Ibu menarik nafas panjang dari hidung, lalu menghelanya pelan lewat mulut."Sini," ucapnya mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu membisikkan sesuatu. Mataku membulat mendengar apa yang dibisikkan Ibu."Apa, Bu, semua ini bu–?" pekikku tidak percaya. Ibu langsung membekap mulutku dengan tangannya menghentikan ucapanku."Jangan kencang-kencang," ucapnya lalu menarik kembali tangannya dari mulutku.Ibu menganggukkan kepalanya melihat wajahku yang penuh tanya. "Iya," ucapnya pelan.Aku menggelengkan kepala ke kiri
Kuangkat badan berdiri dari sofa setelah mendapat persetujuan IbuIAku melangkah keluar pagar , setelah itu berjalan kaki beberapa rumah menjauh dari rumah Mas Hasan. Sengaja ... agar Ibu tidak melihat siapa yang menjemput. Tadi aku menelpon Vita, untuk menjemput, tapi katanya dia datang dengan Deny pacarnya dan seorang lagi, teman Deny.Sembari menunggu jemputan, kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Aku ingin menghubungi Mas Hasan. Aku baru ingat ternya, aku tidak punya uang untuk bersenang-senang. [Mas, kirimi aku uang dong. Uang aku habis] Ku tulis pesan pada Mas Hasan, sebentar saja langsung conteng dua biru.Tak berselang lama, ponsel di tanganku bernyanyi. Senyum di bibirku mengembang. "Halo, Mas," ucapku saat ponsel sudah menempel ditelinga. "Uang untuk apa? Baru dua minggu kamu kukasih uang sepuluh juta ... masak sudah habis." Panas rasanya kupingku mendengar jawaban Mas Hasan. Benar-benar nggak ngerti kebutuhan istrinya. Sebel!"Pokoknya kirimin sekarang! Kalau tidak, aku
Ibu langsung menatapku. Aku bisa melihatnya dari ekor mata."Ya sudah ... kalian masuk kamar dulu ya. Nanti Bunda nyusul. Bunda beresin ini dulu," ucapku seraya menunjuk meja makan. Kedua anak itu mengangguk dan langsung mengangkat badannya berdiri, lalu melangkah ke kamar Zulfa.Kuangkat piring tempatku makan dan kedua putriku. Tidak salah 'kan, jika aku menganggap Lili seperti putriku?"Sejak kapan, kamu menjadi Ibu dari anak itu?" Aku menoleh mendengar pertanyaan Mas Hasan. Kutatap laki-laki itu yang sedang menatapku sinis."Namanya Lili. Dia temannya Zulfa, sudah tidak punya Ibu. Jadi ... tidak salah jika dia menganggapku Ibu.""Ya ... awalnya Ibu. Lama-lama naik level jadi istri Ayahnya." Kuputar bola mata menanggapi ucapan pedas Mas Hasan. Benar-benar seenak jidat, tidak di saring dulu."Terserahlah, Mas ... apa katamu," ucapku seraya melangkah menuju wastafel. Dapur ini di disain dengan meja makan dan dapur di pisahkan oleh sebuah mini bar, jadi aku harus melewati Mas Hasan
Kuseret kaki masuk ke kamar mandi, sebelumnya mengambil kimono handuk di gantungan. Otakku buntu tidak bisa berpikir. Mungkin dengan menyiramnya dengan air akan menjadi encer. Sebelum menutup pintu kamar mandi, aku sempat melirik jam yang tergantung di dinding atas pintu kamar. Jarum jam menunjukkan jam sebelas lewat lima belas menit. Hampir tengah malam. Sebenarnya, aku tidak suka mandi malam hari, tapi rasanya kepalaku berat sekali. Badan juga terasa gerah karena kebanyakan joget-joget.Selesai mandi, aku memakai setelan baju tidur. Mengeringkan rambut dengan hairdryer, setelah itu meloncat ke atas tempat tidur. Aku harus tidur, karena begitu gelap berganti terang, aku akan menemui Mila dan memberikan surat nikah siriku.Semoga setelah Mila mendapatkannya, maduku itu langsung menggugat ke pengadilan.***Jam tujuh pagi, aku keluar dari kamar. Di meja makan sudah duduk Ibu, Mas Hasan, Mila dan kedua anak kecil itu. Darahku langsung mendidih melihat pemandangan itu di pagi hari. Mer
Mila mengambil amplop itu lalu membukanya. Dia tersenyum lebar saat bulir matanya bergulir membaca satu per satu coretan yang ada di atas kertas tersebut."Terimakasih," ucapnya lalu memasukkan lagi kertas ke dalam amplop."Ingat janji kamu, Mbak. Ceraikan Mas Hasan, lalu pergi tanpa membawa apa-apa," ucapku memperingatinya tentang kesepakan kami.Maduku itu tersenyum. "Kamu tenang saja. Aku juga sudah tidak berminat meneruskan rumah tangga dengan suamimu. Jika soal harta, jangan khawatir ... toko ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan anakku."Mataku membulat sempurna. Kata-kata yang barusan keluar dari mulut Mila seperti pedang yang menikam tepat di dadaku. Sakit!"To–toko ...."***POV Mila"To–toko ...." ucap Iren tergantung."A–apa maksudmu, Mbak." Aku menggelengkan kepala melihat wajahnya yang sepertinya shock.Kasian ... dia pikir aku dan Zulfa, akan mengemis dan kelaparan tanpa Mas Hasan."I–ini toko kamu? Kamu bohong 'kan? Mana mungkin kamu punya toko. Kam
"Mas," sapa Iren seraya menyambut tas yang diulurkan suaminya. Setelah tas berpindah, dia mengulurkan tangan kanan untuk salim. Hasan menyambut tangan istrinya lalu mencium dahi perempuan itu.Hati Iren senang bukan main, Hasan sudah tidak marah lagi padanya. Mereka melangkah beriringan menuju ruang TV. Ireb mengamit lengan Hasan, mencoba bermanja-manja dengan pria itu"Mas duduk dulu ya. Aku ambilin minum." Iren menuju dapur mengambilkan air putih untuk Hasan. membawakan minum, setelah itu dia akan menanyakan pria hal poto yang ia kirim, lalu mengompori sedikit. Ha ha haIren kembali ke ruang TV dengan membawa segelas air putih. Di sana Bu Tuti sudah melabuhkan badannya di atas sofa yang berhadapan dengan Hasan.Tadi saat Iren menyambut Hasan Ibu mertuanya itu masuk ke dalam kamar."Ini, Mas," ucap wanita itu mengulurkan gelas pada Hasan, lalu menghempaskan tubuhnya di disebelah Hasan.Hasan menyambut gelas yang diulurkan Iren meneguk airnya sampai setengah. Tangannya terulur m
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya