Jaka tidak menyangka akan bertemu Rani, Jaka segera mendekati Rani.
"Ada apa, Jaka? Kamu takut jika Fatimah tahu?" tanya Rani ketika melihat raut ketakutan di wajah Jaka. "Aku tidak akan memberitahu Fatimah, tetapi ada syaratnya," kata Rani. "Kita bicarakan nanti di rumah," kata Rani lalu pergi. Rani kembali ke mejanya lalu memesan makanan bersama Fatimah. Mereka tidak lupa membungkus makanan untuk Aminah dan Santo.Sesampainya di rumah, Rani menemui Aminah di kamarnya. "Bu, aku tadi melihat Jaka dengan seorang wanita dan anak kecil," kata Rani. "Apa Fatimah juga melihatnya?" tanya Aminah penasaran. "Tidak, Bu. Aku akan gunakan hal ini sebagai senjata untuk mengancam Jaka. Supaya dia mengizinkan kita bisa mencari pria untuk menghamili Fatimah," kata Rani senang. Aminah yakin, jika Fatimah tahu suaminya keluar dengan wanita lain pasti marah.** Sorenya Jaka pulang dari kantor, dia melihat Fatimah sedang duduk di tepi ranjang. Melihat wajah Fatimah yang sedih membuat Aji merasa takut. Dia takut jika Rani telah memberitahu Fatimah. Ponsel Jaka bergetar, ada pesan dari Rani. Rani menyuruh Jaka ke rumahnya sekarang. "Dek, Bapak sama ibu kemana? Kok sepi?" tanya Jaka. "Ke rumah mbak Rani, Mas," jawab Fatimah. "Dek, Mas mau keluar sebentar ya. Kamu tidak apa-apa kan di rumah sendiri?" tanya Jaka sedikit takut. "Iya, Mas. Pergilah!" perintah Fatimah.Jaka segera ke rumah Rani, padahal dia belum mandi apalagi ganti baju.Sesampainya di rumah Rani, disana sudah ada Aminah dan Santo. "Duduklah, Jaka!" perintah Santo.Jaka duduk di dekat Hasan, mereka tampak serius sekali. Jaka yakin Rani sudah bercerita tentang pertemuannya dengan Rani tadi siang di cafe. "Jaka tanda tangani perjanjian ini," kata Rani menyodorkan sebuah map berwarna merah. Jaka melihat isi perjanjian itu, tertulis Jaka harus mengizinkan Fatimah hamil dengan pria lain. Kedua Jaka harus memberi nafkah 5 juta per bulan pada Aminah. Ketiga Jaka harus melakukan pekerjaan rumah, mulai dari memasak hingga mencuci baju. "Perjanjian ke tiga apa Fatimah tidak akan curiga jika aku melakukan semua?" tanya Jaka. "Baca lagi yang bawah," kata Rani sinis.Jaka membaca lagi, ada peraturan bahwa Jaka dan Fatimah harus setuju dengan segala rencana dan peraturan yang Santo buat. Dibawahnya lagi jika Jaka tidak memenuhi peraturan dan rencana Santo maka Fatimah akan tahu hubungan Jaka dengan wanita lain Serta orang tua Jaka akan tahu kemandulan Jaka. "Aku dan Bu Yunita tidak ada hubungan apa-apa, mengapa harus disangkut pautkan disini?" tanya Jaka. "Kamu terlihat sangat akrab dengan wanita itu, sepertinya wanita itu menyukai kamu," jawab Rani. "Tanda tangani saja kalau kamu masih ingin bersama Fatimah," kata Rani. "Kalian mengapa tega sekali, aku tidak mau jika Fatimah harus bezina," tolak Jaka. "Jaka, ingat kamu mandul. Kami tidak mau jika kamu menjadi penghalang kami mempunyai cucu," bentak Santo."Kalau tidak mau berzina ceraikan saja Fatimah," ucap Santo. Jaka masih berpikir, karena dia takut jika harus meninggalkan Fatimah. Akhirnya Jaka menandatangani surat perjanjian itu. Mungkin Jaka sudah kehilangan akal sehatnya karena mau melakukan hal yang tidak dia inginkan. 'Maafkan aku Fatimah,' batin Jaka sedih. Jaka pulang, dia tidak ingin Fatimah curiga karena dia pergi terlalu lama. Sesampaimya di rumah, Jaka langsung mandi. Sedangkan Fatimah sedang memasak untuk makan malam. Terdengar suara tawa Santo dan Aminah, Jaka tahu mereka senang karena berhasil mendapatkan tanda tangan Jaka. "Mas, kok ngelamun," tegur Fatimah yang melihat Jaka mau memakai baju tetapi malah melamun. "Melamunin apa?" tanya Fatimah penasaran. "Tidak apa-apa, Dek." Jaka memakai bajunya lalu meletakkan handuknya. "Mas hanya banyak pekerjaan saja," ucap Jaka berbohong. Ada rasa menyesal di hati Jaka, karena dia telah menandatangani perjanjian dengan keluarga Fatimah. Fatimah menyiapkan makanan, Jaka membantunya. "Tumben Mas bantuin aku menyiapkan makan malam," ucap Fatimah tanpa rasa curiga. "Ya, sekali-kali, biar kamu tidak capek. Seharian kamu kan sudah ngerjain yang lain," kata Jaka sambil menata piring di meja makan. Santo dan Aminah hanya tersenyum melihat anak menantunya sudah mulai mengikuti perjanjian. "Jaka, ambilkan air minum!" suruh Aminah. ".Biar aku saja, Bu," jawab Fatimah. "Tidak, aku maunya Jaka yang ambil. Kamu kerjakan yang lain," kata Aminah. Jaka mengambil air minum untuk Aminah lalu meletakkannya di meja depan Aminah. "Ini Bu minumnya," ucap Jaka lalu membantu Fatimah lagi. Jaka dengan sigap membantu Fatimah menyiapkan makan malam. Santo terlihat tersenyum sinis pada Jaka. Setelah itu mereka makan, tidak ada yang berubah selama makan. Mereka makan seperti biasanya. "Fatimah, ayo ikut Ibu!" ajak Aminah pada Fatimah yang akan membereskan bekas makan malam mereka. "Biar aku bersihkan meja makan dulu, Bu," jawab Fatimah. "Biar Jaka yang membereskan semua, kamu sudah capek seharian mengerjakan pekerjaan rumah." Aminah menarik tangan Fatimah. Jaka langsung membawa piring kotor ke wastafel, dan menyimpan sisa makanan di almari. Lalu membersihkan meja makan dan mencuci piring. Jaka tidak pernah mengeluh, karena dia melakukannya juga untuk merindukan pekerjaan Fatimah. Aminah mengajak Fatimah ke rumah seseorang, Fatimah merasa tidak asing dengan rumah itu. "Fatimah kamu ingat Angga?" tanya Aminah sembari turun dari sepeda motornya. "Iya, ini rumah Angga, Bu. Ngapain kita kesini?" tanya Fatimah penasaran. Pasalnya dulu dia dan Angga pernah menjalin hubungan namun kandas. "Fatimah tidak enak dengan keluarga Angga, apalagi dengan istrinya," ucap Fatimah merasa tidak enak hati. Aminah tidak menjawab, dia mengetuk pintu rumah Angga. Terlihat sosok pria tampan dengan pakaian santai membuka pintu. "Tante Aminah, Fatimah," ucap Angga nampak kaget dengan kedatangan Aminah dan Fatimah ke rumahnya. "Bu, balik saja ya," bisik Fatimah. "Silahkan masuk, Te, Fatimah!" perintah Angga. Aminah menarik tangan Fatimah agar masuk ke dalam rumah Angga. Mereka duduk di sofa ruang tamu rumah Angga. "Aku dengar, istri Nak Angga telah meninggalkan Nak Angga," ucap Aminah tanpa basa-basi. "Benar Bu, entahlah. Mungkin dia lebih mencintai kekasihnya dibandingkan aku dan putranya." Angga duduk di sofa single. Terdengar langkah kaki, seorang bocah berusia 4 tahun memasuki ruang tamu. Dia melihat kearah Fatimah, dia tersenyum pada Fatimah. Fatimah pun membalas senyum bocah kecil yang pasti putranya Angga. "Dia anak aku, namanya Shaka," kata Angga memperkenalkan Shaka pada Fatimah dan Aminah. "Mama... mama," panggil Shaka sembari mendekati Fatimah. Fatimah terkejut mendengar bocah kecil itu memanggilnya mama. 'Mungkin dia merindukan Ibunya,' pikir Fatimah. "Mama jangan pergi tinggalkan Shaka," ucap Shaka. Angga mendekati Shaka, dia memeluk putranya dan mencium keningnya. "Dia bukan Mamanya Shaka," kata Angga dengan lembut. "Ini Mamanya Shaka," kata Shaka melepas pelukan Angga dan memeluk Fatimah.Fatimah tidak tahu harus berbuat apa melihat anak kecil ini memeluknya dan menganggapnya sebagai Mamanya. Aminah tersenyum senang, ada rencana apa di balik senyumnya itu.
Fatimah hanya membalas pelukan anak itu, entah mengapa memeluk Shaka membuat Fatimah ingin punya buah hati. Namun, segera dia tepis hal itu. Dia tidak mau menyakiti Jaka, cukup keluarganya yang sudah menekan Jaka.Fatimah bermain dengan Shaka, karena Shaka menariknya ke ruang tengah. Disana sudah ada banyak mainan dan seorang babysister. "Fatimah pasti senang dekat dengan Shaka. Aku kasihan dengan Fatimah," ucap Aminah. "Memang ada apa, Te?" tanya Angga penasaran. "Suami Fatimah mandul, padahal Fatimah ingin punya anak. Bahkan dia tidak mau menceraikan Fatimah. Aku heran mengapa Fatimah masih bertahan padahal hatinya sakit," jawab Aminah.Mendengar hal itu, Angga merasa prihatin dengan keadaan Fatimah. Biar bagaimanapun anak adalah penting dalam berumah tangga. "Apa Nak Angga masih suka dengan Fatimah?" tanya Aminah saat melihat Angga melamun.
Jaka merasa aneh, anak kecil itu memanggil Fatimah dengan sebutan Mama. Jaka menatap Fatimah, mencoba mencari jawaban dari Fatimah. "Maaf, Mas. Ini Shaka putranya Angga.Dia sudah pisah dari Mamanya, entah mengapa saat melihat saya dikira Mamanya," tutur Fatimah agar Jaka tidak salah faham. "Baiklah, aku mau ambil berkas," ucap Jaka lalu masuk ke dalam kamar. Setelah itu Jaka langsung pamit ke kantor. Jaka merasa aneh, ada Angga dan putranya disana. Padahal baru semalam mereka bertemu. Jaka takut, jika Angga berusaha merebut Fatimah. Terlebih lagi saat ini mereka dalam masalah. Sepanjang perjalanan ke kantor, Jaka memikirkan Fatimah dan Angga. Dia tidak fokus dengan jalanan. Hampir saja dia menabrak seseorang. "Ah! Kenapa aku jadi memikirkan mereka!" Jaka mengusap wajahnya. Dia berusaha berpikir positif pada Fatimah. Sesampainya di kantor,
Fatimah dan Ibunya segera ke rumah saudaranya untuk menjenguk bayi. Jaka tidak ikut karena ada pekerjaan kantor yang harus dia kerjakan.Sampai di rumah Satria, sudah banyak saudara yang datang. Beberapa anggota keluarga tampak menatap Fatimah. Tatapan mereka sangat menyudutkan Fatimah. "Eh Fatimah sama Aminah, kapan nih nyusul? Nikah duluan kok nggak hamil-hamil," ucap Anita ibu Satria. Anita merupakan adik dari Aminah. Anita menikah dan mempunyai dua anak Satria dan adiknya selly. "Iya nih, Fatimah kok nggak hamil-hamil. Padahal punya anak itu enak loh rumah jadi ramai, iya kan Mbak Rani?" tanya Selly pada Rani yang sudah duduk sambil menggendong bayi Satria. "Iya tuh,mana Fatimah bisa hamil. Suami Fatimah kan mandul," jawab Rani tanpa menutupi kekurangan adik iparnya. "Aku juga pengennya Fatimah menikah sama pria yang bisa punya anak. Tapi Fatimah malah cinta mati sama suaminya," sahut Aminah. "Sudah-sudah, kalian kok malah mojokin Fatimah,"
Fatimah mendekati Rosi, "Aku bukan selingkuh, jangan menuduh! Aku pergi atas izin Jaka," kata Fatimah. Rosi merasa Fatimah telah berubah, meskipun dulu dia sering menjelekkannya di depan Jaka, Fatimah tidak pernah membentaknya. Bahkan dia sangat sabar, tapi kali ini dia sudah berani membantah. "Dulu kamu pernah menuduhku mandul saat aku datang ke rumah Ibumu. Aku hanya diam, tapi sekarang aku tidak mau harga diriku dijak-ini," kata Fatimah. "Sudahlah, kita pergi saja!" ajak Angga menarik lengan Fatimah. Mereka pergi meninggalkan Rosi sendirian. Rosi mengambil ponselnya dan memotret Angga yang masih memegang tangan Fatimah. "Akan ku adukan kamu pada Mas Jaka," kata Rosi licik. Dia mengirimkan sebuah pesan pada Jaka. Sejak dulu Rosi tidak suka dengan Fatimah, bahkan dia sering menuduh Fatimah mandul. Nyatanya kini Jaka malahan yang mandul. Tetapi, Rosi tidak pernah percaya. ** Ada sebuah pesan masuk ke ponsel Jaka, dia baru saja selesai rapat. Di buka
Jaka merasa was-was, Fatimah merasa bersalah. Jika Jaka kehilangan pekerjaannya, maka dia tidak lagi dihargai di keluarga Fatimah. Selama ini saja dia di jadikan bulan-bulanan. "Mas, maafkan aku! Aku akan meminta maaf pada Bu Yunita!" ucap Fatimah. "Kita lihat saja nanti. Harusnya kalian tidak asal menuduh begitu saja. Memang aku sering makan siang dengan beliau tapi itu atas permintaan Jonathan putranya," kata Jaka. Anisa kembali masuk ke kamar, sementara Rani dan Aminah asyik menonton televisi. Sore ini Fatimah tidak memasak, Aminah menyuruh Jaka memasak. Jaka sudah terikat dengan perjanjian, sehingga dia harus masak sebisanya. Saat melihat Jaka memasak, Fatimah hanya diam saja. Entah mengapa tidak ada niatan untuk membantu. "Dek, nggak mau bantu aku memasak? Aku takut nggak enak," ucap Jaka. "Aku capek, mau istirahat. Sekali-kali kamu masak, Mas. Biar tahu kerjaan istri di rumah," jawab Fatimah lalu meninggalkan Jaka. Jawaban Fatimah
Merasa terganggu, Fatimah segera bangun. Dia berjalan menuju dapur. Fatimah melihat Rani panik mengobati kaki Aminah. "Ibu kenapa?" tanya Fatimah heran. "Ibu ketumpahan minta panas! Sini kamu bantu aku!" perintah Rani. Fatimah membantu Rani mengangkat Aminah ke sofa. Kaki Aminah terlihat memerah hingga paha. "Kok bisa sampai begini sih?" tanya Fatimah. "Kamu sih suruh kita masak, kan jadi begini. Ibu terpeleset saat membawa minyak panas dan terkena kakinya," jawab Rani menyalahkan Fatimah. "Kenapa nggak di biarkan aja di atas kompor biar dingin dulu?" tanya Fatimah. "Sudah kipasin! Jangan banyak bicara. Semua karena kamu! Kamu jahat sekali menyuruh Ibu sama Rani memasak!" bentak Aminah. "Ibu saja yang kurang hati-hati," omel Fatimah. Aminah menjitak kepala Fatimah. Dia sangat marah, Santo terkejut saat melihat kaki hingga paha sang istri melepuh. "Ini kenapa?" tanya Santo. "Gara-gara Fatimah," jawab Rani
Rani tidak merasa bersalah bahkan ia malah cengengesan. Sugito duduk, dia meminta Rani dan Hasan juga duduk. "Ran, Ahmad bercerita, katanya kamu jarang masak. Bersih-bersih rumah juga paling nyapu ngepel. Sudah gitu Ahmad bilang kamu mengabaikan dia. Dia jarang makan siang, pulang sekolah pun selalu bareng temannya," kata Sugito. "Kamu kan nggak kerja? Lalu apa yang kamu urus selama ini? Sekali-kali beli makanan di luar boleh, asal jangan keseringan. Kalau pagi Ahmad dan Hasan juga jarang sarapan," lanjut Sugito. "Omongan Ahmad jangan di dengar, Pak. Dia tidak tahu kalau saya di rumah sibuk. Dia kan sekolah mana tahu kalau Mamanya sibuk," bantah Rani. "Bukan Ahmad saja yang bilang. Tetangga kamu juga tadi cerita sama saya. Kamu sibuk apa? Cucian ya kamu Laundry?" tanya Sugito. "Itu, Pak. Bantu-bantu di rumah Ibu. Ibu kam sudah tua jadi saya kesana bantu beberes rumah," jawab Rani bohong. "Di rumah Ibu kan ada Fatimah. Dia lebih rajin dari pada kamu. Ka
Rosi tampak tidak terima dengan apa yang dikatakan Fatimah. Dia berdiri dan meluapkan kemarahannya. "Kamu jadi bohongi aku? Maksud kamu apa? Kalau kamu emang mandul ngaku aja!" bentak Rosi. "Rosi, duduk!" perintah Jaka. "Kenapa sih masalah seperti itu saja dibesar-besarkan. Siapapun yang mandul itu bukan urusan kamu," lanjut Jaka. "Sudah-sudah yang penting sudah jelas kalau Fatimah hanya berbohong. Kamu sih selalu menuduh Fatimah mandul." Lukman menyalahkan Rosi sehingga membuat dia semakin kesal. Rosi duduk dan diam, dia malas jika Bapaknya sudah turun tangan. "Bapak harap hubungan kalian baik-baik saja. Bapak sudah sakit-sakitan dan Ibu juga sudah tua," kata Lukman. "Iya, Pak." Jaka tersenyum pada sang Bapak. "Pak Lukman, saya punya ide," sahut Aminah. "Ide apa, Bu?" tanya Lukman. '' Bagaimana kalau Fatimah menikah lagi. Soalnya Jaka belum bisa ngasih kita keturunan. Siapa tahu dengan Fatimah menikah lagi dia mudah punya
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa