112POV INA “Baiklah kalau begitu, In. Aku akan mencoba sering-sering berpenampilan natural. Biar lebih bervariasi,” ucap Nami sambil sedikit membungkuk sehingga kepala kami sejajar. Kusenyumi dia dengan singkat. Aku lalu mengedarkan pandangan ke atas meja. Menyapu dengan lirikan ke arah setiap inci barang-barang yang tertata apik dan sangat rapi. Lihatlah, semua lengkap di atas sini. Ada lipstik yang jumlahnya lebih dari satu lusin. Kuteks beragam warna, bedak, foundation, maskara, pensil alis dengan merek yang sangat terkenal, sampai bulu mata palsu yang masih tersimpan rapi di dalam kotak-kotaknya. Sontak aku merasa minder dan rendah diri. Aku ingat dengan kata-kata milik almarhumah Lia saat dia masih hidup dulu. Kalau melihat orang yang lebih darinya, dia sering curhat kalau seketika dia mendadak insecure. Ya, seperti itulah penggambaran diriku sekarang. Insecure dengan kemegahan hidup yang dicicipi oleh Nami saat ini.
113POV INA “Iya, aku sudah datang. Nalen juga sudah duluan ke ruang makan. Aku nyari-nyari kamu, Ma. Ternyata ada di sini, toh.” Mas Anwar kulihat sok mesra kepada Nami. Dengan memendam kecemburuan yang mendalam, terpaksa aku harus memperhatikan betapa manisnya perlakuan mantan suamiku kepada istri barunya tersebut. Mas Anwar peluk si Nami. Tak lupa juga dia kecup kedua pipi perempuan berkulit putih itu. “Maaf, Pa. Ini lho, Sayang. Aku ajak Ina ke kamar supaya dia pilih-pilih make up yang cocok buat dipakai sehari-hari. Kasihan dia, Pa. Masa wajahnya polosan kaya orang sakit? Aku jadi khawatir kalau melihat wajah orang pucat pasi begitu. Jadi, aku kasih dia bedak, foundie, lipstik, dan parfum. Nggak apa-apa kan, Pa?” Lembut nian ucapan Nami kepada suaminya. Tak lupa, perempuan itu juga melingkarkan tangannya ke perut Mas Anwar. Pokoknya, mereka seolah-olah sedang sengaja memanasiku. Sialan sekali. “Lho, nggak apa-apa, dong. Santai saja. Malah
114POV INA“A-aku pikir … Nyonya tidak menyukai Bu Ina. Jadi, makanya aku bisa bersikap demikian. Aku minta maaf, nggeh Bu?” “Aku maafkan kesalahanmu, Rah. Aku akan bilang kepada Nyonya untuk tidak memecatmu. Namun, ada satu syarat yang harus kamu lakukan.” Rahima langsung mendongak. Wajahnya yang sudah kusut masai itu memperhatikanku dengan penuh rasa penasaran campur harap yang membumbung tinggi. “A-apa itu, Bu?” “Jangan lancang berbicara di rumah ini. Hormati tuan rumah. Begitu juga dengan aku. Jangan pernah sekali pun kamu membahas tentang masa laluku. Ingat, Rahima. Respek Nyonya kepadamu sudah hilang sejak kejadian tadi. Bahkan dia bilang kepadaku bahwa posisimu akan segera dia singkirkan. Mudah bagi Nyonya untuk mencari penggantimu. Itu hal yang kecil!” kataku sambil menjentikan kelingking. “A-aku paham, Bu,” ucap Rahima lagi sambil menunduk dalam. “Maka dari itu, bersikaplah patuh kepadanya. Hormati perinta
115POV INA “Mama sama Papa udah nunggu di ruang makan.” Nalendra berucap kepadaku. Sorot matanya terus terarah menatap wajahku. Semula agak dingin. Namun, lambat laun terbit senyuman manis di bibirnya yang kemerahan. “Oke. Panggil aku Bu Ina. Mulai detik ini, sebut saja aku dengan panggilan itu. Kamu paham kan, Nalen?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya. Kutepuk bahu tegap lelaki bertubuh tinggi tersebut. “Baik, Bu Ina.” Nalen menyahut lembut. Kepalanya mengangguk patuh, sedangkan senyumannya tak kunjung padam dari kedua bibir merah itu. Hebat, pikirku. Ternyata, seorang Ina memiliki kekuatan magis yang cukup sakti. Kalau begini ceritanya, aku akan semakin percaya diri untuk tinggal di rumah Mas Anwar. Hahaha! Sepertinya aku harus cepat-cepat mengirimi Mbak Rusmina uang agar mereka menyampaikan titip salamku ini kepada Mbah Legi. Ya, hitung-hitung supaya Mbah Legi tidak kapok menolongku terus-terusan. “Ayo, kita ke
116POV INA “Lho, Papa gimana, sih? Kok, malah jadi untuk peternakannya Bayu segala?!” Suara Nami akhirnya mencelat. Tercetus juga pertengkaran di antara mereka. Aku suka ini! Aku benar-benar akan menikmatinya! “Bukan gimana-gimana, Ma. Itu nanti kita urun rembuk lagi. Tunggu Bayu pulang. Nanti, setelah Bayu pulang, semuanya akan Papa bagi-bagi secara adil. Bagaimanapun juga, Bayu itu kan, pewaris sahnya Papa.” Muka Mas Anwar berubah semakin gelap. Terdengar nada yang agak-agak ragu pada bicaranya. Mas Anwar, memang selalu begitu. Penuh kebimbangan dan ketidakadilan. Syukur-syukur si Nalen sudah dipercaya untuk mengembangkan usaha kainnya. Coba kalau aku dan Lia dulu? Jangankan untuk ikut campur urusan bisnis, masalah uang saja bisa ribut ke mana-mana. Mas Anwar memang pecinta harta. Baginya, seluruh hasil kerja kerasnya tersebut kalau bisa dia saja yang menikmati sendiri. Tumben juga sekarang baru kepikiran untuk menyerahkan aset ini dan itu
117POV INA Mendengar ucapanku, Mas Anwar langsung terlihat kikuk. Dia jadi salah tingkah. Tangannya pun cepat menyambar selembar tisu dari kotak akrilik yang diletakan di tengah-tengah meja. Diusapnya pinggiran bibir tebal legamnya dengan gerakan yang tergesa. “Mas, maaf jika kata-kataku menyakitimu, ya. Bukankah, saudara yang baik itu harus selalu mengingatkan saudaranya? Tujuanku tidak lain adalah ingin melihat keluargamu selalu harmonis, Mas. Biarlah aku yang luluh lantak. Biarlah aku yang kehilangan keluargaku sendiri. Asal jangan kamu, Mas.” Kalimatku lirih. Sebenarnya, perih sekali perasaanku saat mengungkapkan hal tersebut barusan. Ini bukanlah sekadar bualan semata. Namun, curahan hatiku yang paling dalam. “Jangan bicara begitu, In. Jangan membuatku jadi merasa bersalah begini.” Aku tersenyum pahit. Kugelengkan kepalaku cepat sambil berkata, “Tidak, Mas. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa bersalah. Bukan kamu yan
118 POV INA Makan siang kali ini memang sungguh terasa sangat berbeda sekali dari makan siang-makan siangku sebelumnya. Betapa tidak. Sekarang, aku telah menemukan kembali sosok Mas Anwar yang begitu sangat peduli dan mudah iba kepadaku. Dia bahkan mengajakku untuk nyekar ke kuburannya Lia segala besok hari. Betapa aku terkejut dibuatnya. Takjub juga pastinya. Aku yakin sekali, ini pasti sebab ilmu-ilmu yang telah dikirimkan oleh Mbah Legi. Dukun satu itu memang topcer! Tak lagi bisa menolak inginnya Mas Anwar, aku pun mengangguk setuju bahwa kami akan pergi nyekar ke kuburan anak semata wayangku tersebut. Entah bakal seperti apa reaksinya Nami nanti. Aku tidak peduli. Sepertinya, inilah waktu bagiku untuk kembali meraih sukses besar di rumahnya Mas Anwar. Diam-diam aku berharap agar Nami dan Nalen lekas tertendang dari rumah mewah ini, lantas akulah yang akan menggantikan posisi mereka. Ya, untuk kedua kalinya, aku bakalan menjadi seorang nyonya plus pen
119 POV INA Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Padahal aku sedang enak-enaknya tertidur lelap. Namun, saat melihat jam dinding di atas pintu sana, ternyata sudah pukul enam belas sore. Astaga, ternyata sudah lama juga aku tidur siang. Buru-buru aku membenarkan ikatan rambutku. Kubenarkan pula letak kerah dasterku yang agak melorot sebab pulas tertidur barusan. Bertanya-tanya benakku. Siapa gerangan yang mengetuk pintu di depan sana? Tidak bersuara pula. Hanya kedengaran bunyi ketukan di daun pintu saja. “Sebentar!” ucapku seraya turun dari ranjang. Kulap terlebih dahulu sisa iler di tepian bibir. Takutnya kentara sekali kalau aku habis tidur selama ini. Yah, namanya juga belum resmi menjadi nyonya rumah. Masih menjadi babu! Kubuka kunci pintu kamar dan betapa kagetnya aku ketika melihat Nami telah berdiri di depan pintuku sambil tersenyum kecil. “Nyonya,” panggilku sam
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa