Rani tidak merasa bersalah bahkan ia malah cengengesan. Sugito duduk, dia meminta Rani dan Hasan juga duduk. "Ran, Ahmad bercerita, katanya kamu jarang masak. Bersih-bersih rumah juga paling nyapu ngepel. Sudah gitu Ahmad bilang kamu mengabaikan dia. Dia jarang makan siang, pulang sekolah pun selalu bareng temannya," kata Sugito. "Kamu kan nggak kerja? Lalu apa yang kamu urus selama ini? Sekali-kali beli makanan di luar boleh, asal jangan keseringan. Kalau pagi Ahmad dan Hasan juga jarang sarapan," lanjut Sugito. "Omongan Ahmad jangan di dengar, Pak. Dia tidak tahu kalau saya di rumah sibuk. Dia kan sekolah mana tahu kalau Mamanya sibuk," bantah Rani. "Bukan Ahmad saja yang bilang. Tetangga kamu juga tadi cerita sama saya. Kamu sibuk apa? Cucian ya kamu Laundry?" tanya Sugito. "Itu, Pak. Bantu-bantu di rumah Ibu. Ibu kam sudah tua jadi saya kesana bantu beberes rumah," jawab Rani bohong. "Di rumah Ibu kan ada Fatimah. Dia lebih rajin dari pada kamu. Ka
Rosi tampak tidak terima dengan apa yang dikatakan Fatimah. Dia berdiri dan meluapkan kemarahannya. "Kamu jadi bohongi aku? Maksud kamu apa? Kalau kamu emang mandul ngaku aja!" bentak Rosi. "Rosi, duduk!" perintah Jaka. "Kenapa sih masalah seperti itu saja dibesar-besarkan. Siapapun yang mandul itu bukan urusan kamu," lanjut Jaka. "Sudah-sudah yang penting sudah jelas kalau Fatimah hanya berbohong. Kamu sih selalu menuduh Fatimah mandul." Lukman menyalahkan Rosi sehingga membuat dia semakin kesal. Rosi duduk dan diam, dia malas jika Bapaknya sudah turun tangan. "Bapak harap hubungan kalian baik-baik saja. Bapak sudah sakit-sakitan dan Ibu juga sudah tua," kata Lukman. "Iya, Pak." Jaka tersenyum pada sang Bapak. "Pak Lukman, saya punya ide," sahut Aminah. "Ide apa, Bu?" tanya Lukman. '' Bagaimana kalau Fatimah menikah lagi. Soalnya Jaka belum bisa ngasih kita keturunan. Siapa tahu dengan Fatimah menikah lagi dia mudah punya
Selama perjalanan, Fatimah hanya diam saja. Sesekali Shaka mengajaknya berbicara. Ada rasa bersalah di hati Fatimah. Dia pergi tanpa izin suaminya. 'Maafkan aku, Mas!' batin Fatimah. Jaka menelfon Fatimah, namun tidak tersambung. Jaka merasa gagal karena membiarkan Fatimah pergi dengan pria yang bukan suaminya. Meskipun ada Santo dan Aminah, kemungkinan besar mereka malah dalang dibalik semua. Fatimah sengaja tidak angkat panggilan Jaka. Dia enggan untuk menjawabnya. "Kita mau kemana? Kenapa sedari tadi tidak sampai?" tanya Fatimah pada Angga. "Kita ke puncak, kita ke villa keluargaku," jawab Angga. "Villa?" tanya Fatimah. Ingatannya kembali pada 6 tahun yang lalu. Saat itu, Angga mengajak Fatimah ke puncak. Mereka tidak berdua, meliankan bersama teman-teman mereka. Angga membuat surprise, dia memberi liontin pada Fatimah. Hingga kini liontin itu masih dia simpan. "Aku mencintai kamu, aku harap malam ini akan terulang kembali," ucap Angga
Fatimah tertunduk malu, dia merasa bersalah karena mengabaikan pesan Jaka. Angga merasa bersalah karena mengajak Fatimah tanpa izin dari Jaka. "Jaka, kamu di sini dengan siapa?" tanya Aminah. "Om Jaka, ayo!" ajak Jonathan menarik tangan Jaka. "Oh jadi kamu pergi dengan bos kamu. Kenapa kamu tidak izin Fatimah?" tanya Aminah. "Aku sudah izin kemarin dan tadi aku juga mengirim pesan. Tapi sepertinya Fatimah sedang bernostalgia," jawab Jaka. Jaka mendekati Jonathan dan mengajaknya bermain. Dari kejauhan Yunita melihat kejadian tersebut. Ada rasa kasihan pada Jaka, namun dia sadar dia bukan siapa-siapa. Yunita memilih menyusul Jaka dan Jonathan. Mereka bermain di semak-semak, pemandangan yang indah seketika menjadi hampa. Melihat orang yang dicinta bersama dengan pria lain. Fatimah mengajak Angga kembali ke villa. Dia merasa tidak enak hati, ada rasa sesal dalam hati. "Kenapa aku harus bertemu mereka di sini?" tanya Fatimah. "Maafkan aku, Mas," kata
"Good night, sweet dreams, Mas!" ucap Fatimah lalu berbaring di dekat Jaka. Ada rasa kecewa, karena Fatimah tidak mau menjawab pertanyaannya. Namun, dia tahu Fatimah pasti ingin punya anak. Mereka tidur saling berhadapan, namun pikiran mereka tidak pada tempatnya. Jaka memikirkan Fatimah, namun Fatimah merasa takut untuk jujur.** Pagi ini Fatimah bersikap sangat manis dan lembut pada Jaka. Bahkan dia terlihat sangat romantis. "Mas, bangun!" pinta Fatimah sambil menarik selimut Jaka. Saat mata Jaka terbuka, "Aku mencintaimu," ucap Fatimah lalu mencium kening Jaka. Meskipun terasa aneh karena perubahan sikap Fatimah, Jaka tidak mau ambil pusing. Dia tidak ingin Fatimah tersinggung. "Aku juga mencintaimu," balas Jaka tersenyum. Dia lalu berdiri dan menuju kamar mandi. Jaka membantu Fatimah memasak, namun Fatimah menolak. Bahkan dia menyuruh Jaka untuk duduk saja. Jaka tidak mau dia mengambil baju dan mencucinya. Jaka tidak ingin Aminah marah kar
Rani senang karena mendapat pembelaan dari kedua orang tuanya. Dia merasa puas, Hasan masih punya rasa takut pada keluarganya. "Hasan, jangan marah! Rani pantas marah pada Ahmad. Dia sudah membuat kita semua panik," kata Santo. "Sekarang Ahmad tidak apa-apa, jadi jangan diperpanjang masalah ini," lanjut Santo. "Baiklah. Aku maafkan kamu tali jangan sampai kamu memukul Ahmad," ucap Hasan pada Rani. Santo dan Aminah pulang, mereka lega karena Ahmad selamat. ** Saat Fatimah dan keluarganya berkumpul, Angga datang. Dia membawa makanan, Aminah sangat senang. Kali ini Angga datang sendiri, tidak bersama Shaka. "Fatimah, kamu seperti sedang cemas," kata Angga. Fatimah menunggu Jaka yang belum juga pulang. Padahal dia sudah menunggu agar bisa makan malam di luar. "Nak Angga, makanan sudah siap. Ayo kita makam bareng!'' ajak Aminah. Angga juga Fatimah akhirnya makan malam bersama. Berkali-kali Angga perhatian pada Fatimah. Sama seperti dulu mereka pacara
Fatimah mengirim Angga pesan, dia mengajak Angga bertemu. Dia tidak ingin Jaka tahu, jika dia sering berhubungan dengan Angga. Angga senang Fatimah mengajaknya bertemu. Fatimah segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu bersiap untuk bertemu Angga. Mereka bertemu di cafe dekat kantor Angga. "Apa kamu sudah menunggu lama?" tanya Angga saat melihat Fatimah. "Tidak, aku baru sampai." Fatimah mengajak Angga duduk. "Oh ya tadi pagi kamu menelfon ya? Maaf sepertinya yang angkat itu Mas Jaka." Fatimah berkata jujur. "Pantas diam saja, apa dia marah padamu?" tanya Angga penasaran. "Tidak, hanya saja aku merasa tidak enak," jawab Fatimah. "Fatimah, aku ingin dekat lagi dengan kamu. Aku ingin membahagiakan kamu. Aku tahu kamu tertekan bersama Jaka. Dia terlalu egois, dia tidak tahu kalau kamu ingin punya anak, kan?" tanya Angga. "Iya, dia tidak tahu. Dia sempat tanya tapi aku tidak berani jujur," jawab Fatimah. "Harusnya kamu jujur, biar di
Jaka tertidur karena capek habis bersih-bersih. Terdengar suara Aminah marah. Dia memanggil Jaka. "Fatimah, bangunkan suami kamu itu. Suruh dia menyentuh. Lihat setrikaan banyak sekali!" perintah Aminah. "Besok aja sih, Bu. Biar aku yang setrika. Dia capek kali pulang kerja bersih-bersih," ucap Fatimah. "Terserah, aku tidak mau lihat setrikaan numpuk lagi," bantah Aminah. Fatimah masuk ke kamar, dia merebahkan tubuhnya diatas kasur. Sesaat kemudian, dia tertidur. Jaka terbangun, dia ingin buang air. Setelah buang air, dia kepo dengan ponsel Fatimah. Dia mencoba membukanya ternyata di kunci. Lima tahun menikah dengan Jaka, baru kali ini Fatimah mengunci ponselnya. Jaka tahu, jika Fatimah menyadari dia yang angkat panggilan dari Angga. Jaka meletakkan kembali ponsel Fatimah pada tempatnya semula. Dia kembali tidur, dia yakin ada yang disembunyikan Fatimah dari dirinya.** Fatimah belum juga bangun, Jaka segera memasak untuk sarapan. Dia tidak ingi
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa