"Apakah kamu tidak salah mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku dengan suara datar.
Rumi memang hanya menunjukkan sifat aslinya di hadapanku. Namun, jika sudah di depan Mas Adi dia akan berubah menjadi adik madu yang baik. Hebat sekali aktingnya sehingga bisa membuat Mas Adi tidak sadar dengan sifat asli Rumi selama tiga tahun ini.
"Tentu saja tidak. Gara-gara kamu, Mas Adi jadi pergi dari rumah sejak tadi malam. Padahal apa salahnya kamu mengijinkan Mas Adi untuk bermalam di rumahku? Aku ini juga istrinya mbak. Mas Adi juga sudah menemani Nasya sejak tadi malam. Maka pagi ini aku minta waktunya untuk Rahman. Tapi, Mas Adi menolak permintaanku. Itu pasti karena ulah kamu."
Aku sengaja tertawa untuk mengejek Rumi. Aneh sekali adik maduku ini. Padahal dia sering merebut waktu Mas Adi dariku dan Nasya. Tapi, sekarang Rumi justru merasa paling di sakiti. Padahal waktu Mas Adi datang ke rumahnya kemarin adalah jatahku bersama Mas Adi.
"Aku sama sekali tidak meminta Mas Adi untuk melakukan hal itu. Bahkan aku tidak memintanya datang ke rumah sakit ini karena Mas Adi tidak membalas pesanku." Jawabku tenang.
"Halah bohong. Lalu, darimana Mas Adi tahu kalau Nasya di rawat di rumah sakit jika tidak kamu hubungi? Mbak Nada kan bisa menelpon Mas Adi pagi ini. Agar tadi malam Mas Adi tetap bisa menginap di rumahku." Hardik Rumi cukup keras.
"Mungkin dari Abah. Karena aku meminta ijin pada Abah untuk membawa Nasya ke rumah sakit. Asal kamu tahu saja. Aku bahkan sampai berbohong pada Abah jika hp Mas Adi tidak aktif karena mungkin saja baterainya habis. Aku juga tidak tahu nomor telpon rumahmu."
"A, abah?" Gugup Rumi mendepati nama Abah di sebut.
"Sebagai seorang istri, aku sudah merelakan banyak hal. Bahkan sebagai seorang Ibu, aku tega mengabaikan kebahagiaan Nasya hanya karena terlalu banyak mengalah padamu. Tapi, aku tidak bisa lagi mengorbankan kesehatan Nasya hanya karena takut dengan ancaman itu. Toh sebentar lagi aku akan memenuhi permintaanmu untuk berpisah dari Mas Adi. Jadi, ancamanmu yang mengatakan ingin mengedit fotoku dengan gambar tidak senonoh tidak perlu di lakukan."
Fakta ini sendiri sudah aku telan selama beberapa bulan terakhir. Tidak aku ceritakan pada siapapun. Termasuk pada orang tuaku karena tidak ingin menambah beban pikiran mereka.
"Omong kosong. Aku juga seorang Ibu yang ingin meminta waktu Mas Adi lebih banyak untuk anakku. Toh Mas Adi lebih menyukai anak laki-laki di banding anak perempuan. Karena itulah selama ini Mas Adi lebih mempedulikan Rahman dan mengabaikan Nasya. Kasihan sekali kamu mbak. Seharusnya kamu menuruti saranku sejak dulu untuk berpisah dari Mas Adi. Mungkin kamu akan menemukan pria yang lebih baik."
Aku menyembunyikan kepalan tangan di balik tubuh. Tidak bisa aku pungkiri jika perkataan Rumi barusan membuatku sangat emosi hingga ingin menamparnya. Tapi, aku harus bisa menunjukkan jika aku adalah wanita cerdik yang tidak terpengaruh lagi dengan perkataannya.
"Benar." Jawabku tetap terdengar sangat tenang.
"Seharusnya sudah sejak dulu aku menyerah dan berpisah dari Mas Adi. Tapi, semua yang sudah kita jalani adalah takdir dari Allah. Tenang saja. Aku yang akan mengajukan gugatan cerai. Walaupun Ibu dan Umi tidak akan setuju. Jadi, untuk sementara waktu aku akan menginap di rumah orang tuaku."
Keputusanku sudah bulat. Tidak akan bisa di ganggu gugat walaupun Mas Adi menangis darah sekalipun.
"Gunakanlah waktu selama aku pergi untuk memikat hati Ibu dan Umi. Tunjukkan pada mereka jika kamu sudah berubah. Bukan lagi menantu yang suka membantah nasihat mertuanya. Padahal nasihat itu tentang sholat dan puasa. Jika bisa, bujuk juga Ibu dan Umi agar tidak menceritakan hal ini pada Mas Adi."
"Kamu mengancamku mbak?" Suara Rumi sudah terdengar sangat khawatir saat aku menyebut nama Ibu dan Umi.
"Tidak. Aku tidak pernah mengancammu. Seperti yang selama ini kamu lakukan padaku. Hanya saja kita semua tahu jika sampai detik ini aku tetap menjadi menantu perempuan kesayangan Ibu dan Umi. Mengingat semua saudara Mas Adi adalah perempuan. Jadi, menantu Ibu dan Umi yang lain adalah menantu laki-laki." Kataku penuh penekanan pada Rumi.
Cklek
Rumi menatap ke belakangku dengan pandangan horor. Seolah-olah Rumi sedang melihat hantu. "Ma, Mas Adi."
"Sejak kapan kamu ada disini Rum? Terus di rumah Rahman dengan siapa?" Wajah Mas Adi terlihat biasa saja. Berarti dia tidak mendengar percakapanku dengan Rumi tadi.
"Rahman sama Mama mas. Aku kesini mau menga." Ucapan Rumi terhenti saat melirik pada suster yang sudah meletakan nampan berisi makanan khusus untuk Nasya.
"Terima kasih sus." Ucapku tidak peduli lagi dengan Mas Adi dan Rumi.
"Sama-sama Bu. Lebih baik tunggu Nasya sampai bangun. Karena makanannya akan tetap hangat di mangkuk." Percakapanku dan suster menghentikan sejenak perkataan Rumi.
"Aku mau menjenguk Nasya. Bagaimanapun juga Nasya tetap anakku." Mas Adi hanya menganggukan kepala lalu berjalan ke arahku dan Nasya.
"Kamu bisa mandi terus sarapan dulu dek. Biar aku yang jaga Nasya. Ibu akan datang kesini untuk membawakan baju ganti untuk kita." Kata Mas Andi tegas. Aku sudah membuka mulut hendak menjawab saat Mas Adi menatap Rumi.
"Kamu juga sebaiknya pulang sekarang Rum. Kasihan Rahman kalau di tinggal terlalu lama dengan Mama. Sesuai perkataanku tadi pagi, untuk tiga hari ke depan aku akan tetap bersama dengan Nada dan Nasya. Menukar jadwal dengan jatahmu dan Rahman karena kemarin kalian sama-sama merengek." Kata Mas Adi dengan tegas tidak mau di bantah.
Raut wajah Rumi sudah berubah keruh. Sekilas mata Rumi menatapku tajam. Namun, hanya sebentar saja. Karena sedetik kemudian Rumi sudah menganggukan kepalanya.
"Baik mas. Aku pulang dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Rumi berjalan keluar dari ruang rawat kamar ini dengan cepat. Bahkan ia juga menutup pintu dengan cukup keras. Kini ganti Mas Adi yang duduk di kursi samping tempat tidur Nasya. Sementara aku masih berdiri di tempatku sebelumnya.
"Kenapa kamu masih berdiri disana dek? Cepat mandi lalu sarapan. Jangan sampai kamu juga sakit. Nasya masih sangat membutuhkanmu." Ujar Mas Adi tanpa menatapku. Aku tidak bicara atau menganggukan kepala pada Mas Adi. Tapi, aku tetap mengikuti saran Mas Adi.
***
Di dalam kamar mandi, aku dapat mendengar Mas Adi sedang menelpon seseorang. Tapi, aku tidak tahu siapa karena suaranya tidak terlalu keras. Saat ini aku hanya duduk termenung di atas kloset. Memikirkan bagaimana cara membujuk Papa dan Mama agar mengijinkan aku pulang membawa Nasya ke rumah mereka.
Atau jika Mama tidak setuju dengan keputusanku, aku bisa menyewa rumah lebih dulu. Toh aku punya banyak uang di dalam tabungan dari hasil pekerjaanku sebagai penjual online. Minggu ini aku juga sudah dapat banyak pesanan lagi. Karena Nasya sedang di rawat di rumah sakit, aku terpaksa meminta tolong pada Bude Sri, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tuaku, untuk ikut membungkus barang pesanan. Nanti kami akan melakukan video call agar aku bisa memastikan pekerjaan Bude Sri berjalan dengan lancar.
Karena badanku juga terasa gerah, aku segera mandi. Saat akan membuka pintu, suara Mas Adi terdengar sangat kaget. Aku menempelkan telinga ke pintu agar bisa mendengar suara Mas Adi lebih jelas. Tidak bisa. Lalu, aku membuka pintu secara perlahan. Mengintip Mas Adi dari dalam kamar mandi. Mudah-mudahan saja suamiku itu tidak menyadari jika aku tengah menguping percakapannya.
Pandanganku tertuju ke tempat tidur putriku. Nasya yang masih tidur membuat Mas Adi bisa menelpon lebih leluasa. Dia menyebutkan tentang kamera CCTV dan alat penyadap yang harus di pasang di rumah Rumi. Tubuhnya sudah beranjak dari kursi lalu berjalan menuju sisi jendela ruang rawat ini yang kordennya terbuka lebar. Sehingga aku tidak bisa mendengarkan suara Mas Adi lagi.
"Kamu yakin pernah melihat Rumi pergi ke rumah pria lain?" Teriak Mas Adi tertahan yang membuat tubuhku terlonjak kaget.
Tepat setelah telpon di tutup, aku memilih keluar dari kamar mandi. Kakiku melangkah menuju sofa ruang tunggu lalu mengambil bubur yang tadi di belikan oleh Mas Adi. Aku memakan bubur itu dengan lahap. Sesekali aku akan melihat Nasya yang masih tidur. Hingga aku bisa menangkap lirikan Mas Adi padaku. Untunglah dia tidak mendekat karena masih sibuk dengan hpnya. Entah Mas Adi sedang berbalas pesan dengan siapa. Yang jelas bukan Rumi. "Ibu." Beberapa menit kemudian Nasya sudah bangun. Mas Adi dengan sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nasya. "Nasya sama Ayah dulu ya. Biar Ibu bisa makan. Ayo minum dulu nak." Nasya sama sekali tidak menanggapi ucapan Mas Adi. Yang ada hanya tatapan sedih bercampur dengan marah di kedua bola matanya. "Nggak mau." Jawab Nasya ketus. Membuatku merasa sedih. Semarah apapun aku pada Mas Adi, tetap saja aku tidak mau membuat Nasya jadi membenci Ayahnya sendiri. Setidaknya Nasya bisa memberikan maaf lalu berdamai dengan Mas Adi. Tidak seperti aku yang
“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. “Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi. “Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak. “Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku. “Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi. Sej
Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini. “Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku. “Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku. “Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya. “Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan
“Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam
Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba
“Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang
“Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa
Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t
Dua minggu sejak acara reuni sudah berlalu. Tidak ada hal yang mencurigakan dari pantauan kamera CCTV dan alat perekam di rumah Galang. Arman juga mengatakan bahwa ia masih memantau semua rekaman itu bersama anak buahnya. Membuat hati Nada menjadi sedikit lebih tenang. Pikirannya selalu teralihkan karena niat jahat Galang dan Rumi. Sehingga Nada sering kali melamun. Fokusnya kini sedang menyusun laporan keuangan akhir bulan untuk kemudian di gabungkan dengan toko Dinada. Ia tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Hari senin baru saja di mulai. Namun, waktu terasa sangat cepat berlalu karena semburat jingga yang terlihat dari balik jendela sudah akan turun ke peraduannya. Sudah ada lima pegawai yang sibuk mengepak semua pesanan hijab dan mukena di toko online milik Nada. Bude Sri hanya bisa membantu jika pekerjaan di rumah orang tua Nada sudah selesai. Hanum dan Shanum juga sudah mulai fokus untuk belajar karena sebentar lagi akan menjalani ujian akhir sekolah. Jadi, Nada sudah merekrut
"Gimana caranya kita menjebak Mas Adi sebagai pemakai jika ia tidak memakai obat itu?" Tanya Rumi bingung dengan rencana baru sang suami. Ia sama sekali tidak paham dengan obat-obatan terlarang. Rumi membeli obat itu juga karena perintah Galang. "Mudah saja. Kita bisa mengancam Adi akan melaporkannya dengan dua tuduhan yaitu kemungkinan sebagai pemakai dan sebagai pengedar narkoba. Tapi, bukan itu poin utamanya Rum. Hal itu bertujuan untuk membuat Nada tidak percaya lagi pada Adi. Aku juga tidak ingin melaporkannya ke polisi. Itu hanya sebagai ancaman saja." Rumi menganggukan kepalanya mengerti. "Setelah itu, aku masih harus meminta bantuanmu untuk mendapatkan Nada. Untuk urusan Adi aku serahkan padamu. Lakukan apa saja sesukamu untuk mendapatkan Adi lagi." 'Tidak perlu. Yang penting aku bisa mengabulkan keinginan terbesarmu. Aku sudah tidak mau berurusan dengan dukun itu. Untuk membantumu aku akan cari dukun lain yang metodenya lebih simple Mas.' Batin Rumi dalam hatinya. “Terus
Kelopak mata Galang perlahan terbuka. Kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa bangun untuk sebentar. Saat melihat langit-langit atap kamarnya yang familiar, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Untuk sesaat Galang seperti sudah melupakan kejadian tadi malam. Pria itu justru kembali melanjutkan tidur dengan badan yang terasa cukup dingin. Padahal ia sudah pakai selimut yang menutupi seluruh badannya. Tubuhnya miring ke kanan. Kelopak matanya mengerjap menatap wajah Rumi yang masih terlelap. Dengan bahu yang polos tanpa tertutup pakaian.Seketika kesadaran itu menghantam Galang. Seharusnya Rumi tidak sedang tidur di kamar ini bersama dengannya. Tapi, istrinya itu harus tidur dengan Adi di kamar hotel yang sudah ia sewa.Seperti yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Hati Galang menjerit marah karena rencana mereka sudah gagal sejak tadi malam. “Ya ampun sial banget.” Pekik pria itu meluapkan emosinya hingga tiba-tiba terbangun. Selimut yang tadi menutup tubuh po