Bab 125POV NamiGertakan Aku dan Rahima sepakat berpisah sejenak untuk mempersiapkan salat Magrib berjamaah. Rahima masuk ke kamarnya dan aku pun juga mengayunkan kaki menuju kamarku di depan sana. Suasana rumah Mas Anwar tiba-tiba saja terasa begitu sepi, sunyi, dan sendu sekarang. Sebelum-sebelumnya, tak pernah aku merasakan aura yang seperti ini di rumah suamiku. Bangunan dua lantai yang padahal sudah banyak dirombak dari bentuk aslinya tersebut, meskipun kerap ditinggal para penghuninya untuk bekerja atau sekadar hang out, tetapi tak pernah menyisakan perasaan sunyi yang separah sekarang. Aku sempat merinding hebat lagi ketika melewati selasar di mana tangga menuju lantai dua berada. Kutengok ke atas tangga, tak ada siapa pun. Nalen tidak kunjung turun dari kamarnya. Namun, tiba-tiba saja mataku menangkap sebuah kelebat hitam. Terbang dari atas dan meresap ke dinding. “Astaghfirullah!” pekikku gentar. Kukucek m
Bab 126POV NamiAku Sudah Tak Sabar! Mas Anwar lalu membuang mukanya dan bergerak mengeloyor pergi meninggalkanku yang masih mengandung geram di dalam hati. Dengan santainya, pria tinggi besar berkulit hitam itu masuk ke kamar mandi. Bunyi pintu toilet yang dia tutup dari dalam itu, terdengar cukup nyaring, membikin hatiku makin jengkel saja. “Huh! Mas Anwar, kamu sebentar lagi akan tahu bagaimana Ina yang sekarang! Dia masih seperti dulu, tidak pernah berubah menjadi baik sama sekali!” gerutuku sambil mengepalkan dua tinju kuat-kuat. Aku sudah terlalu banyak bersabar rasanya. Sayang beribu sayang, apa yang kusabarkan hanyalah berbuah busuk. Sepertinya, semua tak bisa lagi dipendam terlalu lama. Mas Anwar perlu tahu betapa bejatnya Ina. Dari dulu hingga sekarang, kehadiran wanita itu memang hanya untuk membuat suamiku hancurnya. Namun, anehnya, mengapa Mas Anwar tak bisa menyadari semuanya? Karena ilmu hitam? Sudah
BAB 127POV NamiTerpaksa Kuungkap Semua “Kamu katanya mau salat sama aku? Sana, ambil wudumu!” perintah Mas Anwar padaku. Sayangnya, aku sudah kehabisan selera untuk berjamaah dengannya. Lebih tepatnya malas. Lebih baik aku salat sendiri saja, pikirku. “Ya, udah. Kamu aja salat duluan! Aku sendirian aja,” sahutku kesal setengah mati. Mas Anwar mendelik sekilas. Terdengar suara decak lidahnya. Lihatlah, aku yang seharusnya marah karena sikapnya yang terlalu membela Tika, Ina, Bayu, eh, sekarang malah dia yang lebih galak kepadaku. “Kamu ini aneh, Nami! Sedikit-sedikit merajuk. Ya, sudah, kalau begitu aku salat di mushala sama si Ina.” Kutelan liurku. Hatiku tentu saja langsung mendidih. Namun, kusembunyikan perasaan cemburu itu. Cepat aku bergerak menuju toilet tanpa menoleh pada Mas Anwar. Menyahutnya dengan sepatah kata pun aku telah enggan. Sekarang, terserah dia saja mau bagaimana!
BAB 128POV NamiMurka Tak Berampun “Ya Allah, In! Mbok ojo kebangetan!” “Halah! Ya terserahku, toh, Mbak! Sampean meneng ae! Aku lebih tahu urusanku!” “Yo wis, Nduk. Aku mung iso ngikutin kekarepanmu. Pokoknya, sebagai mbakmu, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu dan masa depanmu.” “Ya, memang harus begitu, Mbak! Sampean kalau nggak ngikutin kata-kataku ya, modyar!” “Yo wis, In. Aku mau ambil uang dulu ke BRI Link di tempatnya Lek Kasrah. Sejutanya tak beliin bibit cabe, polybag, kaleh pupuk. Sisanya mau tak kirim untuk kuliah anakku. Matur suwun nggeh, Nduk.” “Iya, sama-sama. Kasih tahu suamimu ya, kalau Mas Anwar sudah sangat berbaik hati kepada keluarga miskin kita ini. Lain kali kalau semisal kalian ada panen apa di kampung, jangan lupa kirim ke sini! Buat basa basi. Sekalian dikasih jampi juga boleh, biar Mas Anwar semakin lengket sama aku!”“Siap, Nduk. Sudah dulu. Ini aku mau berangk
BAB 129POV NAMIKena Mental “Kenapa aku tidak kepikiran sampai sana?” gumam Mas Anwar sambil mengusap wajah pucatnya berulang kali. Pria yang katanya ingin berbicara serius hingga menyuruhku untuk mematikan suara sadapan dari ponsel Nami segala itu pun masih tampak frustrasi. Raut kekecewaan begitu kental pada dirinya. Inilah yang sebenarnya kutunggu-tunggu! “Aku padahal sudah mengikhlaskan diri untuk menerima Ina kembali di rumah ini. Supaya derajatnya dan derajat keluarganya terangkat lagi. Namun, dia malah melakukan kejahatan lagi kepadaku.” Mas Anwar berkata-kata dengan suara yang sangat putus asa. Lelaki bodoh, pikirku. Terbuat dari apa kepalamu, Mas? Bisa-bisanya kamu memikirkan Ina sampai segitunya, sementara perempuan tua itu saja ternyata adalah ular betina berbisa yang siap mematukmu kapan saja. Mas Anwar perlahan menatapku. Tangannya tiba-tiba merayap ke jemariku. Kutatap balik lelaki berkulit gelap itu
BAB 130POV NAMISimbah Tangis Setelah kutendak kakinya, Mas Anwar berteriak sekaligus tersuruk ke belakang tubuhnya. Hampir saja dia terjerembab di lantai. Untungnya, tubuh suamiku yang memang telah jauh berkurang berat badannya ketimbang saat sebelum kami menikah itu dapat dia seimbangkan dengan baik sehingga tak jadi terjatuh. Aku menatapnya murka. Tak ada penyesalan sedikit pun di hatiku karena telah melawan Mas Anwar. Mungkin sudah jalannya begini, pikirku. Tak ada lagi kelembutan dalam tutur kata, bahasa, maupun gerak gerikku kepadanya. Padahal, dulu dia adalah lelaki yang paling kuhormati. Mas Anwar bukan hanya suami bagiku, tetapi dia telah kuanggap sebagai segala-galanya dan sandaran hidupku. Namun, sekarang semuanya telah jauh berbeda. Sikap Mas Anwar yang plin plan, tidak tegas, dan kurang rasional itulah yang membuatku berang. Kini, bidadari telah berubah menjadi seorang ibu tiri yang kejam! “Nami, aku m
BAB 131POV NAMIMampus! “S-sayang … mari kita berusaha untuk positive thinking pada Bayu. Semua orang bukankah perlu untuk diberikan kesempatan kedua?” Bibir gelap Mas Anwar makin bergetar saja. Jemarinya pun kini mengusap cepat ujung pelupuknya yang masih basah. “Kamu lihat sendiri kan, bagaimana hasil dari kesempatan kedua yang kamu berikan ke Ina? Lantas, apa kesimpulannya? Bukannya dia masih saja melakukan dosa yang sama setelah kamu beri kesempatan kedua?” Tudinganku berhasil membuat Mas Anwar terenyak dan memejamkan matanya sejenak sembari menghela napas dalam. Habis kamu, Mas. Setiap argumenmu berhasil kupatahkan. Namun, kurasa apa pun ujung dari perdebatan ini, tetap saja kamu berakhir dengan keputusanmu sendiri. Ini yang membuatku hampir putus asa. Rasanya lelah. Sakit sekali hati ini bila terus membersamai seseorang yang hanya dirinya saja yang ingin digugu dan didengarkan. “I-iya, Sayang. Aku tahu. Begin
BAB 132POV NAMIItu Deritamu “A-apa …? M-mas Anwar, ini kenapa?” Ina gelagapan. Muka Ina menjadi pucat pasi. Ekspresinya benar-benar sok polos. Seperti tidak berdosa sama sekali. Semakin sinis aku memandanginya. Tanpa berkedip, aku menatapnya tajam. Berharap dia sadar bahwa semua kejahatannya telah berhasil kami kuliti, lalu dia meminta maaf dengan cara berlutut di bawah kakiku dan suamiku. “Kenapa katamu? Kamu pura-pura tidak tahu?” Mas Anwar terdengar marah sekarang. Bagus, Mas! Ayo, keluarkan kekuatanmu! Jangan buat Ina semakin semena-mena di rumah kita. Kepala Ina menggeleng. Bibirnya gemetar. Kedua telapak tangannya lalu menutupi mulutnya yang tiba-tiba menganga. “Jangan cuma bisa akting kamu, Ina! Semua percakapanmu di telepon bersama Rustina sudah kami dengarkan bersama! Kamu masih mau mengelak, Ina?!” Kali ini aku yang membentak perempuan kurang ajar itu. Entah dapa
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa