116POV INA “Lho, Papa gimana, sih? Kok, malah jadi untuk peternakannya Bayu segala?!” Suara Nami akhirnya mencelat. Tercetus juga pertengkaran di antara mereka. Aku suka ini! Aku benar-benar akan menikmatinya! “Bukan gimana-gimana, Ma. Itu nanti kita urun rembuk lagi. Tunggu Bayu pulang. Nanti, setelah Bayu pulang, semuanya akan Papa bagi-bagi secara adil. Bagaimanapun juga, Bayu itu kan, pewaris sahnya Papa.” Muka Mas Anwar berubah semakin gelap. Terdengar nada yang agak-agak ragu pada bicaranya. Mas Anwar, memang selalu begitu. Penuh kebimbangan dan ketidakadilan. Syukur-syukur si Nalen sudah dipercaya untuk mengembangkan usaha kainnya. Coba kalau aku dan Lia dulu? Jangankan untuk ikut campur urusan bisnis, masalah uang saja bisa ribut ke mana-mana. Mas Anwar memang pecinta harta. Baginya, seluruh hasil kerja kerasnya tersebut kalau bisa dia saja yang menikmati sendiri. Tumben juga sekarang baru kepikiran untuk menyerahkan aset ini dan itu
117POV INA Mendengar ucapanku, Mas Anwar langsung terlihat kikuk. Dia jadi salah tingkah. Tangannya pun cepat menyambar selembar tisu dari kotak akrilik yang diletakan di tengah-tengah meja. Diusapnya pinggiran bibir tebal legamnya dengan gerakan yang tergesa. “Mas, maaf jika kata-kataku menyakitimu, ya. Bukankah, saudara yang baik itu harus selalu mengingatkan saudaranya? Tujuanku tidak lain adalah ingin melihat keluargamu selalu harmonis, Mas. Biarlah aku yang luluh lantak. Biarlah aku yang kehilangan keluargaku sendiri. Asal jangan kamu, Mas.” Kalimatku lirih. Sebenarnya, perih sekali perasaanku saat mengungkapkan hal tersebut barusan. Ini bukanlah sekadar bualan semata. Namun, curahan hatiku yang paling dalam. “Jangan bicara begitu, In. Jangan membuatku jadi merasa bersalah begini.” Aku tersenyum pahit. Kugelengkan kepalaku cepat sambil berkata, “Tidak, Mas. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa bersalah. Bukan kamu yan
118 POV INA Makan siang kali ini memang sungguh terasa sangat berbeda sekali dari makan siang-makan siangku sebelumnya. Betapa tidak. Sekarang, aku telah menemukan kembali sosok Mas Anwar yang begitu sangat peduli dan mudah iba kepadaku. Dia bahkan mengajakku untuk nyekar ke kuburannya Lia segala besok hari. Betapa aku terkejut dibuatnya. Takjub juga pastinya. Aku yakin sekali, ini pasti sebab ilmu-ilmu yang telah dikirimkan oleh Mbah Legi. Dukun satu itu memang topcer! Tak lagi bisa menolak inginnya Mas Anwar, aku pun mengangguk setuju bahwa kami akan pergi nyekar ke kuburan anak semata wayangku tersebut. Entah bakal seperti apa reaksinya Nami nanti. Aku tidak peduli. Sepertinya, inilah waktu bagiku untuk kembali meraih sukses besar di rumahnya Mas Anwar. Diam-diam aku berharap agar Nami dan Nalen lekas tertendang dari rumah mewah ini, lantas akulah yang akan menggantikan posisi mereka. Ya, untuk kedua kalinya, aku bakalan menjadi seorang nyonya plus pen
119 POV INA Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Padahal aku sedang enak-enaknya tertidur lelap. Namun, saat melihat jam dinding di atas pintu sana, ternyata sudah pukul enam belas sore. Astaga, ternyata sudah lama juga aku tidur siang. Buru-buru aku membenarkan ikatan rambutku. Kubenarkan pula letak kerah dasterku yang agak melorot sebab pulas tertidur barusan. Bertanya-tanya benakku. Siapa gerangan yang mengetuk pintu di depan sana? Tidak bersuara pula. Hanya kedengaran bunyi ketukan di daun pintu saja. “Sebentar!” ucapku seraya turun dari ranjang. Kulap terlebih dahulu sisa iler di tepian bibir. Takutnya kentara sekali kalau aku habis tidur selama ini. Yah, namanya juga belum resmi menjadi nyonya rumah. Masih menjadi babu! Kubuka kunci pintu kamar dan betapa kagetnya aku ketika melihat Nami telah berdiri di depan pintuku sambil tersenyum kecil. “Nyonya,” panggilku sam
120POV INA “Kami hanya bicara biasa saja, Nyonya. Terus, Mas Anwar juga bertanya tentang apakah aku rindu kepada Lia atau tidak? Aku jawab tentu saja aku sangat rindu. Aku ditawarkan untuk berziarah ke makamnya anakku besok, Nyonya. Kujawab, aku tidak enak kepada Nyonya Nami. Takut beliau keberatan.” Aku langsung memasang wajah sedih. Kepalaku pun menunduk sambil menarik napas dalam-dalam. Kuharap, gayaku yang menyedihkan ini akan membuat Nami semakin jatuh iba. Ayolah, Nami. Semakin terperosok kamu ke dalam lubang jebakanku. Aku tidak akan keberatan untuk membelenggumu dengan tali kelicikanku! “Oh, jelas aku tidak keberatan, Ina. Pergi saja. Tidak apa-apa. Itu adalah anakmu. Wajar jika kamu ingin ziarah ke makamnya. Lakukanlah,” ucap Nami penuh kelembutan. Dia merangkulku lagi. Mengusap-usap lenganku dengan penuh perhatian. Perempuan anggun ini memang mudah sekali kasihan sama orang, ya. Kenapa kok, dia bodoh sekali? Apa dalam hidupnya dia ti
121POV NAMI “Mbak, sepertinya jampi-jampi Mbah Legi kali ini sangat topcer dan lebih manjur ketimbang dulu! Mas Anwar jadi semakin baik tingkahnya. Kalian sudah terima uang lima juta itu, kan?” “Masyaallah! Limang yuto (lima juta), In? Tenanan ora iki (betulan tidak ini), In?” “Tenan, Mbak! Sumpah demi Allah! Mas Anwar tadi pas makan siang berduaan denganku ngobrol banyak. Dia bilang mau kirimin kalian lima juta. Terus, gajiku akan dibayarkan per bulannya sepuluh juta! Besok aku diajak ziarah ke makam Lia juga. Pokoknya, sebagai mbakyuku yang baik, kamu harus terus dekati Mbah Legi, lho!” “Nggeh (iya), In! Aku pasti bakalan sowan ke Mbah Legi sering-sering. Uang lima juta banyak sekali, In? Kata Pak Anwar buat apa, In?” “Buat kuliah anaknya kalian. Sisanya ya terserah mbok gawe opo (mau kamu apakan). Ingat ya, Mbak, kalau sudah dapat duit terus menerus dariku, jangan lupakan aku yang ada di sini! Mbah Legi disamban
122POV NamiMengawasi Gerak Geriknya Aku dan Nalen telah membuat sebuah kesepakatan bersama. Putra semata wayangku tersebut langsung mengiyakan segala ide-ide yang kucetuskan kepadanya. Dia yakin, bahwa apa yang sudah kami rencanakan akan berjalan dengan sukses. “Kita harus satukan kekuatan, Ma,” ucap Nalen sambil menggenggam jemariku. “Tentu, Len. Mama nggak mau kalau keluarga yang sudah susah payah kita bangun bersama ini, runtuh hancur seketika hanya gara-gara perempuan laknat itu.” Penuh semangat aku mengucapkan kalimat barusan. Kugenggam kembali tangan Nalen yang terasa sejuk. Pemuda itu pun mengangguk mantap sambil menatapku dalam. “Papa itu orang baik. Aku tahu sebenarnya dia hanya terpengaruh oleh dukun saja. Jadi, aku juga yakin kalau kemampuan dukun sialan itu bakalan luntur juga nantinya. Lihat saja,” desis Nalen. Mata Nalen kulihat menerawang jauh ke sana. Kutengok, dia begitu berapi-api u
Bab 123POV NamiMendadak Jantungan Aku tak membiarkan Rahima dan Ina berduaan di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sudah kapok dengan pertengkaran mereka. Apalagi, aku malah sempat terhasut dengan tipu daya muslihat dari Ina yang kentara sekali ingin menyingkirkan Rahima dari rumahku. Ina mungkin tak sampai otaknya untuk berpikir bahwa aku telah tahu semua yang dia rencanakan. Mulai dari dukun yang dia bawa untuk mengguna-gunai suamiku, hingga rencananya untuk menyingkirkan Rahima. Perempuan itu ingin berubah menjadi iblis, tetapi sayangnya kapasitas otak yang dia punya tak ubahnya seperti seekor cacing kecil di dalam tanah. Aku sibuk berkutat di dapur, meskipun waktu yang kumiliki untuk menyiapkan hidangan sangatlah mepet. Tidak peduli, pokoknya aku akan masak dengan tanganku sendiri. Mas Anwar harus kuperlakukan sebaik mungkin, walau aku tahu betul kesadaran pikirnya sedang dikendalikan oleh ilmu hitam. Sementara aku yang me