118 POV INA Makan siang kali ini memang sungguh terasa sangat berbeda sekali dari makan siang-makan siangku sebelumnya. Betapa tidak. Sekarang, aku telah menemukan kembali sosok Mas Anwar yang begitu sangat peduli dan mudah iba kepadaku. Dia bahkan mengajakku untuk nyekar ke kuburannya Lia segala besok hari. Betapa aku terkejut dibuatnya. Takjub juga pastinya. Aku yakin sekali, ini pasti sebab ilmu-ilmu yang telah dikirimkan oleh Mbah Legi. Dukun satu itu memang topcer! Tak lagi bisa menolak inginnya Mas Anwar, aku pun mengangguk setuju bahwa kami akan pergi nyekar ke kuburan anak semata wayangku tersebut. Entah bakal seperti apa reaksinya Nami nanti. Aku tidak peduli. Sepertinya, inilah waktu bagiku untuk kembali meraih sukses besar di rumahnya Mas Anwar. Diam-diam aku berharap agar Nami dan Nalen lekas tertendang dari rumah mewah ini, lantas akulah yang akan menggantikan posisi mereka. Ya, untuk kedua kalinya, aku bakalan menjadi seorang nyonya plus pen
119 POV INA Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Padahal aku sedang enak-enaknya tertidur lelap. Namun, saat melihat jam dinding di atas pintu sana, ternyata sudah pukul enam belas sore. Astaga, ternyata sudah lama juga aku tidur siang. Buru-buru aku membenarkan ikatan rambutku. Kubenarkan pula letak kerah dasterku yang agak melorot sebab pulas tertidur barusan. Bertanya-tanya benakku. Siapa gerangan yang mengetuk pintu di depan sana? Tidak bersuara pula. Hanya kedengaran bunyi ketukan di daun pintu saja. “Sebentar!” ucapku seraya turun dari ranjang. Kulap terlebih dahulu sisa iler di tepian bibir. Takutnya kentara sekali kalau aku habis tidur selama ini. Yah, namanya juga belum resmi menjadi nyonya rumah. Masih menjadi babu! Kubuka kunci pintu kamar dan betapa kagetnya aku ketika melihat Nami telah berdiri di depan pintuku sambil tersenyum kecil. “Nyonya,” panggilku sam
120POV INA “Kami hanya bicara biasa saja, Nyonya. Terus, Mas Anwar juga bertanya tentang apakah aku rindu kepada Lia atau tidak? Aku jawab tentu saja aku sangat rindu. Aku ditawarkan untuk berziarah ke makamnya anakku besok, Nyonya. Kujawab, aku tidak enak kepada Nyonya Nami. Takut beliau keberatan.” Aku langsung memasang wajah sedih. Kepalaku pun menunduk sambil menarik napas dalam-dalam. Kuharap, gayaku yang menyedihkan ini akan membuat Nami semakin jatuh iba. Ayolah, Nami. Semakin terperosok kamu ke dalam lubang jebakanku. Aku tidak akan keberatan untuk membelenggumu dengan tali kelicikanku! “Oh, jelas aku tidak keberatan, Ina. Pergi saja. Tidak apa-apa. Itu adalah anakmu. Wajar jika kamu ingin ziarah ke makamnya. Lakukanlah,” ucap Nami penuh kelembutan. Dia merangkulku lagi. Mengusap-usap lenganku dengan penuh perhatian. Perempuan anggun ini memang mudah sekali kasihan sama orang, ya. Kenapa kok, dia bodoh sekali? Apa dalam hidupnya dia ti
121POV NAMI “Mbak, sepertinya jampi-jampi Mbah Legi kali ini sangat topcer dan lebih manjur ketimbang dulu! Mas Anwar jadi semakin baik tingkahnya. Kalian sudah terima uang lima juta itu, kan?” “Masyaallah! Limang yuto (lima juta), In? Tenanan ora iki (betulan tidak ini), In?” “Tenan, Mbak! Sumpah demi Allah! Mas Anwar tadi pas makan siang berduaan denganku ngobrol banyak. Dia bilang mau kirimin kalian lima juta. Terus, gajiku akan dibayarkan per bulannya sepuluh juta! Besok aku diajak ziarah ke makam Lia juga. Pokoknya, sebagai mbakyuku yang baik, kamu harus terus dekati Mbah Legi, lho!” “Nggeh (iya), In! Aku pasti bakalan sowan ke Mbah Legi sering-sering. Uang lima juta banyak sekali, In? Kata Pak Anwar buat apa, In?” “Buat kuliah anaknya kalian. Sisanya ya terserah mbok gawe opo (mau kamu apakan). Ingat ya, Mbak, kalau sudah dapat duit terus menerus dariku, jangan lupakan aku yang ada di sini! Mbah Legi disamban
122POV NamiMengawasi Gerak Geriknya Aku dan Nalen telah membuat sebuah kesepakatan bersama. Putra semata wayangku tersebut langsung mengiyakan segala ide-ide yang kucetuskan kepadanya. Dia yakin, bahwa apa yang sudah kami rencanakan akan berjalan dengan sukses. “Kita harus satukan kekuatan, Ma,” ucap Nalen sambil menggenggam jemariku. “Tentu, Len. Mama nggak mau kalau keluarga yang sudah susah payah kita bangun bersama ini, runtuh hancur seketika hanya gara-gara perempuan laknat itu.” Penuh semangat aku mengucapkan kalimat barusan. Kugenggam kembali tangan Nalen yang terasa sejuk. Pemuda itu pun mengangguk mantap sambil menatapku dalam. “Papa itu orang baik. Aku tahu sebenarnya dia hanya terpengaruh oleh dukun saja. Jadi, aku juga yakin kalau kemampuan dukun sialan itu bakalan luntur juga nantinya. Lihat saja,” desis Nalen. Mata Nalen kulihat menerawang jauh ke sana. Kutengok, dia begitu berapi-api u
Bab 123POV NamiMendadak Jantungan Aku tak membiarkan Rahima dan Ina berduaan di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sudah kapok dengan pertengkaran mereka. Apalagi, aku malah sempat terhasut dengan tipu daya muslihat dari Ina yang kentara sekali ingin menyingkirkan Rahima dari rumahku. Ina mungkin tak sampai otaknya untuk berpikir bahwa aku telah tahu semua yang dia rencanakan. Mulai dari dukun yang dia bawa untuk mengguna-gunai suamiku, hingga rencananya untuk menyingkirkan Rahima. Perempuan itu ingin berubah menjadi iblis, tetapi sayangnya kapasitas otak yang dia punya tak ubahnya seperti seekor cacing kecil di dalam tanah. Aku sibuk berkutat di dapur, meskipun waktu yang kumiliki untuk menyiapkan hidangan sangatlah mepet. Tidak peduli, pokoknya aku akan masak dengan tanganku sendiri. Mas Anwar harus kuperlakukan sebaik mungkin, walau aku tahu betul kesadaran pikirnya sedang dikendalikan oleh ilmu hitam. Sementara aku yang me
Bab 124POV NamiUlah Ular Betina Perlahan, bibir tipis Ina menyeringai hingga tampak geliginya. Aku terperanjat. Perempuan ini, makin lama makin menyeramkan saja. Kekakuan tubuhku akhirnya berakhir. Napasku langsung terengah. Anehnya, suara gemiricik air dari keran di wastafel pun terdengar kembali di telinga. Ya Allah, pertanda apakah seperti ini? Apakah kekuatan magis dari jampi-jampi yang dilakukan oleh dukunnya Ina semakin kuat bekerja pada tubuhku? Ya Rabbi, aku mohon lindungilah diriku! “Boleh,” sahutku pada Ina sambil terus menatapnya. Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan perempuan ini. Sejatinya, ilmu hitam akan semakin kuat menguasai diri kita, apabil keimanan yang kita miliki lemah. Tanda-tanda iman yang lemah ialah mudah gentar dan takut kepada sesama makhluk. “Oke. Kita salat sama-sama kalau begitu, Nyonya. Aku permisi untuk siap-siap salat bersama Nyonya.” Ina menyahut de
Bab 125POV NamiGertakan Aku dan Rahima sepakat berpisah sejenak untuk mempersiapkan salat Magrib berjamaah. Rahima masuk ke kamarnya dan aku pun juga mengayunkan kaki menuju kamarku di depan sana. Suasana rumah Mas Anwar tiba-tiba saja terasa begitu sepi, sunyi, dan sendu sekarang. Sebelum-sebelumnya, tak pernah aku merasakan aura yang seperti ini di rumah suamiku. Bangunan dua lantai yang padahal sudah banyak dirombak dari bentuk aslinya tersebut, meskipun kerap ditinggal para penghuninya untuk bekerja atau sekadar hang out, tetapi tak pernah menyisakan perasaan sunyi yang separah sekarang. Aku sempat merinding hebat lagi ketika melewati selasar di mana tangga menuju lantai dua berada. Kutengok ke atas tangga, tak ada siapa pun. Nalen tidak kunjung turun dari kamarnya. Namun, tiba-tiba saja mataku menangkap sebuah kelebat hitam. Terbang dari atas dan meresap ke dinding. “Astaghfirullah!” pekikku gentar. Kukucek m